Oke. Menyesal adalah hal yang kini Najma rasanya. Dia pikir pekerjaan kantoran itu mudah dan ringan. Duduk-duduk, mengetik di komputer, tanda tangan boss. Beres!
Ternyata?
"Arggh ... capek. Kok nggak habis-habis sih ni berkas," keluhnya. Satu minggu dia dipandu orang seorang wanita yang dia tahu seorang manager keuangan bernama Monic. Hasilnya tetap dia lelah. Pekerjaan apa yang tidak bikin capek? tanya Najma dalam hati.
Sepertinya tidak ada.
"Kenapa, capek?" tanya Leni, teman barunya yang sedang melewati mejanya.
Najma mengangguk. Mau mundur, dia sudah tanda tangan kontrak.
"Namanya juga kerja. Pak Arkan ada di ruangan nggak?" tanya Leni sambil melirik Derian. Sekertaris lama boss mereka yang kini ruangannya ada di luar ruangan boss. Bersebelahan dengan ruangan Najma.
Biar dingin dan kaku, Derian itu tampan. Jadi ada saja yang mencuri pandang padanya jika kebetulan berpapasan atau tak sengaja datang ke lantai tiga puluh. Tempat boss mereka bersemayam dalam damai.
"Ada, Mbak. Ada perlu apa?"
Leni mengangkat berkas di tangannya agar Najma melihat. "Minta tanda tangan."
Najma mengangguk. "Ketuk aja pintunya."
Leni segera berlalu menuju pintu ruangan Boss mereka dan mengetuk pintu seperti kata Najma. Tak lama suara bass Pak Arkan terdengar mempersembahkan masuk.
***
Di dalam ruangannya, setelah Leni pergi, Arkan membuka laci mejanya dan meraih buku di dalamnya dengan tersenyum lebar. Akhirnya jadi juga. Uang memang berkuasa. Dengan uang semua urusan menjadi lancar. Mungkin karena hal ini juga banyak orang yang mendewakan uang.
Matanya kembali memperhatikan layar laptop. Di layar itu nampak wajah gadis cantiknya sedang frustrasi melihat tumpukan berkas yang seperti tidak pernah ada habisnya.
Bagaimana bisa?
Tentu saja itu pekerjaan Arkan agar gadis itu sibuk dan tidak punya waktu untuk sekedar beramah tamah dengan karyawan lain. Dia tidak suka melihat Najma bersama orang lain meski hanya beramah tamah atau membicarakan pekerjaan. Katakanlah dia over posesif, Arkan tidak akan perduli. Dia hanya berusaha menjaga miliknya.
Miliknya!
Selama satu minggu ini dia selalu frustasi melihat bagaimana cantiknya gadis itu. Sampai-sampai dia membawa bayangan cantik itu ke dalam setiap mimpinya dan membuat celananya basah setiap pagi. Sialan!
Hanya dengan menghayalkannya saja Arkan bisa lepas kendali. Dia tidak pernah seperti ini sebelumnya. Dalam pernikahannya dengan Dewi dulu pun dia tidak pernah merasakan apa itu gairah. Dia hanya seperti melakukan suatu rutinitas biasa tanpa kepuasan dan tanpa gairah menggebu. Tapi saat ini hanya dengan membayangkan gadis kecil itu mendesah dan berkeringat dibawahnya, adiknya bisa menggeliat dan bangkit seketika. Lalu apa yang harus dia lakukan?
Arkan melempar ballpoint di tangannya ke sembarang arah den mendesah frustasi. Perlahan tangannya menyugar rambut hitamnya dan memikirkan apa kiranya yang harus dia lakukan. Sepertinya dia kini membutuhkan air dingin.
Dengan tertatih karena kebutuhan mendesaknya di pangkal pahanya, dia bangkit dan berjalan menuju ruang tidur pribadinya. Ruang yang dia siapkan jika sewaktu-waktu lembur bekerja. Seperti dulu. Awal dia jatuh bangun membawa perusahaan hampir bangkrut ini agar bisa stabil. Pontang -panting dia mencari investor dan menjalin kerjasama. Bahkan pernah dia minggu berturut-turut dia tidak keluar dari kantor karena sibuk mengurus perusahaan pailit yang baru dia beli. Sebelas tahun yang lalu.
Kenangan yang mengantarkan pada seorang Arkan yang sekarang.
***
"Hff."
Najma merasa lega saat pekerjaannya beres. Dia melirik jam kecil di atas meja kerjanya yang ternyata sudah memasuki waktunya pulang kerja. Kalau dipikir-pikir Najma malah semakin jauh jodohnya kalau kerja seperti ini.
Boro-boro untuk ngecengin cowok cakep, yang ada dia ngeceng dan ngedate bareng berkas-berkas. Mungkin dia juga bakal nikah sama kertas dan file-file perusahaan.
"Apa gue ngundurin diri aja?" pikir Najma. "Ah, entahlah. Gue mau pamit dulu sama Boss dulu deh, biar nggak kemalaman di jalan," gumamnya sembari merapikan meja kerjanya dan juga barang-barangnya ke dalam tas.
Najma membereskan beberapa alat tulis dan menyimpan berkas-berkas di laci. Kemudian mengunci laci dan mematikan komputer. Berdiri dia mulai berjalan ke arah ruangan bossnya.
Beberapa kali dia mengetuk pintu tapi tak ada tanggapan dari dalam. Dengan ragu, dia mendorong pintu kaca satu arah itu dan mengedarkan pandangan. Heran dia tidak mendapatkan bossnya di kursinya. Kemana bossnya itu? Padahal dia yakin bossnya yang tampan itu tidak keluar dari ruangan ini sejak makan siang.
Lalu?
Najma bergidik mendengar suara-suara aneh itu. Dia tidak bodoh untuk tahu apa yang terjadi di dalam ruangan bossnya. Tapi kenapa namanya ada disebutkan? Apa ada orang lain yang juga bernama Najma ya? Atau jangan-jangan itu nama istrinya boss. Najma bingung.
Tapi sayup-sayup dia mendengar suara lain dari dalam. Apa ada orang lain? Tapi kenapa dia tidak melihat siapapun melewatinya tadi?
Sesaat Najma berniat pulang tanpa berpamitan tapi kerena rasa penasaran yang tidak bisa dia bendung akhirnya dia malah melangkah ke arah pintu kamar. Melalui celah pintu yang tidak tertutup rapat, Najma bisa melihat sosok bossnya yang ....
Astaga!
Najma terlonjak kaget. Seumur hidup dia tidak pernah melihat lelaki dewasa yang naked alias telanjang bulat, tapi kini matanya sudah ternoda. Bossnya saat ini sedang sendiri dalam keadaan naked dengan kedua tangannya yang entah sedang apa di pangkal pahanya itu.
Benar kalimat yang berkata bahwa 'rasa penasaran bisa membunuhmu'. Sekarang Najma percaya karena dia mengalaminya sendiri.
Mata Najma semakin membola melihat tampilan layar laptop yang disaksikan oleh bossnya. Adegan dewasa yang sedang ikut pemilu tampil vulgar tanpa sensor. Kaki Najma terasa lemas, tapi ada sesuatu yang Najma tidak tahu menggelegak dalam dirinya . Minta perhatian.
Kenapa dengan respon dirinya ini?
Apalagi saat dia mendengar suara bossnya yang serak dan berat seperti mengundangnya untuk membuka pintu lebih lebar.
Brukk!
Najma tidak lagi sanggup berdiri dan terduduk di lantai. Ternyata suara jatuhnya tubuh Najma sampai ke telinga Arkan. Panik Arkan menyambar sebuah handuk dan melilitkannya di pinggang. Sialan! Siapa yang berani mengintipnya? Padahal dia hampir sampai. Rasanya dia ingin mengamuk saat ini juga karena tersiksa oleh hasratnya. Tapi begitu melihat siapa orang itu, mata Arkan kembali diliputi gairah. Objek fantasinya menyaksikan bagaimana dia berfantasi.
Dengan langkah berat dan penuh intimidasi, Arkan keluar dan mendekati Najma yang masih bergetar di lantai. Dia bahkan tidak sanggup sekedar bergeser saat Arkan seakan siap menerkamnya.
"Apa yang kau lakukan di sini?" Serak suara Arkan terdengar mengancam.
"Ma-maaf, Pak. Sa-saya tidak sengaja." Najma gemetar dan tidak berani menatap wajah bossnya. Seumur-umur mana berani dia berduaan dengan laki-laki di sebuah ruangan. Apalagi keadaan bossnya bukanlah kondisi biasa. Ini luar biasa!
"Tidak sengaja? Alasan macam apa itu? Kamu harus bertanggung jawab." Suara Pak Arkan kembali menciutkan nyali Najma. Najma memejamkan matanya tak berani melihat lagi.
Tanggung jawab? Bagaimana caranya?
"Ma-maaf, Pak. Maaf." Najma semakin ketakutan saat Arkan sudah berjongkok di dekatnya. Arkan menyelipkan tangannya ke lipatan lutut Najma dan punggung, kemudian mengangkat Najma dalam gendongannya dan membawa gadisnya ke dalam kamar.
Najma terus berdo'a dalam hati agar kali ini dia selamat meskipun entah bagaimana dia merasa tidak akan bisa selamat. Apakah ini akhir dari hidupnya?
***