Dilema Aliana

1732 Words
Berhari-hari Aliana bermunajat di sepertiga malam. Mencari petunjuk atas jawaban yang harus ia berikan pada Adzam. Kebimbangan kini menyelimuti hati Aliana. Nama Adzam sudah ia diskusikan pada Rabb-nya. Namun, ia tak kunjung mendapat pencerahan. "Ya Rabb. Hamba sudah mendiskusikan namanya dalam setiap sujud hamba. Jika dia memang lelaki pilihan-Mu, maka yakinkanlah hati ini. Namun, jika dia bukan lelaki terbaik pilihan-Mu, maka mantapkanlah hati ini untuk bisa memberi ketegasan padanya, ya Rabb." Batin Aliana dalam doa di sepertiga malamnya. Seusai salat tahajud, tak lupa iya bermurottal sebentar. Membaca lantunan ayat suci Al-Quran yang bisa mendamaikan hatinya. Sekitar 30 menit bermurottal, tak lama terdengar suara azan. Aliana segera bersiap untuk melaksanakan salat subuh. Ia memilih untuk salat sendiri di kamar tanpa ikut berjamaah bersama Dira dan Reyhan. Mengingat, kondisi Dira yang belum sepenuhnya sembuh, mungkin Dira juga salat berjamaahnya di kamar bersama Reyhan. ***** Pagi ini semua berkumpul di rumah. Baik Reyhan maupun Aliana sama-sama masuk siang. Kalau Dira, memang semenjak ia keluar dari rumah sakit, Reyhan belum mengizinkan Dira untuk bekerja. Kondisi Dira juga masih lemah. Jadi, Dira diharuskan untuk beristirahat di rumah sampai beberapa waktu. Mungkin juga selamanya, ia akan di rumah. Karena Reyhan, sepertinya tidak akan membiarkan Dira bekerja. Reyhan takut terjadi sesuatu pada istri tercintanya itu. Aliana sudah berkutat di dapur. Ia memasak makanan kesukaan Dira. Capcay dan udang krispi. Makanan sudah tersaji dengan cantik, dan tinggal di siapkan di meja makan. Usai menyiapkan makanan, Aliana memanggil Reyhan dan Dira untuk sarapan bersama. Tok ... Tok ... Tok ... Suara pintu diketuk. Aliana sudah berada di luar kamar Reyhan dan Dira. "Mbak Dira, Mas Reyhan, sarapan dulu yuk. Makanan sudah siap. Entar keburu dingin." ujar Aliana. Reyhan yang baru selesai mandi, ia tidak berani membuka kamar karena hanya memakai handuk yang dililitkan pada pinggang kekarnya. Dira yang paham, ia langsung bangkit dari ranjang. Namun, segera dicegah oleh Reyhan. "Iya, Al. Sebentar. Kamu tunggu aja di bawah," sahut Reyhan dari dalam kamar. "Baiklah. Kalau gitu, Al turun dulu." Aliana turun menuju meja makan. "Mau ke mana kamu?" tanya Reyhan saat Dira menyingkirkan tangan Reyhan yang mencegahnya beranjak dari kasur. "Aku mau bantu Aliana, Mas. Kasihan dia." jawab Dira yang masih berusaha menyingkirkan lengan kekar Reyhan. "Tunggu sebentar. Aku ganti baju dulu. Kita turun sama-sama," Dira memutar bola matanya malas. "Iyaaaa." Tak lama, Reyhan sudah bersiap dengan baju santainya. Meskipun begitu, ketampanannya tidak memudar sedikit pun. "Ayo turun," ajak Reyhan. Dira bangkit dari tidurnya. "Gak mau aku gendong aja?" tawar Reyhan. Reyhan takut kalau Dira masih pusing. "Gak perlu, Mas. Aku bisa sendiri." jawab Dira menolak halus bantuan Reyhan. Dira merasa dirinya baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. "Ya sudah, aku bantu jalan. Sini aku papah." Reyhan sudah berniat merangkul bahu Dira. "Nggak usah, Mas Reyhan. Aku bisa. Aku nggak papa. Mas gak usah khawatir," tolak Dira lagi. Dira tidak mau diperlakukan seperti ini. Dirinya sudah banyak merepotkan Aliana dan Reyhan. Ia tidak mau semakin menjadi beban untuk mereka. "Tapi Dir." "Mas, aku gak papa. Aku udah baikan kok." Dira tetep kukuh untuk menolak bantuan dari Reyhan. Ia bisa. Dirinya baik-baik saja. "Ya sudah. Kamu jalan dulu, aku di belakangmu," perintah Reyhan. Dira berjalan diikuti Reyhan dari belakang. Saat di tangga, Reyhan sudah siap merangkul tubuh Dira. Dira yang paham, langsung menjauhkan tubuhnya dari Reyhan "Stop! Aku bisa sendiri," cegah Dira dengan mengangkat kelima jarinya di hadapan Reyhan. "Aku bantu ya?" pinta Reyhan. Dira menggeleng. "Ya sudah, terserah kamu. Pelan-pelan saja jalannya." Reyhan akhirnya menyerah. Ia sangat hafal dengan sifat keras kepala sang istri. Tak lama, mereka sampai di meja makan. Di sana, sudah ada Aliana yang duduk sambil menuangkan air minum ke dalam gelas. Ia langsung meneguknya hingga tandas. "Al," panggil Dira. "Eh, Mbak Dira. Duduk dulu, Mbak. Ayo makan." ajak Aliana. "Maaf ya, Al. Gara-gara Mbak, kamu jadi repot." ujar Dira merasa bersalah. Karena penyakitnya, Dira merasa tidak enak dengan Aliana. Aliana pasti kerepotan mengurus keperluan rumah tangga. "Mbak Dira ngomong ap sih? Nggak, Aliana sama sekali nggak repot. Justru Aliana seneng, Mbak. Hitung-hitung, Aliana belajar jadi istri dan ibu rumah tangga. Jadi 'kan, kalau udah Nemu jodoh, Al gak diketawain sama ibu mertua," canda Aliana membuat Dira sedikit tersenyum. "Makasih, Sayang." Dira memegang tangan Aliana yang berada di sampingnya dan mengelusnya lembut. Reyhan langsung menyeret kursi yang ada di samping Dira. Posisi duduk mereka, Aliana dan Reyhan berada di samping kanan dan kiri Dira. Dira yang diapit keduanya, terlihat begitu bahagia. "Masak apa kamu, Al?" tanya Reyhan untuk mencairkan suasana. Ia tidak mau jika Dira terus-terusan merasa bersalah pada Aliana. "Makanan kesukaan Mbak Dira tuh. Ada capcay sama udang krispi." jawab Aliana. "Wihhh, mantep nih, Al," sahut Dira antusias. Tanpa berlama-lama, Dira langsung mengambil piring yang ada di hadapannya. "Sini Mbak, Al ambilin," tawar Aliana. "Gak usah, Al. Mbak bisa sendiri," tolaknya. Dira pun langsung mengambil nasi beserta lauk pauknya diikuti Reyhan dan Aliana. "Mereka mulai menyuap makanannya. "Enak banget, Al. Masakanmu jauh lebih enak malah dibanding masakan Mbak," puji Dira jujur. Soal memasak, kemampuan Aliana memang tidak bisa diragukan lagi. "Iya Al. Enak banget ini," puji Reyhan tak kalah jujur. Aliana tersipu malu. "Kalian bisa aja. Kalau enak, nambah dong." "OTW," jawab Reyhan dan Dira bersamaan. Mereka makan dengan lahap. Bahkan Reyhan dan Dira sampai nambah. Aliana begitu senang melihatnya. "Alhamdulillah, kenyang," ujar Dira setelah memakan habis makanan yang ada di piringnya sampai tak tersisa. Bukan karena dia rakus, tapi karena masakan yang Aliana buat memang benar-benar lezat. "Alhamdulillah," ucap Aliana dan Reyhan setelah menyantap suapan terkahirnya. "Mbak, Mas. Habis ini Al mau bicara. Tunggu sebentar. Al mau beresin dulu piring kotornya." Ya, Aliana memberanikan diri untuk berbicara pada Dira dan Reyhan. Bagaimanapun juga, Reyhan dan Dira berhak tahu tentang lamaran Adzam waktu lalu. Ia harus mendiskusikan ini semua pada keluarganya. Dan hanya merekalah keluarga yang Aliana punya saat ini. "Ya sudah, Mbak bantu ya? Biar cepat selesai," tawar Dira memberi bantuan. "Gak usah. Mbak Dira sama Mas Reyhan ke ruang keluarga aja dulu. Ntar Aliana nyusul." Aliana mulai membereskan piring-piring kotor dan membawanya ke belakang. Sementara Reyhan dan Dira sudah berada di ruang keluarga. Sesuai dengan yang Aliana perintahkan, mereka menunggu di sana. "Mas, Aliana mau bicara soal apa ya?" tanya Dira penasaran. Reyhan yang tidak tahu, ia hanya bisa mengangkat bahunya. "Aku juga tidak tahu, Sayang. Tunggu saja dia datang dan menjelaskan pada kita," balas Reyhan. Tak lama, Aliana datang dengan tangan yang masih basah. Ia mengambil beberapa lembar tissue yang tersedia di atas meja ruang keluarga. Aliana duduk di samping Dira. Ia terlihat begitu serius. "Ekhem," dehem Aliana. "Ada apa sih Dek? Kok kayak serius banget. Ada masalah?" tanya Dira penuh selidik. Gak biasanya Aliana seperti ini. "Iya loh Al. Kamu kenapa? Kalau ada masalah, cerita sama kita. Nanti cari solusi bareng-bareng. Mas heran aja lihat kamu, tumben kamu ngajak kita kumpul di ruang keluarga kayak gini? Biasanya juga kamu langsung ngomong." Reyhan juga ikutan heran. Sikap Aliana hari ini sungguh berbeda. Aliana menarik napas panjang. "Mbak, Mas, Aliana dilamar orang," terang Aliana. "Wah, bagus dong." Reyhan ikut senang mendengarnya. Namun berbeda dengan Dira. Dira tampak terlihat muram. "Dia pemuda yang baik dan taat. Bahkan, diam-diam Aliana juga mengagumi dirinya. Namanya Adzam. Dia mahasiswa termuda yang melanjutkan S3 di kampus Aliana. Tapi Aliana bingung. Berkali-kali Aliana mendiskusikan namanya dalam setiap sujud Al. Bahkan salat istikharah pun berkali-kali Aliana lakukan, tapi sedikit pun tidak Al dapatkan petunjuk apa pun. Bahkan hati Aliana masih ragu untuk memberi jawaban padanya. Apa mungkin dia lelaki pilihan Allah untuk Al?" Aliana bercerita semuanya. Bahkan rasa bimbangnya pun ia ceritakan. Reyhan terdiam. Kalau untuk ini, ia tidak bisa membantu apa-apa. "Tanyakan lagi pada hatimu. Apakah hatimu sudah yakin memilih laki-laki itu untuk menjadi penjaga hatimu? Kalau memang sudah mantap, ya tidak ada salahnya. Selagi lelaki itu baik buat kamu, kami setuju." Reyhan meyakinkan Aliana. Aliana sudah dewasa. Mau tidak mau, ia harus mau menentukan keputusannya sendiri. Ia sudah bisa membedakan apakah itu baik atau buruk. "Tidak! Mbak tidak setuju," ujar Dira lantang. "Lho, kenapa Sayang? Bukankah dia pemuda yang baik?" tanya Reyhan. "Al, dia memang pemuda yang baik. tapi ada lelaki yang lebih baik, yang lebih pantas menjadi imam kamu, Dek," ujar Dira. Aliana mengernyit bingung. Ia tidak mengerti dengan maksud Dira. "Lelaki yang lebih baik? Siapa?" tanya Aliana. "Mas Reyhan." Deg! Jantung Aliana langsung berdetak kencang. Dira ini bicara apa sih? "Mbak Dira ngomong apa sih? Jangan ngaco!" tukas Aliana. "Kamu bicara apa sih, Sayang?" tanya Reyhan lembut. Meskipun ia sedikit tidak suka dengan ucapan Dira yang ngawur itu. "Ya aku bicara benar. Umur aku udah gak lama lagi, terus pas Aliana di lamar orang, Aliana merasa ragu kan? Berarti tandanya Aliana memang dikirim Tuhan buat jadi pengganti posisiku sebagai istri kamu Mas." "Dir, kamu jangan bilang gitu dong. Umur kan gak ada yang tahu." balas Reyhan. Dira tidak menggubris. "Al, mau yah nikah sama mas Reyhan? Gantiin posisi Mbak ngurus Mas Reyhan. Mbak rela kok cerai sama Mas Reyhan. Kamu mau kan?" pinta Dira. Aliana tersenyum miring. "Haha, Mbak Dira ngaco! Aliana permisi dulu." sewot Aliana dan ia langsung beranjak pergi meninggalkan Dira dan Reyhan. Aliana berlari ke kamar. Ia terlihat kesal. "Kenapa Mbak Dira ngaco banget sih? Mana mungkin aku nikah sama Mas Reyhan. Gak! Aku gak bisa. Aku gak mau. Aku gak bisa rebut kebahagiaan Mbak Dira. Mau dia mohon-mohon aku gak boleh goyah. Aku gak akan nikah sama Mas Reyhan!" Batin Aliana. Aliana bingung harus bagaimana. Ia langsung mengambil HP dan mencari kontak bernama Rida. Tut ... Tut ... Tut ... Pada dering ke tiga, seseorang mengangkat teleponnya. Sambungan terhubung. "Hallo, Assalamualaikum," salam seseorang di seberang sana. "Wa'alaikumussalam, Rida?" jawab Aliana. "Iya, Al. Ada apa? Tumben telepon. Kelas masih jam satu siang loh?" "Berangkat sekarang yok! Temenin aku." "Kamu kenapa? Ada masalah?" "Panjang Rid. Entar aku jelasin." "Oke, sampai ketemu di sana. "Oke, aku matiin ya? Assalamualaikum." "Wa'alaikumussalam." Panggilan berakhir. Setelah Rida setuju berangkat lebih awal, Aliana langsung bersiap. Setelahnya, ia turun ke bawah. Di ruang keluarga masih ada Reyhan dan Dira yang masih memperdebatkan masalah permintaan Dira yang menyuruh Reyhan menikahi Aliana. Melihat Aliana keluar dengan baju yang rapi, Dira langsung bertanya. "Al, mau kemana?" tanya Dira. Aliana yang masih malas berbicara dengan Dira, ia hanya menjawab sekenannya. "Ke kampus." "Katanya masuk siang?" "Gak jadi. Al permisi dulu. Assalamualaikum." Aliana langsung pergi tanpa salim terlebih dulu. Dira bisa memaklumi itu. Mungkin, Aliana masih kesal padanya. Ia akan memberikan Aliana waktu untuk memutuskan keinginan terakhirnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD