31. Human World III

1318 Words
Saki dan Sanka tentu––sangat–– menikmati suara indah milik Randra. Kawannya yang satu itu benar-benar memiliki suara yang bagus. Saki bahkan sampai bertepuk tangan berkali-kali. Sanka menggeleng takjub tak henti. Mereka––Saki, Sanka, dan Randra–– memang memutuskan untuk menghibur diri. Dengan paksaan, Randra akhirnya mau bernyanyi juga. Kini, ketiga kawan itu sedang saling menatap. Baterai mereka hampir habis. Mungkin jika dijadikan persenan dari 1 sampai 100, baterai mereka hanya tinggal 2 persen saja. Uggh, itu nyaris habis! "Sudah kubilang, jika aku bernyanyi, bukan aku saja yang akan kehabisan baterai, tapi kalian juga." Randra bergumam lirih. "Shut up, Rand. Kau tidak tahu saja, suaramu itu benar-benar akan membuat tubuh kami bersemangat. Seperti tadi, seakan-akan baterai kita berdua masih penuh. Haha ..." Saki dengan susah payah menepuk bahu Randra. Randra tersenyum kecil, dia lalu menatap Sanka. "Sepertinya, bukan aku yang akan mati duluan. Randra, yakin saja pada diri sendiri, pasti kita semua bisa berpelukan lagi seperti biasanya ..." Sanka dengan pelan merangkul pundak Randra yang perlahan kaku––lebih kaku dari biasanya. "Sampai jumpa kawan, aku akan menyusulmu beberapa menit lagi. Tenang." Sanka menepuk-nepuk kepala Randra yang berada di pahanya dengan pelan. Dia juga mulai meredupkan matanya. Dengan gerakan lambat, Sanka menatap Saki. "Kita pasti akan berkumpul seperti biasanya lagi. Tenang saja, sama seperti yang kau bilang tadi pada Rand. Ok?" Saki dengan mata sayupnya menatap balas Sanka. Sanka tersenyum kecil, "Ya, semoga saja ..." gumam Sanka sebelum kedua mata itu ikut tertutup bersama Randra dengan posisinya yang memangku kepala Randra dan tubuh dirinya yang menyandar pada batang pohon yang tinggi menjulang di belakang batu besar tersebut. "Kalian mati terlebih dahulu, haha. Aku juga akan menyusul kalian, tapi sebelum itu, aku ingin mencari bantuan dulu." ucap Saki dengan menatap sendu pada kedua kawannya yang telah menutup rapat kedua mata mereka. Saki dengan gerakan lambat berusaha mengambil baterai cadangan miliknya yang ia simpan di dalam kerangka tubuhnya. Saki membuka pakaiannya, dia lalu membuka perlahan kulitnya juga. Kerangka itu terlihat, Saki bergegas membuka lebih lebar agar dirinya bisa dengan mudah mengambil baterai cadangannya yang berbentuk tabung berukuran kecil. "Dapat!" gumam Saki ketika baterai itu telah berhasil ia keluarkan. Dengan cepat, Saki membenahi dirinya. Dia sudah bersiap untuk memasangkan baterai itu ke dalam tempat pemasangan baterai––yang hanya bekerja sekali seumur hidup mereka, sebab para robot memang tidak menggunakan baterai fisik seperti itu, mereka hanya menggunakan kabel-kabel tipis yang terpasang di hampir seluruh tubuh mereka–– yang terletak di lengan kirinya. Dengan mata yang sengaja Saki pejamkan, lengannya bergerak untuk memasangkan baterai itu. Saki juga menghitung mundur di dalam pikirannya. Setelah hitungan mundur selesai, baterai itu telah terpasang sempurna di dalam tubuh Saki. Saki mengerjap tak percaya. Efeknya sangat terasa. Dai merasa tubuhnya tidak seperti tubuh yang sebentar lagi kehabisan baterai. Melainkan, tubuhnya itu terasa seperti dia telah melakukan charger hingga penuh. "Sudah terpasang ..." gumam Saki. Dia lalu menatap kedua kawannya. "Tunggu di sini, hei. Aku akan mencari pertolongan." ujar Saki dengan nada tegas. Dia lalu bangkit dari duduknya. Saki tersenyum lebar kala tubuhnya benar-benar tidak terasa lemas lagi. Saki terkekeh, dia menatap kedua kawannya tidak percaya. "Kalian lihat, baterai cadangan itu sangat berguna. Yaa, walaupun ini berarti terakhir kali dan pertama kalinya aku menggunakan baterai cadangan yang hebat ini, haha." ujar Saki dengan perasaan tidak terima. "Huh, aku akan memulai. Kalian berharaplah, semoga aku menemukan seorang manusia di dalam hutan ini." ucap Saki sesudah menendang kaki kedua kawannya itu dengan pelan. "Bye, aku akan kembali dalam beberapa menit." Setelah mengucapkan hal itu, Saki melangkah pelan menuruni batu besar yang sedari tadi ia duduki. Saki melompat begitu jaraknya dengan tanah tinggal sedikit lagi. Dia lalu menegapkan tubuhnya. Kemudian, Saki mengaktifkan SWG-nya agar memudahkan dirinya untuk mencari ––cukup satu saja–– manusia. Setelah SWG telah terpasang apik dikedua kakinya, Saki melirik sekilas kedua kawannya sebelum ia melaju dengan kecepatan tinggi ke atas. Di atas sana, Saki memejamkan matanya menikmati angin yang berhembus kencang mengibaskan rambut palsunya. Dia lalu memelankan laju SWG miliknya. Dengan pelan, dia menyusuri hutan lebat itu. Saki juga tidak lupa menajamkan penglihatannya. "Di mana .... manusia-manusia itu ...." Saki bergumam dengan pandangan yang tetap mengarah ke bawah. Saki melirik ke kiri, dia seperti sedang merenungkan sesuatu. "MANUSIA! KALIAN DI MANA?!!" Entah kegilaan dari mana, Saki berteriak begitu kencang dengan posisinya yang masih menggunakan SWG. Hell, itu gila! Saki tidak peduli dengan resiko yang akan ditanggungnya. Yang ia pedulikan hanya kehidupan kedua kawannya. Dia memang mau menjelajahi dunia manusia, tapi itu bersama mereka, bukan hanya dia seorang. Saki juga tak akan segan jika dia harus pulang sekarang untuk menghidupkan kedua kawannya lagi. Dia benar-benar tak peduli dengan dirinya sendiri. Saki terbang rendah di sana, dia juga menajamkan penglihatannya agar bisa melihat di gelap kala malam hari seperti ini. Saki terus-terusan berteriak, dia mengusap wajahnya kasar saat dirinya tidak mendapatkan jawaban apa pun. Yang ia dengar hanya suara hewan-hewan yang saling bersautan. Saki yang merasa kesal memutuskan untuk berjalan kaki agar bisa menghemat baterai cadangannya yang berharga. Dia berpikir, harusnya dia meminta ayahnya untuk membuatkan dia juga kedua kawannya baterai cadangan palsu. Walaupun hasilnya tidak maksimal, setidaknya mereka punya baterai cadangan. Saki juga merutuk Profesor Jula, Saki juga berpikir, harusnya Profesor Jula memperingati mereka mengenai baterai mereka. Saki mengusap wajahnya kasar kembali. Dia menghentikan langkahnya sebentar untuk merenung. Akhirnya, dia memutuskan untuk kembali pada kedua kawannya. Saki lalu mengaktifkan SWG-nya lagi, dia melaju menuju tempat kedua kawannya berada. Dari kejauhan, Saki melihat betapa terlihat mengenaskannya kedua kawannya itu. Saki jadi merasa sedih. Dia lalu menonaktifkan SWG-nya begitu sudah berada di atas batu. Dia mendudukkan dirinya bersandar pada pohon. Penglihatan Saki juga masih memperhatikan sekitar. Berjaga-jaga jika ada manusia yang melewati mereka. Rembulan yang sedari tadi bertengger di atas langit kini berpindah tempat ke sisi yang lainnya. Dia sadar jika harus membagi waktu dengan matahari. Sekarang, matahari juga sudah senang hati bertengger di atas sana. Saki melihat jam, dia mengangguk begitu jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi. Saki kembali mengaktifkan SWG-nya, dia lalu melajukan pelan dan terbang rendah di antara pepohonan rindang yang ada di sana. "HEII! ADA MANUSIA DI SINII?!!" teriakan Saki menggema. "TOLONG! JIKA ADA MANUSIA, TOLONG JAWAB AKU!! AKU SANGAT BUTUH BANTUAN KALIAN!!" Saki terus berteriak. "SIAPA? SIAPA ITU?!!" Saki tentu terperangah. Dia mendengar balasan dari teriakannya tadi. "AKU, HEI. KAU ADA DI MANA? AKU PERLU BANTUANMU!" Dengan begitu, Saki membalas teriakan seseorang tersebut. "DI SINI! TEPAT DI SAMPINGMU!" Seseorang itu berteriak kembali. Saki sontak menoleh ke arah samping kiri, tidak ada. Dia dengan cepat menoleh ke arah sebaliknya. Di sana, terdapat seorang manusia––mungkin–– yang tengah melambaikan kedua tangannya tinggi-tinggi. "Aku datang!" Setelah mengucapkan itu, Saki dengan kecepatan tinggi melesat ke arah manusia itu berada. "Kau sebuah robot? Saya benar 'kan?" Pertanyaan yang dilontarkan manusia itu tentu sangat mengejutkan Saki. Saki berpikir, bagaimana bisa seorang manusia mengetahui dirinya adalah sebuah robot. Saki menatap curiga manusia yang menurut Saki terlihat tua. Manusia itu memiliki tinggi di bawah Saki, sekitar hanya sampai se-dagu milik Saki. Manusia itu juga mengenakan pakaian yang terlihat santai, kaos polos terlihat lusuh berwarna merah tua, juga celana––entah celana model apa itu–– yang panjangnya hanya selutut. Rambutnya, Saki berpikir itu rambut berwarna putih yang pertama kali Saki lihat. Di dunianya, robot tua maupun robot muda, tidak ada diantara mereka yang mempunyai rambut berwarna putih seperti Pak Tua di hadapannya ini. Oh! Saki melihat alas kakinya, itu berbentuk seperti, entahlah Saki bingung. "Sudah selesai mengobservasi tubuhku, hmm?" Saki mendongakkan kepalanya begitu Pak Tua itu mengeluarkan suaranya yang terdengar lemah. Saki lalu mengernyit begitu sadar akan pertanyaan yang Pak Tua itu lontarkan. "Aku tidak sedang mengobservasimu. Aku hanya, SEBENTAR! BAGAIMANA KAU TAHU AKU ADALAH SEBUAH ROBOT?!!" Awalnya Saki berbicara dengan nada biasa, tepat setelah ia sadar dengan keadaan awal, Saki dengan cepat meninggikan suaranya. Pak Tua itu tersenyum miring, "Ada spesies kalian di sini, sebenarnya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD