Awal dari Petaka

1596 Words
 GARUT 2002 Dirga baru saja tiba dari kota Bandung tempat dia mencari ilmu di Universitas negeri ternama kota itu. Lelaki berusia delapan belas tahun itu merasakan kebas pada telapak tangannya karena memainkan rem dan kopling. Melajukan motor sportnya dengan kecepatan yang lumayan hanya untuk menemui kekasih hatinya yang kini tengah resah. Dealvira Firdausy Sakti gadis yang baru saja memasuki jenjang Sekolah Menengah Atas itu kini sedang resah. Tidak disangka perpisahan dan perayaan diterimanya Dirga di ITB tiga bulan lalu menimbulkan suatu hal yang benar-benar tidak diharapkan untuk saat ini. “Ini.” Alvira, begitu perempuan itu di sapa, menyerahkan sebuah tespack sesaat setelah Dirga tiba. Bahkan lelaki yang baru saja jadi mahasiswa itu belum membuka helmnya. Lemas, itu yang dia rasakan saat menerima stik dengan dua garis merah didepannya. “Sudah berapa kali tespack?” tanya Dirga. “Baru ini, Kak. Bibi juga di rumah kemarin pakai ini dan benar dia hamil.” Alvira diam-diam menyaksikan saat asisten rumah tangga di rumahnya menangis terharu karena hamil. Dia yang saat itu belum mendapatkan periode bulanannya segera membeli alat tes kehamilan dengan merk yang sama. Dengan bekal bungkus tespack yang dia pungut dari tempat sampah Alvira pergi ke apotek dan membeli benda itu untuk memastikan. Ketika mendapati dua garis merah pada tespacknya segera dia menghubungi Dirga. Sebenarnya Dirga sedang sibuk dengan kuliahnya yang baru saja dimulai. Namun, tangisan Alvira di telepon pagi tadi membuat lelaki itu bergegas. Dia merelakan kelasnya, meninggalkan kewajiban yang seharusnya dia tunaikan. “Kamu beritahu bibi?” tanya Dirga ketakutan. “Enggak,” jawab remaja belia itu. Dirga yang kini sudah melepas helm dan jaketnya berlutut tak percaya. Digusaknya rambut hitamnya dengan kasar. Apa yang harus dia lakukan sekarang? “Kak Dirga janji gak akan bikin Alvira hamil, ini buktinya?” Alvira putus asa. Orang-orang yang melintas di depan mereka mungkin mengira bahwa keduanya terlibat pertengkaran antar kekasih. Nyatanya lebih dari itu, tiba-tiba saja remaja itu kini dihadapkan dengan sebuah tanggung jawab yang harus dia pikul. “Mana aku ngerti Ra. Aku gak tahu, aku beneran gak paham. Astaga, mati aku!” Pada saat itu sedikit sekali remaja yang memiliki motor sport seperti yang Dirga miliki. Motor hadiah kelulusan dia masuk ITB itu kini terjungkal karena ditendang, Alvira sersentak mundur karena kaget, lalu tangisannya semakin memilukan. Melihat dari reaksi Dirga, Alvira ketakutan, takut jika lelaki yang dia cintai untuk pertama kalinya itu lari dari tanggung jawab. Takut jika dia melewatkan keseruan belajar sebagai siswa SMA yang baru saja dia rasakan. Takut jika Sakti Prasetya, sang ayah yang dikenal tegas itu marah kepadanya. Dia benar-benar ketakutan. Hingga napasnya hampir habis karena menangis. Dirga mendekat, bagaimanapun sedih juga melihat kekasihnya menangis seperti itu. Dia ulurkan tangannya, tanpa menunggu lama Alvira menyambutnya dan segera mengubur diri dalam pelukan lelakinya. “Sstttt ... sudah, jangan menangis, kita hadapi bersama. Aku akan bicara sama nenek dan kakek, lalu minta kakek untuk melamar kamu. Kita nikah.” “Sekolahku bagaimana?” isak Alvira. Dia tidak siap menjadi ibu, tidak siap menjadi ibu rumah tangga yang setiap hari harus menunggu sang suami pulang. Memakai daster serta menggendong anak. “Aku akan minta pekerjaan sama kakek Bandung, aku akan menghidupi kamu dan anak kita. Jika dia sudah lahir nanti, kita ke Bandung, kamu lanjutkan sekolah di sana.” Alvira mengangguk senang. Kedengarannya sungguh mudah sekali. Menikah, mencari kerja dan membuat Alvira sekolah lagi. Nyatanya semua tidak berjalan mulus. Ketika Dirga sampai di rumah neneknya di Garut, tampak kedua orang tua itu kaget dengan kedatangan sang cucu. Pasalnya, setelah lulus SMA di Kab Garut, Dirga kembali tinggal bersama kedua orang tuanya di kota Bandung. “Aa ada barang yang ketinggalan?” tanya Nenek kala melihat Dirga masuk dan memeluk wanita yang sudah membesarkannya dari kelas tiga SD hingga Lulus SMA. “Maafin Aa, Nek.” Dirga berbisik lemah dalam pelukan Neneknya. “Kenapa, Ga?” Kakeknya yang baru datang dari kecamatan menghampiri cucu kesayangannya, “Papamu kasar? Atau Mamamu?” desak Kakek. Dirga melepas pelukan sang Nenek lalu berlutut minta maaf pada lelaki tua yang merupakan segalanya bagi Dirga. Bocah itu berusaha menyusun kata demi kata untuk menyampaikan pada kedua orang yang dia cintai bahwa dirinya telah membuat hamil anak orang. Kakeknya Dirga adalah orang yang bijak. Dia membiarkan cucunya agar tenang terlebih dahulu, disodorkannya segelas air putih yang langsung disambar Dirga dan kemudian tandas. Wajahnya sedikit panik mengingatkan pada seorang penjahat yang sedang dalam persembunyian karena dikejar polisi. Kata demi kata itu pada awalnya sudah berhasil dia kumpulkan, akan tetapi ketika melewati tenggorokannya semua hilang tak bersisa. Hingga hanya dua kata yang akhirnya berhasil dia ucapkan. “Pacarku hamil!” Prang! Gelas yang sedang dipegang nenek jatuh membentur lantai keramik, hingga pecahannya berserak dan mengenai ibu jari kaki Kakek. Dirga jongkok untuk memeriksa luka yang berdarah itu. Tetapi Kakek menghindar. Dirga mendongak, menatap wajah sang kakek yang kini tampak murka. “Astagfirullah ... Astagfirullah ... Aa!” Tangisan Nenek kini yang terdengar. Jika untuk pasangan yang menikah,  berita kehamilan adalah berita membahagiakan yang disambut baik oleh seluruh keluarga. Berbeda sekali dengan kehamilan sebelum pernikahan, terlebih mereka masih di bawah umur. Belum ada kesiapan untuk melanjutkan semuanya di jenjang pernikahan. “Maafin Aa, Nek!” ratap Dirga. Kakek tidak berkata-kata, tetapi rahangnya yang tegas mengeras menandakan bahwa sekuat tenaga lelaki separuh baya itu menahan kecewa. Dihempaskannya tangan sang cucu, lalu dia pergi dari sana. Dewanto Evandra murka ketika mendapat kabar dari mertuanya bahwa anak lelakinya telah melakukan sebuah kesalahan. Bergegas dia meninggalkan pekerjaan demi mengetahui masalah apa yang disebabkan oleh Dirga. “Kakek sudah telepon papamu. Kakek harus minta maaf padanya karena telah gagal mendidikmu di jalan yang lurus,” lirih Kakek. Dirga terkesiap, kelakuannya sudah menyakiti banyak orang, terlebih Neneknya yang menangis tak henti-henti karena merasa bersalah. *** Hari sudah hampir sore saat Dewanto evandra tiba bersama sang istri, Nania Sukma Dianti. Suasana ruangan tamu kediaman orang tua Nania begitu tegang. Anak lelaki satu-satunya itu terlihat ketakutan berlindung dibalik punggung sang Nenek. “Kenapa Dirga bisa sampai di sini? Bukannya tadi pagi kamu harus kuliah?” Dengan tegas Dewanto bertanya pada Dirga. “Jawab! Seorang pria sejati jangan pernah takut menghadapi masalah, katakan apa yang sebenarnya terjadi?” Keheningan itu ditingkahi oleh suara burung milik Kakek. Dirga masih belum berani mengangkat wajahnya, dia benar-benar takut menghadapi kedua orang tuanya. Meski mereka orang tua kandung, Dirga besar dengan didikan Kakek dan neneknya. “DIRGA!” bentak Dewanto dengan suara yang menggelegar. “Maaf, Ayah, maafin Dirga, Dirga khilaf gak sengaja.” Bocah lelaki itu kembali berlutut, kali ini tepat di hadapan ayahnya. Memeluk kedua kaki orang tua yang masih belum paham apa yang sebenarnya terjadi. Masalah apa yang membuat ayah mertuanya buru buru menelpon dan memintanya datang. “Apa masalahnya? Apa yang telah kamu perbuat? Drop Out dari kampus?” terka Dewanto. “Katakan, Nak, jangan hanya menangis, agar kami mengerti apa yang sedang terjadi.” Nania mensejajarkan diri dengan anak lelakinya. Dia sentuh bahunya yang terlihat begitu lemah, lantas Dirga bersujud dengan tangisan yang tidak berkesudahan. “Maafkan kami karena telah gagal mendidik anakmu, Dewa.” Kakek tertunduk lesu. “Jangan hukum anakmu, hukum saja aku yang sudah renta ini, yang tidak becus dititipi amanah cucu oleh kalian.” Kakek menangis memukul dadanya. Nenek tidak kalah sedih menangis sesegukan. “Tolong jangan biarkan pikiran kami melayang-layang, jangan biarkan kami penasaran, Nak, katakan apa yang terjadi?” hiba Nania. “Dirga ... Dir ... ga ....” “Dia menghamili pacarnya,” tandas Kakek. Plak! Suara tamparan bergema di ruangan itu, panas menjalar ke seluruh wajah Dirga. Belum sempat dia menyeka darah yang meleleh di pipinya, satu tamparan lagi mendarat di pipi kanannya. Membuatnya terhunyung dan tersungkur. Tidak  ada yang menolong Dirga. Lelaki itu menangis sendirian menyesali segala kebodohannya. “Siapa gadis itu?” tanya Dewanto setelah tangisan Dirga, Nania juga kakek nenek Dirga berhenti. “Alvira, Pa.” “Saya tidak peduli siapa namanya? Siapa dia, anaknya siapa?” tanya lelaki itu dingin. Tidak ada yang menjawab, selama ini Dirga pun tidak tahu tentang keluarga Alvira. Kekasih yang dipacarinya masih belum boleh berpacaran sehingga dia dan Alvira sembunyi-sembunyi alias Backstreet. Mereka bertemu sepulang sekolah sekadar jalan-jalan dan makan di kafe terdekat. Hingga kejadian yang membuatnya sengsara terjadi saat lelaki itu lulus SMA. Salah satu temannya memiliki Vila di daerah Cipanas Garut. Mereka semua bermalam di sana sambil Barbequean. Alvira berbohong pada kedua orang tuanya dengan mengatakan akan mengerjakan tugas sebagai persyaratan ospek. Sudah pasti yang tidak seharusnya terjadi pada akhirnya terjadi tanpa pengawasan. Alvira menyerahkan mahkotanya dengan Rayuan gombal Dirga. Meski lelaki itu berjanji tidak akan membuat dia hamil, tetap saja Tuhanlah yang menentukan. “Kamu tuli?” Teriakan Dewanto memekakkan telinga Dirga. Lamunannya buyar lelaki itu hanya bisa menggeleng lemah. “Aku gak tau, Pa,” jawab Dirga. Suaranya bergetar, tangisnya jatuh lagi. “Beri dia uang, agar aib ini tidak sampai meyebar dan membahayakan posisi perusahaan yang tengah goyah.” “Tapi, Pa, Dirga mencintai Alvira. Dirga sudah bilang padanya mau tanggung jawab.” “Tanggung jawab apa? Untuk diri sendiri pun kamu tidak mampu. Selama ini kamu masih aku beri uang, belum dapat menghasilkan. Sebelum bicara mau ngambil anak gadis orang, sebaiknya kamu ngaca! Dasar anak kurang ajar!” Dirga kembali terhempas, kali ini ditambah ucapan sang Ayah yang begitu meremehkannya. Dalam keterpurukan Dirga bersumpah, Dia akan bertanggung jawab. Bukan menjadi lelaki pengecut seperti yang Papanya barusan katakan. Bukankan apa yang lelaki itu katakan merupakan suatu hal yang tidak bertanggung jawab? Dirga menatap tajam wajah sang Papa. “Dirga akan buktikan kalau Dirga Bisa.” “Kita lihat saja nanti!” Dewanto meremehkan, bukannya memberi semangat atau menguatkan anak lelakinya. “Lagipula,” potong Kakek. “Alvira tidak akan bisa dibeli dengan uang, gadis itu, adalah putri dari  Sakti Prasetya, pengusaha pemasok kayu jati terbesar di sini.” Mendengarnya Dewanto murka, ini artinya sama saja dengan menyaksikan perusahaan yang telah dia rintis perlahan-lahan hancur karena kebodohan Dirga. “Kurang ajar, kamu!” Dewanto menghampiri Dirga melayangkan pukulan bertubi-tubi. Dia meringkuk pasrah di lantai. Menangisi semuanya sendiri, dari bibirnya, tidak henti lelaki itu memanggil-manggil nama gadisnya berulang kali hingga tidak sadarkan diri.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD