Chapter 002

1333 Words
"Pangeran ... Pangeran tidak boleh ke sana," teguran Kasim Cha berhasil menghentikan langkah Pangeran Lee Jung Hwan yang ingin memasuki kawasan paviliun Putra Mahkota. "Aku mohon kembalilah ke paviliun," suara Kasim Cha terdengar sangat memohon. Bahu Jung Hwan seketika langsung melorot. Bahkan dia sudah susah payah mengendap-endap seperti seorang pencuri untuk bisa keluar dari paviliunnya agar tak diketahui oleh Kasim Cha. "Aku tidak mau, aku ingin mengunjungi Putra Mahkota," tandas Jung Hwan, membuat Kasim Cha panik karena tepat pada waktu itu Putra Mahkota tengah mendapatkan pengajaran di Paviliun belajarnya. Dan jika Jung Hwan sampai mengganggunya, Raja pasti akan marah. "Pangeran ... hari ini Putra Mahkota tidak bisa ditemui. Ah ... bagaimana jika kita ke danau yang berada tidak jauh dengan tempat biasanya Putra Mahkota bersantai? Bagaimana?" Jung Hwan bersedekap dan memasang raut wajah seakan-akan tidak peduli, padahal dilihat dari matanya yang tiba-tiba melebar ketika mendengar nama Putra Mahkota, sudah cukup dijadikan bukti bahwa pemuda itu benar-benar tertarik. Jung Hwan kemudian berujar dengan nada yang sedikit ketus, "apa kau ingin membohongiku? Aku tidak pernah mendengar tempat yang seperti itu." "Itu karena Pangeran selalu berada di paviliun," ujar Kasim Cha sembari tersenyum. "Itu semua karena kalian tidak membiarkan aku keluar dari paviliun," balas Jung Hwan. Kasim Cha tersenyum canggung, seakan membenarkan perkataan Jung Hwan. Karena meskipun hanya Pangeran dari seorang Selir, Lee Jeon sangat menyayangi Jung Hwan seperti halnya dia menyayangi Tae Hyung. Sehingga sang Raja juga mengutamakan pendidikan untuk Jung Hwan yang baru berusia lima belas tahun, dengan mengirimkan seorang Guru pembimbing yang datang setiap harinya untuk mengajarinya semua hal tentang Joseon dan kerajaan. "Kalau begitu tunggu apalagi? Tunjukkan jalannya," terdengar sedikit memaksa. "B-baik, Pangeran." °°°° Menjauh dari istana, menepi pada barisan pegunungan yang berdiri kokoh layaknya sebuah benteng yang dibuat oleh para Dewa. Seorang pemuda berpenampilan layaknya seorang Bangsawan dengan pedang yang berada di tangan kirinya, tengah berjalan menyusuri kaki Gunung Jiri. Sesekali melihat ke atas langit yang begitu cerah, bau harum bunga cerry menyebar ke setiap penjuru dan mengusik penciumannya. "Aku akan lebih senang jika yang kucium adalah bau harum bunga anggrek," gumam pemuda itu dengan sudut bibir yang sekilas terangkat. Menyusuri jalan setapak di kaki gunung, pemuda itu berjalan ke arah desa yang terletak di selatan gunung yang tidak begitu jauh dari tempatnya saat ini. Di sisi lain, tepatnya di kaki Gunung Jiri bagian selatan. Terlihat sebuah desa yang cukup makmur dengan banyak rakyat kecil yang hidup dengan saling bahu-membahu. Sebuah desa di mana tidak ada satupun bangsawan yang tinggal dan berbaur dengan rakyat kecil seperti mereka. "Ya ampun, bagaimana ini? Kenapa kau menumpahkan semuanya?" keluh seorang wanita paruh baya pada seorang wanita yang terlihat jauh lebih muda darinya. "Bibi ... aku tidak sengaja, maafkan aku ... aku berjanji akan bekerja lebih keras lagi," ujar gadis muda itu dengan menyatukan kedua tangannya seakan-akan tengah mengucapkan permohonan. Wanita paruh baya itu menghela napas. "Kau ini, kau tidak tahu seberapa mahal sup itu? Jika begini terus, kedaiku pasti akan tutup ... kalau begini terus, lebih baik kau pergi ke Hanyang dan pulang kemari setelah mendapatkan uang." Bibi itu mengomel sembari membereskan mangkuk-mangkuk kotor yang sudah ditinggalkan oleh pelanggannya. Namun gadis muda itu tiba-tiba memegang kedua bahu bibi tersebut dan merendahkan kepalanya untuk melihat wajah bibi yang tengah marah padanya itu. "Apa lagi ini?" gumam bibi itu tanpa minat. "Bibi ... kau ini tega sekali. Apa kau ingin aku menjadi Kisaeng jika aku pergi ke Hanyang?" Kisaeng : Wanita penghibur Bibi itu menyingkirkan tangan gadis itu, lalu berucap dengan marah, "kau ini! Siapa yang menyuruhmu menjadi Kisaeng? Apa kau ingin mempermalukanku di depan kuburan kakakku karena tidak bisa mengurusmu? Dasar anak nakal, kemari kau!" Bibi tersebut mengambil rotan dan berjalan menuju gadis muda itu dengan niat ingin memukulnya, sedangkan gadis itu berlari sambil tertawa. Pintu rumah mereka tiba-tiba terbuka dari dalam dan terlihat siluet yang sangat mencolok, sebuah pakaian yang terlihat sangat mewah dan tampak berbeda dengan pakaian yang digunakan para penduduk pribumi. "Ya ampun!" sang bibi tampak terkejut melihat wanita Bangsawan tersebut keluar dari rumah. "Aigoo, aigoo, Agassi ... Kenapa kau keluar rumah? Jika kau memerlukan sesuatu kau bisa memanggilku." Agassi : Nona (Panggilan untuk seorang gadis muda) "Aku hanya merasa sedikit bosan berada di dalam, aku akan duduk di luar sebentar," ucap gadis Bangsawan itu. Sang bibi hanya mengangguk dengan raut wajah yang tampak cemas, karena biasanya para bandit gunung akan datang dan mengacau desa. Jika sampai mereka tahu ada seorang putri Bangsawan di sana, para bandit itu pasti akan mengganggunya. Bibi itu kemudian pergi ke belakang. "Agassi ..." Gadis muda yang sebelumnya dimarahi oleh bibi itu, tiba-tiba duduk di samping wanita Bangsawan tersebut. "Apa Tuan Bangsawan yang kau tunggu belum datang?" "Dia mungkin sedang dalam perjalanan menuju kemari." "Bagaimana jika dia tidak datang?" "Dia pasti datang, tidak. Dia akan selalu datang meski aku pergi ke tempat yang sangat jauh sekalipun." Gadis muda itu menatap si Bangsawan muda tersebut dengan tatapan tidak percaya. "Minggir, minggir semua! Beri kami jalan!" "Hey, kau b******n tengik! Beraninya kau menabrakku! Kau tidak punya mata?!" Terdengar keributan tak jauh dari tempat mereka, membuat mereka melongokkan kepalanya dan perhatian keduanya teralihkan saat si bibi tiba-tiba saja berlari dari belakang rumah dengan panik. "Aigoo, aigoo. Kenapa mereka datang lagi? Agassi, agassi sebaiknya masuk ke dalam," ucap si bibi, terkesan buru-buru. "Apa ada masalah? Siapa yang membuat keributan di sana?" "Ah ... Agassi tidak perlu memikirkan bandit-bandit itu. Sebaiknya Agassi cepat masuk ke dalam ... Yeo Wol, kau juga cepat sembunyi." Gadis muda bernama Yeo Wol tersebut mengangguk lalu menarik lengan si Bangsawan dan berjalan masuk ke rumah. "Oh! Berhenti semua!" ujar seorang bandit yang mungkin adalah pimpinan mereka. Mereka kemudian menghampiri si bibi yang tertunduk di halaman rumah. "Bibi ... sepertinya kau kedatangan tamu hari ini. Jika kau tidak keberatan, biarkan dia menyapa kami." Si bibi menjawab dengan suara yang dibuat tegas, "tamuku tidak ingin bertemu dengan kalian, lebih baik kalian cepat pergi dari sini." "Apa? Apa sekarang kau mencoba untuk mengusir kami?" Tawa menggelegar memenuhi halaman rumah. Yeo Wol yang berada di dalam rumah hanya bisa duduk diam di sudut ruangan, sedangkan si Bangsawan mengintip dari celah pintu. "Siapa mereka?" tanya si Bangsawan. "Bandit gunung, mereka selalu datang dan membuat kekacauan di sini." si Bangsawan kemudian mendekati Yeo Wol. "Kenapa kau bersembunyi?" "Jika aku tidak sembunyi, mereka pasti akan membawaku." Si Bangsawan tampak terkejut. Dia juga melihat ketakutan di wajah Yeo Wol. Itukah alasan kenapa tidak ada gadis muda lainnya selain Yo Wol di desa itu? Tiba-tiba terdengar keributan dari luar diiringi dengan teriakan dari si bibi. Si Bangsawan terlihat tengah mempertimbangkan sesuatu sebelum akhirnya meraih pedangnya dan berjalan keluar, membuat Yeo Wol terkejut. "Agassi ... kau mau ke mana?" "Tetaplah di sini," ujar si Bangsawan yang kemudian menutup pintu dari luar dan membuat semua orang berhenti bergerak ketika melihatnya. "Woah ... benar-benar cantik." Ketua bandit itu memberi isyarat agar anak buahnya membawa si Bangsawan padanya. "Berhenti di sana!" ujar si Bangsawan dengan sorot mata yang tajam. Dia kemudian dengan suka rela turun ke halaman, membuat wajah si bibi semakin memucat. "Agassi ..." ujar si bibi dengan suara lirih. Suara tegas si Bangsawan lantas terdengar, "apa yang kalian inginkan? Jika kalian sudah mendapatkan apa yang kalian mau, silahkan pergi dari sini." "Bicara apa wanita ini? Bagaimana jika aku menginginkanmu? Apa kau bersedia ikut bersama kami?" Tawa itu kembali terdengar dan membuat telinga si Bangsawan menjadi sakit mendengarnya. "Apa kau seorang Kisaeng? Kenapa Kisaeng secantik dirimu bisa memegang pedang?" "Aku bukan Kisaeng dan tentang pedangku, kau tidak perlu tahu kecuali kau ingin dia menebas lehermu." Ketua bandit itu menyunggingkan senyumnya. "Menarik, baiklah ... jika anak buahku bisa melukaimu, kau menjadi milikku. Bagaimana?" Si Bangsawan menarik pedangnya. "Pergilah dan akan kuampuni kalian" tandasnya. Ketua bandit itu memberi isyarat agar anak buahnya mulai menyerangnya. "Jangan sampai melukai wajahnya atau akan kubunuh kalian." Wajah si bibi pucat pasi ketika melihat si Bangsawan bertarung dengan beberapa bandit yang juga memiliki pedang. Meski gerakan si Bangsawan terlihat sudah terbiasa menggunakan pedang, tetap saja dia seorang wanita. "Sepertinya ada yang tengah berpesta tanpa mengundangku."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD