Ke–GR–an

1877 Words
Setelah perdebatan tentang langit dan senja berakhir, tak lama terdengar suara azan berkumandang. "Sudah azan, Al. Ayo, salat dulu!" ajak Ferdhy sambil bangkit dari duduknya. "Mas Ferdhy mau jadi imam?" tanya Aliana. "Kamu mau jadi ma'mum saya, Al?" tanya Ferdhy balik dengan antusias. Aliana mengangguk. "Iya, aku mau." "Kapan?" tanya Ferdhy semangat. "Kapan apanya?" ujar Aliana bingung. Ia sama sekali tidak paham dengan maksud pertanyaan Ferdhy. Dengan suasana hati yang riang gembira, Ferdhy langsung berkata, "Ayo, kapan aku bisa bertemu ayah, ibu, dan seluruh anggota keluargamu?" tanya Ferdhy tidak sabaran. Toh lebih cepat lebih baik. Aliana mengernyit bingung. Kerutan samar tampak jelas di keningnya. "Apa hubungannya dengan orang tua saya?" Ferdhy semakin gemas dibuatnya. Sesabar mungkin, ia berusaha menjelaskan pada Aliana. "Jadi gini, Al. Kalau kamu meminta saya buat jadi imam kamu, saya harus meminta izin dulu sama ayah kamu, dan saya juga harus meminta doa restu dari ibumu dan seluruh anggota keluargamu. Dari sini paham?" Aliana benar-benar bingung. "Emmm ... emang, jadi imam salat harus pakai izin ayah ya?" Duarrr. Ferdhy salah tingkah. "Eh, imam salat ya?" tanya Ferdhy malu-malu. Dirinya terlalu GR. "Iya, imam salat," perjelas Aliana. Ferdhy menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Duh, kirain," ucapnya spontan. Rasa malu campur lesu, kini berpadu pada raut wajah tampannya. "Kirain apa, Mas?" tanya Aliana polos. "Enggak kok, Al. Bukan apa-apa. Ya sudah, kamu ke masjid dulu gih. 'Kan cewek kalau prepare lama. Belum lagi benerin kerudung, terus pakai mukenah. Iya, 'kan? " Ferdhy mengalihkan topik pembicaraan. Mengambil hati Aliana memang butuh extra kesabaran. Gadis seperti ini memang langkah. Imannya tidak mudah goyah hanya dengan melihat ketampanan atau rayuan semata. Pantas jika Aliana mendapatkan sosok suami yang begitu memperjuangkan dan memuliakan dirinya suatu saat nanti. Dan tentunya, sosok lelaki yang akan menjadi pendamping hidup Aliana hanyalah lelaki pilihan. Bukan lelaki sembarangan yang bermodalkan rayuan atau gombalan. "Ya sudah, aku duluan ya, Mas. Assalamualaikum," pamit Aliana lalu berjalan meninggalkan Ferdhy yang masih berdiri mematung di tempatnya. "Waalaikumussalam," jawab Ferdhy. setelahnya ia beranjak dari tempatnya berdiri kemudian mengikuti Aliran dari belakang menuju masjid kampus. ~~~~ Masjid terlihat ramai. Salat berjamaah terlaksana begitu khusyuk dengan Ferdhy sebagai imam. Seusai salat, Aliana keluar bersamaan dengan jamaah yang lain. Aliana duduk di depan teras masjid sambil mengenakan sepatunya. Dari kejauhan, terlihat seseorang berjalan menghampiri Aliana. "Assalamualaikum, Aliana," sapanya setelah berada di hadapan gadis itu. "Wa'alaikumussalam." Aliana mendongak sekilas, lalu ia menunduk kembali untuk mengikat tali sepatunya yang terlepas. "Sudah selesai, Al?" "Sudah, Mas." jawab Aliana semangat lalu bangkit berdiri. "Mau langsung pulang?" tanya Ferdhy "Iya, Mas. Udah jam segini soalnya, jadi Al mau langsung balik. Takut orang rumah pada nyariin," jawab Aliana jujur. Karena memang Aliana jarang keluar malam kalau tidak ada urusan yang benar-benar penting. Kecuali, kalau keluarnya bersama keluarga. "Pulang naik apa? Ada yang jemput nggak?" tanya Ferdhy perhatian. "Kayaknya sih naik taksi, Mas. Orang rumah gak ada yang bisa jemput soalnya." "Maaf, ya. Saya tidak bisa mengantar kamu pulang. Kamu hati-hati di jalan." tampak sesal terpaut di wajah tampannya. "Iya, Mas. Mas Ferdhy juga 'kan masih ada jam ngajar. Siap-siap gih, biar nggak keteteran. Aku permisi dulu. Assalamualaikum," pamit Aliana. "Tunggu! Al," panggil Ferdhy, sontak membuat Aliana menoleh dan menghentikan langkahnya. "Iya, Mas. Ada apa?" ujar Aliana "Ayo!" seru Ferdhy. "Hah? Ayo kemana?" Alis Aliana mengkerut. Ia tidak paham apa yang Ferdhy maksud. Ferdhy bilang ada jam mengajar, tapi kok malah ngajak pergi? Batin Aliana. "Mari saya antar ke depan. Saya antar kamu buat nyari taksi." Ferdhy memang tidak bisa mengantar Aliana. Namun, Ia bertanggung jawab atas keselamatan gadis itu. Jadi, ia harus benar-benar memastikan Aliana mendapatkan sopir taksi yang tepat. "Eh, nggak usah, Mas. Aku bisa sendiri. Kalau kamu antar aku, nanti kamu yang repot." tolak Aliana dengan halus. Selain tidak ingin merepotkan Ferdhy, ia juga tidak enak jika ada temannya yang melihat dirinya bersama dengan dosen idaman mereka. Bukan karena Aliana takut dibenci, tapi ia takut jika ada yang berbicara tidak-tidak mengenai dirinya. "Udah, gak usah banyak protes. Lagian nggak baik kalau cewek jalan sendirian malam-malam. Kamu tenang saja, saya tidak ada niatan untuk macam-macam. Saya hanya ingin memastikan keselamatan kamu," jawab Ferdhy mantap. Sepertinya, Ferdhy tahu apa yang ada dalam isi kepala Aliana. "Hmmm ... beneran nggak ngerepotin?" tanya Aliana ragu-ragu. "Nggak, Al. Kalau saya bilang nggak ya nggak," jawab Ferdhy gemas. "Oke, baiklah. Mas Ferdhy jalan duluan," perintah Aliana. "Ya enggak lah, kamu yang jalan di depan, saya ikutin dari belakang. Kalau kamu yang di belakang, pas ada yang mau nyulik dari belakang, saya tidak akan tahu. Ntar kecolongan lagi." Ferdhy memang selalu punya alasan. Dan celakanya, alasannya selalu tepat. Aliana tidak bisa beralasan lagi. lagi-lagi dia kalah berdebat dengan dosen tampannya ini. "Ya sudah, iya, saya jalan." Aliana lalu berjalan dan diikuti Ferdhy di belakangnya. Saat melewati lorong panjang, Aliana berpapasan dengan Alan Mahendra. Ia adalah senior Aliana di kampus. "Assalamualaikum, Aliana." Alan memberi salam. "Wa'alaikumussalam," jawab Aliana setelah mengetahui pemilik suara bariton itu. Ferdhy merasa sedikit tak nyaman, Ia seperti obat nyamuk berjalan. "Ehem .... " Alan berdehem sebentar "Al?" lanjutnya lagi. "Iya, Kak. Ada yang bisa Al bantu?" "Boleh minta bantuannya nggak?" tanya Alan sedikit tak enak. "Apa itu? Kalau Al bisa bantu, pasti Al bantu." Sambil tersenyum tulus. "Ehem." Alan berdehem lagi untuk menetralkan degup jantungnya yang tak karuhan. Jujur saja, berada di dekat Aliana membuat hatinya bergejolak. Namun ia sadar diri, mana mungkin perempuan seperti Aliana mau melirik laki-laki biasa seperti dirinya. Imannya saja masih sering goyah, apalagi menyandingkan dirinya dengan wanita setaat Aliana. "Jadi nggak, minta tolongnya?" ucap Aliana tidak sabaran. "Ya jadi, dong." balas Alan santai. "Ya apa? Dari tadi cuman dehem mulu." "Jadi gini, Al. Besok aku mau pinjem buku yang kemaren kamu bawa, boleh nggak?" ucap Alan to the point karena tak ingin lama-lama berbicara dengan Aliana. Bukannya dia tidak mau, hanya saja, jika ia terlalu lama bersama dengan Aliana, itu sangat tidak baik untuk kesehatan jantungnya yang berpacu 10 x lebih cepat. "Ya Allah, Kak. Tentu saja boleh. Kebetulan juga, Al bawa bukunya sekarang. Ini bukunya. Bawa saja dulu." Aliana menyerahkan buku itu pada Alan. Alan mengambil buku itu dari tangan Aliana. "Ekhem ... Al, cepet pulang. Udah malem." Ferdhy yang berada di belakang Aliana merasa terasingkan. Ia langsung mengingatkan Aliana untuk segera pulang. "Astagfirullah." Aliana beristigfar. "Kak Alan, aku balik duluan ya? Udah malam juga soalnya," pamit Aliana pada Alan. "Oh, iya, Al. Thanks juga ya udah dipinjemin buku. Hati-hati di jalan." "Assalamualaikum." Aliana memberi salam. "Wa'alaikumussalam," balas Alan. Aliana kemudian berlalu diikuti Ferdhy dari belakang. Lorong ini lumayan panjang. Jadi, cukup banyak memakan waktu untuk melewatinya. Sedari tadi, pikiran Ferdhy berkecamuk. Ia sangat penasaran dengan lelaki yang meminjam buku Aliana tadi. Apa mungkin itu calon Aliana? Batin Ferdhy mulai menduga-duga. Ferdhy mensejajarkan langkahnya dengan Aliana. Ia melirik Aliana sekilas. "Itu tadi siapa?" tanya Ferdhy sedikit sewot. Namun, ia tidak menunjukkan kesewotannya di depan Aliana. Ia lebih memilih untuk memasang muka datar. "Itu namanya Kak Alan. Dia senior aku." jawab Aliana. "Ada hubungan apa kamu sama dia?" "Lha? Kok Mas Ferdhy jadi sewot?" "Enggak, siapa yang sewot? Orang biasa aja," elak Ferdhy. Padahal, dalam hatinya, ia sudah was-was jika laki-laki itu adalah saingan barunya. "Hmmm ... aku gak pernah punya hubungan sama laki-laki mana pun. Aku gak pernah pacaran sama sekali. Toh pacaran juga tidak ada gunanya. Jadi, menunggu jodoh dalam diam itu lebih baik menurut aku," jelas Aliana. Ferdhy terkagum-kagum mendengar penuturan gadis itu. Aliana memang berbeda, sudah langka menemukan gadis yang taat di akhir zaman seperti ini. "Alhamdulillah, semoga kamu tetap istiqomah sampai benar-benar bertemu dengan imammu dunia akhirat." Ferdhy tidak bisa berkata-kata lagi. Cuman itu yang mampu terucap dari bibirnya. "Aamiin Allahumma Aamiin," balas Aliana. Tak terasa lorong panjang sudah terlewati. Aliana berjalan menuju depan kampus. Sesampainya di persimpangan, Bruak. Aliana yang tidak fokus, menabrak seseorang yang berjalan di hadapannya. Buku-buku yang ia bawa jatuh berserakan. Bahunya terasa sedikit sakit karena benturan antara dirinya dan seseorang yang ditabraknya memang lumayan keras. Namun, ia tidak menghiraukan. Aliana langsung berjongkok dan mengambil buku-bukunya yang berserakan. Seseorang yang ditabrak Aliana tidak tinggal diam begitu saja. Ia juga merasa bersalah karena jalan terburu-buru dan tidak melihat jika ada seseorang yang berjalan dihadapannya. "Ini buku kamu, maaf saya tidak sengaja menabrakmu. Saya tadi terburu-buru, jadi tidak melihat kalau ada orang yang berjalan di depan saya," ucap suara bariton itu sambil meminta maaf. Aliana yang masih fokus menata buku-bukunya, ia hanya menerima buku itu tanpa melihat seseorang yang ditabraknya. "Terima kasih, saya juga minta maaf karena tidak berhati-hati saat berjalan. Saya tadi sedikit melamun, jadi saya kurang fokus kalau di depan saya ada seseorang yang sedang berjalan. Maaf saya sudah menabrak Anda." Aliana bangkit berdiri diikuti laki-laki itu. Sekilas, ia melihat ke arah sosok yang ditabraknya. Aliana langsung memicingkan mata. "Mas Adzam?" tanya Aliana ragu-ragu. Ferdhy yang mendengar Aliana menyebut nama Adzam, langsung terlihat masam, duh saingan baru nih. batinnya dalam hati. "Iya, saya Adzam. Maaf, apa sebelumnya kita pernah bertemu?" tanya Adzan to the point. Aliana tersenyum tulus. "Tidak, saya tidak pernah bertemu Mas sebelumnya, tapi siapa yang tidak kenal dengan Mas Adzam? Bahkan, teman-teman saya selalu membicarakan pencapaian-pencapaian luar biasa yang Mas Raih." Pujian demi pujian terlontar dari bibir Aliana. Aliana tidak berbohong, dirinya berbicara apa adanya. Pencapaian-pencapaian Adzam tidak bisa diragukan lagi. Di usianya yang masih 27 tahun, ia sudah melanjutkan pendidikan S3 nya di jurusan kedokteran. Sungguh pencapaian yang luar biasa hebat bukan? bahkan, Aliana pun terkagum-kagum dan menjadikan sosok Adzam sebagai panutannya. "Duh, jangan gitu. Entar jadi berat kepalaku," canda Adzam. Iaa tertawa ringan. Aliana juga ikut tertawa. "Ya sudah, kalau begitu saya permisi dulu, Mas. Sudah malam, takut dicariin orang rumah," pamit Aliana. "Eh, tunggu sebentar. Boleh tahu nama kamu?" Entah kenapa Adzam ingin sekali mengetahui nama gadis itu. Bahkan saat pertama kali melihat matanya, Ia langsung memiliki niatan untuk menghalalkan gadis yang ada di hadapannya. "Boleh. Perkenalkan saya Aliana Putri Kamila. Teman-teman biasanya panggil saya Aliana. Saya mahasiswi kedokteran semester 5. Salam kenal Mas Adzam." Aliana menelungkupkan kedua tangannya, dan Adzam pun membalas menelungkupkan tangannya sebagai tanda perkenalan mereka. "Baiklah, Aliana. Senang bisa mengenalmu. Silakan kalau mau pulang, hati-hati di jalan." Mengetahui namanya saja, hati Adzam berdesir hebat. Sebenarnya, sudah sejak lama Adzam diam-diam memperhatikan Aliana. Waktu itu, ada acara kampus. kebetulan Adzam lah yang dipilih menjadi pemateri. Waktu itu Aliana turut serta menjadi panitia, dan saat pertama Adzam melihatnya, ia langsung jatuh hati dengan kesederhanaan yang Aliana miliki. "Iya, Mas. Kalau begitu Aliana permisi. Assalamualaikum." "Wa'alaikumussalam." Setelah Adzam menjawab salamnya, ia langsung berlalu. Diikuti dengan Ferdhy yang jaraknya sedikit jauh. Ya, Ferdhy memang sengaja menjauh agar rasa sakit yang dirasa tidak terlalu parah. Namun, tetap saja rasanya sakit, melihat gadis pujaannya bercengkrama dengan pria lain. Sepanjang perjalanan menuju depan kampus, Ferdhy mendiami Aliana. Tak lama, mereka sudah sampai di depan parkiran taksi yang berjajar rapi. Ferdhy membuka pintu taksi untuk Aliana. Aliana masuk ke dalam taksi itu. "Mas Ferdhy, Aku pulang dulu ya? Assalamualaikum," pamit Aliana dari dalam taksi "Iya, Al. Kamu hati-hati. Wa'Alaikumussalam," jawab Ferdhy. Ferdhy merogoh uang di saku celananya. Lalu ia mengambil 2 lembar uang 100 ribuan, dan memberinya kepada sopir taksi. "Pak, saya titip ya? Tolong diantar sampai tujuan. Ini tips buat bapak." ujar Ferdhy pada sopir taksi. "Siap, Mas," jawab sopir taksi antusias. Taksi pun melaju ke tempat yang sesuai dengan alamat yang Aliana berikan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD