Waktu menunjukan tepat pukul 20.00 saat ini, seperti biasa pada jam segini suamiku sudah berada di rumah. Setiap hari dia pulang pukul 5 sore dari kantor, karena jarak antara kantor dan rumah kami yang terbilang cukup dekat, pukul 6 sore biasanya dia sudah tiba di rumah. Itu pun jika dia tidak ada meeting atau pekerjaan tambahan lain di luar kantor yang membuat dia pulang terlambat.
Bisa dikatakan cukup jarang dia terlambat pulang. Sekali pun harus pulang telat, dia pasti akan mengabariku lebih dulu. Mungkin karena alasan dirinya begitu terbuka yang membuatku tak pernah meragukan kejujurannya selama sepuluh tahun pernikahan kami.
Kutemukan suami dan putra semata wayang kami, Raffa ... tengah asyik duduk di depan televisi seraya tangan mereka sibuk memegang stick game. Mereka sedang memainkan playstation, game Ninja Ultimate jika kulihat dari layar televisi di mana di sana memperlihatkan dua tokoh ninja sedang bertarung sengit.
“Yeee, aku menang. Daddy kalah!” pekik girang Raffa karena berhasil memenangkan permainan. Raefal, suamiku ... berpura-pura memasang wajah ingin menangis, sontak membuat Raffa tertawa terpingkal-pingkal melihatnya, terlihat begitu senang.
Kugelengkan kepala sejenak melihat tingkahlaku kedua orang itu, sebelum kuputuskan untuk ikut bergabung bersama mereka. Aku duduk di sofa tepat di belakang mereka yang memang duduk di atas karpet.
“Mommy, aku menang. Daddy kalah. Daddy payah ya?” ujar putraku disertai senyuman polosnya yang tak pudar. Aku tersenyum kecil menanggapinya.
“Siapa bilang Daddy payah?” sahut suamiku, berpura-pura tersinggung.
“Iya, Daddy payah soalnya Daddy kalah terus maen game-nya.” Dengan pintarnya putraku menyahut.
“Itu karena kamunya aja yang jago maen game, bukan karena Daddy yang payah.”
Raffa tertawa geli saat Raefal tiba-tiba menggendongnya, lalu dia memeluk erat Raffa. Sesekali dia menggelitik tubuh Raffa, sukses membuat putra kesayangan kami itu menggelinjang kegelian dengan tawa kencangnya yang membahana di seisi rumah.
“Sayang, udah. Kasihan Raffa.” Aku yang mengatakan ini, saat kulihat Raffa tertawa berlebihan seraya memegangi perutnya yang mungkin mulai kesakitan karena terlalu banyak tertawa, aku pun tak tega melihatnya.
Raefal tak mengatakan apa pun, dia memilih menuruti ucapanku tanpa bantahan apa pun, terlihat dari dia yang berhenti menggelitik Raffa dan melepaskan pelukannya.
“Ayo, Daddy, main lagi.”
“OK, Daddy pasti nggak akan kalah. Kali ini pasti Daddy yang menang,” ujar suamiku penuh semangat. Setelah itu permainan mereka kembali dimulai.
Sedangkan aku masih tetap setia duduk di belakang mereka. Sesekali kupandangi putraku yang tampak bersemangat memegang stick di tangannya, terkadang suara teriakan meluncur dari mulut mungilnya, mengundang kekehan untukku dan tawa untuk Raefal.
Sesekali pula aku memandangi punggung tegap suamiku, bagaimana dia tampak menikmati permainan game-nya bersama Raffa. Senyuman tak pernah luntur dari bibirku saat melihat pemandangan di depanku ini, tidak pernah ... sampai ingatan tentang kalung itu kembali menari-nari di kepalaku.
Kalung dengan liontin berinitial ZK yang telah kupastikan menghilang dari tas kerja Raefal. Mungkinkah sudah dia berikan kalung itu pada pemilik initial ZK itu? Aku tak tahu jawabannya karena aku sendiri tak berani untuk menanyakannya pada Raefal. Aku terlalu takut, takut jawaban yang kudengar nanti akan menghancurkan hatiku. Suara jeritan Raffa yang kembali memenangkan permainan kembali menyapa gendang telingaku, membuat semua lamunanku buyar seketika.
“Tuh, kan, Daddy emang payah. Lihat, aku menang lagi. Iya, kan, Mommy? Daddy memang payah?” Aku tersenyum lebar menanggapinya, lalu kuberikan anggukan sebagai bentuk persetujuanku. “Iya, Daddy emang payah ya. Kamu yang terbaik,” jawabku.
Raffa bangkit berdiri dari duduknya, dia melompat-lompat riang seraya tiada henti mulut mungilnya berteriak kegirangan. “Daddy payah, Daddy payah.” Begitu katanya berulang-ulang.
“Kamu kok bilang gitu sih, bukannya belain aku,” rajuk Raefal seraya menoleh padaku. Aku tak tahu harus bereaksi apa selain tertawa mengikuti tawa putraku yang belum reda.
“Ayo, maen sekali lagi. Kali ini Daddy pasti menang,” ajak suamiku yang langsung diangguki penuh semangat oleh Raffa.
Saat itulah aku melirik ke arah jam yang terpajang apik di dinding ruangan, membulatkan mata saat menyadari waktu sudah menunjukan pukul 9 malam sekarang. “Udah cukup mainnya ya. Waktunya Raffa tidur.” Aku yang mengatakan ini, aku beranjak bangun dari posisi duduk. Kuambil stick yang sedang dipegang Raffa.
“Yaah, Mommy, aku masih mau maen game sama Daddy,” rajuk Raffa, menolak saat aku merebut stick itu darinya.
“Besok lagi maen game-nya. Udah jam sembilan, waktunya kamu tidur. Ayo, cepat. Kita ke kamar kamu.” Raffa menoleh ke arah Raefal seolah meminta bantuan pada ayahnya untuk membujukku. Kupelototi Raefal ketika dia menatapku, membuka mulutnya hendak mengatakan sesuatu. Dia pun meringis begitu menyadari penolakanku melalui sorot mataku ini.
“Mommy ngambek tuh. Kamu tidur aja ya, besok kita maen game lagi,” ucap Raefal, akhirnya memilih membantuku membujuk Raffa.
“Yaah, tapi aku masih mau maen game.”
“Besok kita lanjutin ya, Daddy janji.”
“Harus ditepatin ya Daddy janjinya,” ucap Raffa sembari mengulurkan jari kelingkingnya pada Raefal. Raefal terkekeh melihat tingkah laku putra kami yang sangat menggemaskan ini, lantas tanpa ragu dia pun mengulurkan kelingkingnya. Jari kelingking mereka pun bertautan setelahnya. Aku hanya tersenyum kecil melihat pemandangan itu.
“Aku ke kamar Raffa dulu ya, nemenin dia tidur,” pamitku, yang langsung diangguki oleh Raefal.
Aku dan Raffa berjalan santai menuju kamar Raffa, tangan kami saling bergandengan disertai mulut kecil Raffa yang tak hentinya mengoceh. Raffa memang sumber kebahagiaan dan keceriaan dalam hidupku. Tanpa dia, entahlah ... aku tak tahu sanggupkah aku setegar ini saat hatiku tengah gundah karena kepercayaan pada suamiku yang mulai goyah.
Setibanya di kamar Raffa. Aku membantunya berganti pakaian dengan piyama tidur. Kuselimuti dia begitu tubuh kecilnya sudah berbaring nyaman di atas tempat tidur. Menepuk-nepuk pahanya pelan, suatu kebiasaan yang kulakukan setiap malam agar dia cepat tertidur.
Setelah 30 menit berlalu, dan setelah kuyakini Raffa sudah tertidur pulas. Aku pun keluar dari kamar putraku. Aku mengernyitkan dahi ketika mendapati suamiku masih duduk di depan televisi. Layar televisi tampak menayangkan sebuah film action hollywood, entah apa judulnya karena aku lebih tertarik untuk mencari tahu apa yang sedang dilakukan suamiku. Kepalanya tertunduk, terlihat jelas tidak tertuju pada layar televisi, melainkan tertuju pada layar ponsel dalam genggaman tangannya. Dari belakang, kulihat jemarinya begitu lihai menari-nari di atas keypad ponsel, bukti nyata bahwa dia sedang mengetik pesan yang akan dia kirimkan pada seseorang. Aku berdeham cukup kencang, tentu dia mendengarnya karena kini dia refleks menoleh ke arahku.
“Raffa sudah tidur?” tanyanya.
Kujawab dengan anggukan kecil, “Kamu lagi apa?”
“Nonton film. Sini, nonton bareng,” katanya sambil menepuk-nepuk karpet kosong di sebelahnya. Aku menggeleng, tak berminat untuk menonton film saat ini.
“Aku ngantuk. Mau tidur aja. Ini udah malam, mendingan kamu juga tidur. Besok pagi kamu harus kerja lagi lho.”
Dia tersenyum kecil mendengar jawabanku, “Belum ngantuk, filmnya seru. Ya udah, kamu tidur duluan. Bentar lagi aku nyusul.” Mendengar dia menjawab seperti itu, tak ada alasan lagi bagiku untuk tetap berada di sini, lantas aku pun melanjutkan langkah menuju kamar kami.
Tak butuh waktu lama bagiku untuk tertidur lelap, banyaknya kegiatan hari ini cukup menguras tenaga. Aku benar-benar butuh istirahat.
Di tengah-tengah tidur lelapku, aku terperanjat kaget saat merasakan benda kenyal, basah dan hangat menyentuh bibirku. Cepat-cepat kubuka kedua mata, mengernyit bingung tatkala wajah Raefal sudah berada tepat di depan wajahku. Barusan dia menciumku.
“Happy birthday, Sayang,” katanya seraya menarik tanganku agar bangun dari posisi berbaring. Jujur kesadaranku belum terkumpul, aku juga masih terkejut dengan tindakannya yang membangunkan tidur lelapku.
Tanpa kata kuikuti dia yang masih menarik tanganku agar mengikutinya keluar kamar. Dia memapahku perlahan menuruni tangga rumah kami. Aku masih terdiam, membiarkan dia mengajakku kemana pun dia pergi. Hingga saat kami sudah berada di ruang makan, aku terbelalak, terkejut luar biasa.
Di atas meja makan tersaji sebuah kue black forest berukuran sedang dengan lilin yang membentuk angka 36 tertancap di permukaan kue itu, lilinnya dalam keadaan menyala. Ada juga beberapa makanan seafood favoritku seperti cumi goreng dan udang pedas, sudah terhidang di atas meja. Terlihat begitu menggiurkan hingga tanpa sadar aku menelan saliva.
“Selamat ulang tahun yang ke-36, Sayang. Wish you all the best,” katanya sembari mengecup lembut bibirku.
Kesadaranku pun tertarik ke alam nyata sepenuhnya. Bagaimana mungkin aku melupakan hari penting ini? Benar, hari ini merupakan hari ulang tahunku. Kini usiaku tepat menginjak 36 tahun sama seperti Raefal yang berulang tahun lima bulan yang lalu.
Saat aku melirik ke arah jam dinding, waktu menunjukan pukul 00.12, tepat tengah malam. Aku terharu, tak menyangka sedikit pun Raefal menyiapkan kejutan seindah ini untukku.
“Ayo, tiup lilinnya,” pintanya, aku tak menolak. Bergegas kutiup lilin itu.
Aku pun memotong kue, lalu kuberikan suapan pertama untuk suamiku tentunya. Kami tertawa bersama saat potongan kue yang kusuapkan padanya tidak sengaja terjatuh hingga mengotori kaos putih yang dikenakan Raefal. Dia tidak marah karena kecerobohanku ini. Dia juga menahan tanganku saat aku berniat menghapus noda kotor di kaosnya itu dengan tissue. Dia menggenggam tanganku yang tengah memegang tissue, lalu dia mengecup lembut punggung tanganku. Sudahkah aku mengatakan bahwa suamiku ini memang sangat romantis?
Tindakan mesra seperti mengecup punggung tanganku dengan lembut memang sudah sering dia lakukan. Aku tak terkejut melihatnya meskipun rona merah selalu muncul di pipiku setiap kali dia memperlakukan aku semanis ini.
“Ayo, kita makan,” ajaknya. Dia pun menarik kursi yang akan kududuki.
“Kamu yang masak?” tanyaku penasaran. Raefal mengangguk, aku percaya dengan pengakuannya ini. Aku tahu betul sepintar apa suamiku dalam hal masak memasak.
“Kalau kue ini?” tanyaku lagi.
“Aku pesen tadi pake gojek online,” jawabnya.
Aku mencoba berpikir positif, mungkin inilah yang sedang dilakukan Raefal ketika kudapati dia sedang sibuk memainkan ponselnya tadi, dia sedang memesan kue ini menggunakan jasa gojek online. Semoga saja memang inilah yang terjadi, alasan dia mengabaikan film yang diputar di depannya dan lebih memilih fokus pada layar ponsel.
Setelah itu, kami pun menyantap makanan dengan lahapnya. Kami memang memiliki banyak kesamaan, termasuk jenis makanan favorit kami, makanan apa pun selama itu berbahan seafood.
“Aku gak nyangka kamu inget hari ulang tahun aku?” Kutanyakan ini di sela-sela aktivitas makan kami.
“Memangnya pernah aku lupa hari ulang tahun kamu?” katanya balas bertanya.
Aku mencoba mengingat-ingat, lalu kugelengkan kepala saat menyadari dia memang tak pernah melupakan hari ulang tahunku. Setelah aku pikir-pikir lagi, justru akulah yang sering nyaris melupakan hari ulang tahunnya.
“Makasih kejutannya.”
“Kamu suka?”
“Sangat,” jawabku jujur. Kami pun kembali menyantap makanan dengan tenang.
“Sayang, aku boleh gak nanya sesuatu?” Kembali kukatakan ini, ada sesuatu yang mengganjal hatiku, begitu ingin kutanyakan padanya saat ini juga.
“Apa?” Dia sedang menatapku sekarang.
“Selain aku, ada nggak wanita lain yang kamu suka?”
Raefal mengernyitkan dahi beberapa detik, sebelum dia kembali menormalkan ekspresi wajahnya. “Nggak ada, cuma kamu aja,” jawabnya. Kedua matanya masih fokus menatap wajahku.
“Masa sih? Nggak pernah gitu kamu ngelihat wanita cantik, terus kamu tertarik sama dia?”
“Nggak pernah tuh.”
“Hm, gitu ya ....” gumamku. Dia menunduk, kembali melanjutkan aktivitas makannya.
“Kamu gak bosen sama aku? Kita kan udah lama sama-sama terus?”
Dia pun kembali mendongak begitu pertanyaan itu meluncur dari mulutku. “Bosen? Nggak mungkinlah. Aku tuh sayang banget sama kamu.”
“Cuma sayang? Kamu udah gak cinta sama aku?” Aku berani bersumpah, dia sempat terenyak kaget mendengar pertanyaanku itu.
“Cinta dong pastinya.”
“Beneran kamu cinta aku?” tanyaku, sekali lagi memastikan.
“Iyalah, cinta banget.”
“Sampai kapan kamu bakalan cinta sama aku?” Kudengar Raefal mendengus mendengar pertanyaanku kali ini. Sebelum dia terkekeh dan menggelengkan kepalanya pelan.
“Sampai kapan pun. Selama-lamanya.” Itulah jawabannya tak lama berselang.
“Kalau aku pergi. Kalau aku udah gak ada di samping kamu. Kira-kira kamu sedih nggak?” Pertanyaan kesekian kalinya yang kuajukan padanya.
“Pastinya sedih banget. Kamu kok nanya kayak gitu?” Kali ini dia balik bertanya, satu alisnya terangkat naik mungkin heran karena tak biasanya aku melontarkan pertanyaan-pertanyaan seperti ini padanya.
“Cuma iseng aja kok,” jawabku, tentu aku berbohong. Nyatanya aku serius menanyakan ini semua padanya.
“Udah, jangan nanya yang aneh-aneh terus. Oh, iya. Aku ada hadiah buat kamu.”
Setelah mengatakan itu, kulihat dia mengeluarkan sesuatu dari bawah meja. Sebuah paperbag berhiaskan pita di bagian depannya. Dia berikan paperbag itu padaku, yang tentu saja langsung aku terima tanpa ragu.
Aku membuka paperbag, tak sabar ingin segera melihat isinya. Jauh di lubuk hati, aku sangat berharap paperbag itu berisi kalung yang kutemukan di dalam tas kerjanya. Meskipun harapan itu rasanya mustahil bisa terjadi. Dan benar saja harapanku memang tak terkabul ketika kudapati isi di dalam paperbag merupakan sebuah ponsel mewah keluaran terbaru yang harganya pasti sangat fantastis.
“Gimana? Kamu suka?” tanyanya antusias.
Aku tertegun sejenak memandangi ponsel itu, sebelum akhirnya aku mengangguk penuh semangat seraya tersenyum lebar padanya. Terlihat seperti aku benar-benar bahagia padahal nyatanya hatiku sangat kecewa.
“Makasih ya, Sayang.” Aku tulus mengatakan ini. Dia menyeringai mendengarnya, mengundang kernyitan heran di dahiku. Ketika dia tiba-tiba meraih tanganku, lalu menariknya paksa hingga aku berdiri dan berakhir terjatuh di atas pangkuannya, aku tahu ada niat terselubung di balik seringaian menyebalkannya tadi.
“Cuma itu ucapan makasih dari kamu?” tanyanya seraya mengedipkan sebelah mata, menggodaku.
“Memangnya kamu maunya aku ngucapin makasih pake cara apa?”
“Serius kamu nanya?” Aku mengangguk, walaupun sebenarnya aku bisa menebak apa yang sedang berputar-putar di dalam otaknya.
“Baiklah, aku kasih tahu kalau gitu.”
Begitu selesai berucap, dia mendaratkan ciuman penuh hasrat tepat di bibirku. Lalu berdiri, memangku tubuhku seolah baginya tubuhku seringan kapas. Dia tampak tak kesulitan ketika berjalan menaiki tangga menuju kamar kami padahal aku berada dalam pangkuannya. Bibir kami masih saling memagut, baik aku maupun dia, tak ada yang berniat melepaskannya.
Kepercayaan pada suamiku memang mulai menghilang secara perlahan. Sepertinya tak ada jalan lain bagiku selain menyelidiki sendiri pemilik kalung itu. Karena bertanya langsung pada Raefal sepertinya mustahil dia akan mengatakannya dengan jujur jika kulihat dari jawaban-jawabannya tadi. Seolah tak ada wanita lain dalam hidupnya selain aku. Aku pasti akan menyelidikinya sampai aku tahu siapa wanita yang memiliki nama initial ZK itu.
Tapi untuk saat ini, tak ada pilihan bagiku selain menjalankan tugas sebagai seorang istri yang harus melayani kebutuhan biologis suamiku. Seandainya suamiku benar berselingkuh di belakangku, biarkan dia yang menanggung dosanya. Jangan aku. Karena aku akan tetap menjalankan kewajiban sebagai seorang istri meskipun saat mengingat kemungkinan dia berselingkuh, membuatku kehilangan minat untuk b******a dengannya.