Season 1 – Chapter 2

1120 Words
Hari minggu, Elysia menepati janjinya. Ia menjemput Kyna jam sembilan pagi, membawa wanita itu ke sebuah cafe yang bernuansa manis. Mereka memesan sepiring pancake, puding untuk pencuci mulut dan segelas mocca untuk menemani sarapannya. Sambil menunggu pesanan datang, Elysia sibuk menatap wajah Kyna lekat-lekat. Sembari tangannya bergerak pelan secara wajar, menggenggam tangan Kyna. "Wah ... kukumu cantik, Kyna. Ke salon nail art mana? Boleh dong, ajak-ajak lain kali," ucapnya bersemangat, membuat sentuhan kecil itu tampak normal dengan sengaja membicarakan tentang riasan kuku Kyna yang memang selalu indah terawat. Kyna tertawa kecil, memberi respons yang baik. "Nail Art House di Matahari Mall. Aku biasanya seminggu sekali ke sana, hari Sabtu." "Oke. Sabtu aku jemput sepulang kerja ya, habis dari salon kita pergi shopping!" "Boleh! Boleh, kebetulan aku juga mau cari sepatu," balas Kyna antusias. Kemudian keduanya mengobrol dengan bersemangat, seolah-olah telah bersahabat lama. Sama sekali tidak ada tanda-tanda keberatan dengan tangan mereka yang masih saling bertautan, bahkan setelah pesanan mereka tiba di meja. "Silakan pesanannya, Mbak," ucap seorang pelayan wanita, sembari menata piring dan alat makan. Refleks dengan kikuk, tautan tangan itu terlepas. Kyna buru-buru mengambil garpu dan pisaunya, berpura-pura sibuk dengan pancake yang terlihat nikmat dengan topping madu dan es krim. Namun diam-diam, Kyna mencari kesempatan melirik ke arah Elysia. Elysia yang sadar diperhatikan oleh Kyna, menyungging senyum andalannya, senyuman yang disukai Kyna. Matanya mengunci pandangan Kyna saat secara tidak sengaja keduanya saling tatap. Tidak ada yang berkedip sama sekali, jarak meja bundar berdiameter lima puluh cm itu seolah tidak nyata. Kyna bahkan berani bersumpah bisa mendengar suara deru napas Elysia, indra penciumannya seolah menjadi tajam. Mampu menghirup segarnya aroma jeruk dari hair spray yang Elysia pakai. Begitu juga dengan Elysia yang terpikat oleh aroma melati dari parfum yang Kyna pakai, tangannya perlahan bergerak pelan menyematkan anak rambut Kyna yang berjatuhan ke telinga wanita itu. Memberanikan diri, Elysia mengusap tulang pipi Kyna menggunakan punggung tangannya, waktu terasa berhenti bagi mereka. Terlebih saat Kyna memejamkan mata dan menikmati sentuhan kecil dari Elysia. Kepercayaan diri Elysia naik drastis, ia mulai yakin bahwa perasaannya akan dibalas oleh Kyna. Senyuman manis mulai merekah di bibir Elysia. "Ayo makan, habis itu pikirkan mau ke mana," ucap Elysia, berusaha terdengar berminat. Padahal mereka berdua sama-sama tahu bahwa tidak ada lagi yang merasa lapar. Namun mereka tetap menyantap sarapannya perlahan, dalam diam sambil menikmati wajah lawan bicaranya, bukan makan yang tengah mereka kunyah. "Aku mau main ke rumah kamu boleh?" tanya Kyna memberanikan diri. Sebab ia merasa kalau Elysia tengah memberinya lampu hijau. Tentu saja Elysia setuju, dengan wajah berbinar-binar Elysia mengangguk. "Aku tinggal sendiri sih, jadinya rumahku agak berantakan. Kalau kamu tidak masalah dengan itu ayo saja." Batin Kyna langsung menjerit-jerit bahagia, membayangkan menghabiskan hari berdua saja di rumah Elysia. Walaupun wajahnya masih saja datar, tapi ia sungguh merasa amat bahagia saat ini. "Nanti aku bantu kamu beres-beres," janji Kyna. Elysia kembali tersenyum, kemudian menyuapinya pancake miliknya yang ber-topping oreo dan cokelat. "Buka mulutmu Kyna." Tanpa berpikir lagi, Kyna langsung menerima suapannya. Lagi pula sesama wanita saling suap itu wajar kok. Tidak akan ada yang mencurigai mereka sebagai pasangan. Apalagi di kota kecil tempat mereka tinggal, rumor mengenai LGBT nyaris tidak terdengar. Entah karena masyarakatnya yang apatis atau terlalu sibuk mengurusi masalah lain. Yang jelas hal itu menjadi keuntungan tersendiri bagi kaum minoritas seperti Kyna. "Enak Ely, sekarang giliran kamu yang cobain punya aku." Kali ini Kyna yang menyuapi Elysia. Makanan yang tadinya tidak mereka minati mendadak jadi sangat nikmat. Canda tawa mulai mengiringi sarapan mereka, hingga semua yang terhidang di meja kecil itu landas tidak tersisa. Elysia membayar bill, kemudian menggandeng tangan Kyna dengan inisiatifnya sendiri. Tidak ada lagi rasa canggung atau takut-takut seperti tadi saat memasuki cafe. Nampaknya mereka telah menyadari perasaan dan ketertarikan masing-masing. *** Rupanya Elysia hanya berlebihan mengatakan kalau rumahnya berantakan. Rumah sederhana tipe 36 itu sama sekali tidak terlihat kotor. Malah sebaliknya tertata dengan rapi dan bersih. Interiornya juga sangat bagus, terkesan minimalis dan modern. Seketika itu juga, Kyna langsung merasa betah berada di sana. Ia merasa nyaman menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa, berbaring dengan santai sambil menunggu Elysia mengambil minum dan camilan. "Silakan," ucap Elysia setelah meletakkan beberapa toples kacang berbagai rasa dan dua gelas sirup pandan. "Kamu yang bereskan sendiri Ely?" tanya Kyna penasaran, soalnya rumah Elysia terlihat amat sepi, tidak ada tanda-tanda kehadiran manusia lain. Elysia mengangguk, sementara matanya mulai menikmati pemandangan Kyna yang tengah bersantai di rumahnya. Terlihat pas sekali, ada rasa senang tersendiri yang ia rasakan. "Iya, aku tidak suka privasiku terganggu, makanya aku beli rumah kecil saja. Biar nggak susah bereskan," jawab Elysia. Kyna mengerti, pantas saja seorang direktur seperti Elysia tidak menempati rumah model gedungan yang mewah. Rupanya karena menginginkan privasinya tetap utuh dan Kyna setuju dengan pemikiran Elysia. Secara pribadi Kyna juga lebih nyaman bila privasinya terjaga, lingkungan tempat tinggal di kompleks perumahan yang sepi seperti ini juga merupakan pilihan yang tepat. Tidak akan ada tetangga yang sok ikut campur dengan kehidupannya. Setelah itu mereka sibuk memilah-milah film yang akan mereka nonton, keduanya sepakat untuk menghabiskan hari minggu dengan nonton DVD secara maraton. Tidak ada hal yang lebih menyenangkan bagi Kyna, selain menghabiskan waktu mengenal Elysia. Tanpa sadar ia terus tersenyum menatap ekspresi wajah Elysia yang terus berubah-ubah mengikuti alur film yang mereka tonton. Ralat hanya Elysia yang serius menonton, sedangkan Kyna sibuk mengamati wanita itu. Saat tersadar sedang diperhatikan, Elysia meninggalkan layar televisi. Ia segera berpindah fokus pada Kyna. "Sedang apa?" tanyanya basa-basi. Walau dalam hati, ia merasa berbunga-bunga ditatap oleh manik mata hitam jernih itu. "Lihatin kamu. Rambut kamu bagus Ely, halus. Aku suka," puji Kyna tanpa ada maksud apa-apa, ia sungguh menyukai rambut lurus sebahu milik Elysia. Tangan Kyna mulai nakal memainkan rambut Elysia, sementara tubuhnya ia baringkan di atas sofa. Elysia sendiri tengah duduk di lantai berkarpet tepat di depan sofa tempat Kyna bermalas-malasan. Elysia hanya diam, tidak membalas kata-kata Kyna yang memang tidak memerlukan jawaban. Ia menutup matanya, menyandarkan punggungnya ke sofa. Menikmati sentuhan Kyna, terasa amat menenteramkan. Sementara Kyna yang mulai sadar bahwa Elysia telah memasrahkan dirinya, mulai berani memeluk Elysia dari belakang. Kyna ingin sekali menyampaikan ketertarikannya, tapi ia masih ragu. Hingga hanya ini yang bisa ia lakukan, bersikap selayaknya teman baik. Kepala Kyna ia jatuhkan ke bahu Elysia, menikmati aroma manis tubuh wanita itu. Elysia yang merasa pelukan itu membuka matanya, sedikit terkejut menemukan wajah Kyna yang amat dekat. Debaran di dadanya mulai terasa menyesakkan. Namun di sisi lain, terasa amat menyenangkan. Elysia bahkan yakin sekali, jika wajah sudah merah. Merasa malu dan senang di saat yang sama. Tangannya saling memilin dengan gugup, sementara Kyna memilih pura-pura tidak menyadari reaksi manis yang Elysia tunjukkan. Keduanya terdiam, berpura-pura menikmati film yang bahkan tidak mereka ingat apa judulnya. Hingga sore datang, Elysia kembali mengantarkan Kyna pulang.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD