Makanya Hamili Aku!

1060 Words
BSM 5 "Baiklah. Aku percaya sama Mas. Tapi Mas juga harus janji sama aku kalau Mas pasti bisa jaga diri! Jangan sampai kemakan bujuk rayunya perempuan itu," sungut Nara dengan raut wajah manja. Naren mengusap anakan rambut yang menjuntai di pipi Nara. Lalu memandangi wajah itu dengan senyum tulus yang penuh dengan tatapan cinta. "Percaya sama Mas. Cinta Mas cuma buat kamu." Naren berujar dengan mantap. "Mas janji ngga akan macam-macam." "Eheemm, jadi obat nyamuk nih. Pulang dulu ya? Jangan salah paham lagi loh, awas kamu," ucap Tania sambil menatap Nara dengan wajah pura-pura serius. "Biarin, kalau ngga gitu kamu ngga panik!" Nara membalasnya dengan wajah yang tak mau kalah. Bibirnya mengatup rapat menahan tawa. "Dasar kamu!" pekik Tania sambil terkekeh. Ia kemudian berjalan menuju sebuah meja kecil yang ada di dekat pintu masuk showroom. "Maafin aku ya, Mas?" ucap Nara setelah Tania pergi. Rasa bersalah kini mulai merasuki dadanya. Ada kelegaan yang terasa dalam d**a Naren. Hampir saja kesalahpahaman terjadi dalam hubungannya. Melihat wajah Nara yang tampak merasa bersalah itu menjadi penambah kadar cinta di hati Naren untuk Nara. "Aku asal marah aja tadi," sambung Nara lagi. Nara meraih tangan Naren. Ia mencium tangan Naren dengan lembut. "Aku cuma takut kehilangan Mas." Naren meraih badan Nara untuk dipeluknya. Suasana ruangan Nara yang berdinding kaca sebagian membuat Naren tak berani berbuat lebih. Ia hanya berani memeluk sekilas sambil mencium sedikit pucuk kepala Nara. "Ngga apa-apa. Wajar kalau kamu marah. Itu artinya kamu sayang Mas." Naren tersenyum seraya membingkai wajah Nara dengan senyuman. "Sayang banget, sampai aku ngga mau kehilangan Mas. Makanya hamili aku aja biar kita bisa menikah," lirih Nara. Kepalanya menunduk menahan sedih. "Hei, Mas kan sudah bilang. Masih ada cara yang lebih baik dari pada berbuat zina. Mas kan masih usaha, kita lihat nanti hasilnya bagaimana." "Tapi, sikap Fara membuat Nara cemas," lirih Nara takut-takut. Jari-jari ditangannya saling meremas lalu bertaut. Sesekali wajah itu menatap manik hitam yang sedang memandangnya dengan hangat. "Enggak, Sayang. Mas janji sama kamu." Naren berdiri dari tempatnya duduk. Ia merapikan kemejanya yang berantakan, lalu mengusap pucuk kepala Nara. "Ya sudah, ini sudah jamnya pulang. Kamu siap-siap dulu ya? Lalu pulangnya hati-hati. Mas mau lanjutin kerjaan yang tadi belum selesai," ujar Naren sebelum pergi ke ruangannya. "Iya." Nara mengangguk cepat. "Mas," panggil Nara lagi. Yang membuat kaki Naren urung melangkah. "Iya? Ada apa?" Nara memandang wajah Naren takut-takut. Bibirnya ragu untuk mengungkapkan apa yang masih mengganjal dalam hatinya. "Aku minta maaf atas kesalahanku tadi," ucapnya jelas. Naren kembali mendekati wajah yang masih menikmati wajahnya dengan sepasang bola mata indah milik Nara. "Ngga apa-apa." Sebuah usapan lembut mendarat di pucuk kepala Nara. "Mas balik dulu ya? Kamu hati-hati kalau pulang." "Iya. Pasti hati-hati. Jangan khawatir," jawab Nara sambil membalas senyum Naren yang hangat. Berat langkah Naren untuk pergi saat merasakan tatapan manja dari Nara. Hati yang telah tertaut itu menjadikannya ingin selalu bersama setiap harinya. Nara mengembuskan napas kasar saat tubuh tegap itu benar-benar melangkah kian jauh. Betapa hari ini adalah hari terberat selama hidupnya. Asmara yang dijalinnya mulai timbul keretakan yang tanpa disadari retakan itu kian banyak dan menampar dirinya dengan kehadiran Fara yang nyata. "Yuk balik?" ajak Tania. Dipunggungnya sudah melekat tas punggung kecil berwarna hitam. Ia berhenti di ambang pintu ruangan Nara dan melihat Nara masih duduk diposisinya semula. Embusan napas kasar keluar dari bibir Nara. Pandangannya nanar menatap satu titik di depannya. Bibir itu kembali menghela napas sebelum ia benar-benar berdiri untuk mengikuti langkah Tania. "Ciee sudah baikan," goda Tania seraya menoel dagu Nara yang baru saja sampai di hadapannya. "Apaan sih," elak Nara sambil mengusap bekas tangan Tania di dagunya. "Masih cemberut aja sih? Belum baikan?" Kedua gadis itu berjalan beriringan menuju parkiran motor. Sesekali mereka membalas sapaan karyawan bengkel motor yang masih sibuk menyelesaikan pekerjaannya. Area kerja yang tidak terlalu luas membuat orang-orang di showroom dan bengkel itu saling mengenal satu sama lainnya. Tak jarang para karyawan itu nongkrong bersama usai kerja ketika weekend tiba. Bahkan Nara dan Naren juga terlibat cinta lokasi karena terlalu sering berinteraksi selama bekerja. "Sudah baikan, tapi liat sikap Fara tadi emm-" "Kenapa?" sela Tania. Ia menoleh ke wajah Nara untuk mendengarkan ucapan Nara dengan seksama. "Aku takut." "Takut? Pak Naren cinta sama kamu, ngapain takut?" sanggah Tania cepat. Ia baru saja melihat usaha Naren untuk memperjuangkan hubungannya dengan Nara. "Perempuan itu wanita pilihan orang tuanya. Jelas lebih banyak peluang untuk mendapatkan restu. Sementara aku, sudah menjalin cinta sejak lama tapi ngga kunjung direstui. Apalagi dia sudah berani menghampiri Mas Naren ke kantornya. Aku khawatir," ungkap Nara lirih. Tania menghentikan langkahnya. Ia memegang lengan Nara bagian atas dengan perlahan. "Selama janur kuning belum melingkar, apapun masih bisa terjadi. Termasuk gagalnya perjodohan mereka." Nara membalas tatapan Tania dengan sendu. Dadanya bergerak lambat seiring dengan helaan napas panjang dan dalam yang keluar dari bibirnya. "Apa aku minta dihamili Mas Naren aja ya? Biar mamanya ngga punya alasan lagi buat nolak aku jadi menantunya?" usul Nara yang sejak tadi bergejolak dalam hatinya. "Husss!" desis Tania cepat. "Jangan asal! Virginitas itu harga mati seorang gadis, jangan asal dibagi sekali pun dengan kekasihmu!" sambung Tania mantap. "Tapi kamu tahu kan bagaimana sikap Fara? Belum apa-apa sudah minta waktu jalan berdua sama Mas Naren, kalau ini dituruti besok bisa ngelunjak!" "Percaya sama Pak Naren. Dia laki-laki yang baik. Pasti punya berbagai cara buat perjuangin hubungan kalian selain pakai cara haram itu." Nara membuang napasnya kasar. Ia lalu melanjutkan langkahnya kembali dengan malas. "Na, hamil diluar nikah itu bukan solusi!" bisik Tania lagi. Rasa khawatir tiba-tiba merasuki hati dan pikirannya. Biasanya, mereka yang sedang bermasalah dengan cinta, logikanya tidak bisa berfungsi dengan baik. Termasuk Nara. Ia khawatir Nara nekat melakukan hal-hal yang buruk atau terbilang nekat. "Mas Naren tadi juga bilang gitu." "Loh, kamu sudah bilang sama dia?" sahut Tania kaget. Nara mengangguk lemah. "Tapi jawaban dia sama kayak kamu." "Ah syukurlah," sembur Tania senang. "Kok malah bersyukur sih!" "Iya dong! Berarti dia emang laki-laki yang baik. Dia ngga mau menyelesaikan masalah dengan jalan haram! Kamu tahu haram kan?" "Iya. Rasanya kepalaku pusing banget gara-gara kejadian tadi!" Nara menjawab seraya memijat kepalanya yang terasa nyeri. "Hamil mungkin dirimu," seloroh Tania sambil cekikikan. "Ngawur!" Sebuah pukulan gemas mendarat di lengan Tania. "Jangan asal! Masih perawan ting-ting ini!" "Lah gitu segala minta dihamilin!" omel Tania sambil memakai helm yang sebelumnya ia letakkan di atas kaca spion. Naraya mencebik mendengar omelan Tania yang menyudutkannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD