Bukan Mimpi

1115 Words
Kembalilah, masih ada yang dengan sabar menunggu kedatanganmu disini. _Hello Tuan Dirga_ Wanita cantik yang tengah menggenggam tangan dengan jarum impus itu panik melihat kondisi anaknya yang sedang koma tiba-tiba tubuhnya bergetar hebat. "Pa gimana nih? Hikss, kenapa dengan Al." sambil memegang tangan sang putri. "Sabar ma, dokter sedang dipanggil." Bujuk sang suami menenangkan istrinya, walau hatinya juga ketar ketir, namun pria itu harus tahan demi sang istri. Piiiiippp... Terdengar bunyi panjang nan nyaring dari alat rekam jantung (EKG), menandakan bahwa jantung pasien sudah berhenti berdetak. Dian Ningrum Kusumaatmadja membelalakkan matanya syok. Wanita itu langsung menggenggam erat tangan gadis yang sedang terbaring lemah diatas bangsal penuh dengan selang yang menunjang kehidupannya. "Al..Aleta..!!" Teriak Dian berderai air mata. "Panggil dokter pa.. panggil dokter." Hancur sudah perasaan Dian, putri semata wayangnya akan meninggalkannya. Dokter datang dengan beberapa perawat masuk membawa alat kejut jantung. Mempersilahkan keduanya untuk menunggu diluar ruangan. "Pa.. Al pa.. hikss." Raung Dian sejadinya dalam pelukan sang suami. Alexander Hadi Kusumaatmadja menggenggam pundak sang istri berharap sedikit kekuatannya mengalir. "Sabar sayang, anak kita pasti selamat." Bujuk Alex dengan suara parau. Didalam lubuk hatinya, Alex merasakan denyutan nyeri bagai ditikam belati melihat tubuh sang putri tercinta tergeletak tak berdaya. Pria itu mengusap lembut punggung sang istri. Terlihat dokter keluar dari ruangan. Dian mendekat. "Gimana dok anak kami?" "Benar benar kuasa Allah. Pasien telah melewati masa kritisnya, sebentar lagi akan segera siuman." Jawab si dokter. Dian langsung berlalu memasuki kamar Aleta. "Terimakasih dok." Ucap sang suami. "Sudah menjadi kewajiban saya pak, kalau begitu saya permisi." Jawab dokter berlalu. "Al.. sayang." Panggil Dian menggenggam erat tangan putrinya. Takut jika Aleta akan pergi meninggalkannya. "Jangan tinggalkan mama Al, masa kamu ga kasihan sama mama.." Terdengar pilu suara lembut nan sayu Dian, jantungnya sempat berpacu beberapa saat. Alam bawah sadar Aleta mendengar suara ibu yang sangat Ia rindukan selama beberapa tahun itu. Semenjak Aleta memilih kawin lari dengan Gilang, Ia tak pernah lagi menginjakkan kakinya dirumah keluarga Kusumaatmadja. Alasannya tak kembali karena takut kedua orang tuanya memaksa Aleta berpisah dari Gilang. Aleta rindu kedua orangtuanya. Begitu pun sebaliknya, Alexander dan Dian sama rindunya dengan Aleta. Sesuatu yang tak mereka sadari. "Nak, kamu marah dengan kami karena menyuruhmu putus dengan Gilang?" Terdengar suara Alex bertanya. pria itu menghembuskan napasnya kasar. Dian meletakkan tangan anaknya membelai pipi. "Asalkan kamu bangun, kami.. kami tak akan menyuruhmu menjauhi Gilang lagi, kami janji nak." Ucap wanita itu seolah membujuk Aleta untuk segera mengakhiri tidur nyenyaknya. Aleta tercenung di alam bawah sadarnya, Ia hanya bisa mendengar suara merdu sang mama, tapi tak dapat melihat wajah mereka. Aleta menangis pilu, pandangannya hanya dikelilingi kegelapan yang pekat. Ia berpikir apakah saat ini dirinya sudah berada di alam baka? Sementara dari luar, Dian menggeleng mendapati sang anak berlinang air mata dalam tidurnya. Seolah Ia mendengar apa yang Dian katakan. "Kembali nak, mama sama papa menunggumu." Aleta berusaha melawan kegelapan, Ia mencoba menggerakan badannya. Dian merasakan sedikit pergerakan digenggaman tangannya, menoleh kearah Alex sang suami. "Pa.. Al gerak pa.." Alex mengusap surai anaknya dengan lembut. "Nak kamu dengar papa kan? Cepat bangun ya nak, papa rindu putri kecil papa." Ucap Alex berbisik ditelinga sang anak. Aleta berusaha meraih setitik cahaya diantara kegelapan. berusaha melawan. Matanya mengerjab silau menyesuaikan cahaya dari sekeliling. "Enghh." Terdengar erangan halus dari bibir mungilnya. "Nak.." Antusias Dian mengelus pipi anaknya lembut. "Syukurlah." Ucapan lega darinya. Aleta membuka mata setelah dapat menyesuaikan cahaya yang masuk menerobos retina matanya. Hal pertama yang Ia rasakan adalah air mata yang jatuh mengenai pipinya. "Ha..us ma.." Kata pertama yang Ia ucapkan saat matanya terbuka sempurnya. Meskipun sekelilingnya masih tampak buram. "Ini Sayang.." Ucap Dian menyodorkan pipet kearah anak gadisnya. Aleta menyeruput sedikit air demi membasahi tenggorokan yang kering. "Mama.." Ucap Aleta setelah penglihatannya menajam. Tampak sang mama dengan wajah sembab dan kantung mata yang tercetak jelas, membuat hati gadis itu meringis. Berganti Ia menoleh kearah Alex papanya. "Papa.." Sebutnya melihat penampilan sang papa tak kalah mengenaskan dari Dian. Bahkan sang papa lebih parah dengan penampilan brewoknya yang tak terurus. Aleta mengernyit. Apakah Ia terlalu lama pingsang, ataukah kedua orangtuanya awet muda. Walau tampilan mereka kacau, namun Aleta tak melihat sedikitpun kerutan dari wajah keduanya. persis seperti saat dirinya kuliah dulu. Aleta jadi teringat kenapa dirinya sampai seperti ini. Pandangannya berputar, ingatan saat dirinya berada di private room kembali bermunculan, mulai dari kedatangan Gilang melempar surat cerai kepadanya, kemudian muncul Farah beserta janin yang diakui Gilang sendiri bahwa itu adalah anaknya. Aleta ingat Ia tertabrak mobil. "Ma.. pa..?" Panggilnya lagi diikuti bulir air mata yang tak dapat dibendung. Kedua matanya tak melepaskan pandangan dari Dian dan Alex. "Al kenapa nak? mana yang sakit sayang?" Tanya Dian penuh kelembutan, Ia mengusap-usap tangan Aleta. Sementara Alex terus membelai rambutnya penuh sayang. "Ma..pa Al minta maaf.." Paraunya dengan isakan. Dian dan suaminya saling pandang. "Al tau kesalahan Al tak mudah di maafkan.. Al janji ga akan melawan dengan mama dan papa." Sesalnya mengingat kebodohan dirinya yang dulu sangat mudah terbuai dengan kata-kata manis Gilang hingga memilih pergi meninggalkan kedua orangtuanya. "Ja.. jangan tinggalkan Al ma.. pa.." Terdengar pilu Ia mengucapkannya. Tak hanya Aleta, kedua orangtuanya bahkan meneteskan air mata. "Shutt.. siapa yang ninggalin kamu sayang? ga ada yang akan ninggalin Al nak." Bujuk sang mama menciumi pipi anaknya. Dokter masuk mengecek keadaan Aleta, sementara kedua orangtuanya mundur memberi ruang bagi sang dokter memeriksa. "Syukurlah keadaannya sudah stabil, istirahat beberapa hari dan nak Aleta sudah bisa pulang." Ucap sang dokter setelah selesai memeriksa keadaannya. Terdengan helaan napas lega dari kedua orangtuanya. "Syukurlah, terimakasih dok." Terlihat wajah Dian berseri. "Sama-sama. Kalau begitu saya permisi." Pamit sang dokter. "Kamu butuh sesuatu nak?" Tanya Alex duduk di samping bangsal tempat Aleta terbaring. Gadis itu menggeleng. "Al kangen banget pengen peluuk." Rengek gadis itu. "Al ga sedang mimpi kan ma.. pa?" Tanyanya merasa kehadiran orangtuanya adalah mimpi. Dian dan Alex memeluk anak gadis mereka dengan lembut. "Uhh mama sama papa juga kangen berat sama kamu." Balas Dian gemas mencubit hidung sang anak. Seolah kejadian yang membuatnya hampir pingsan tadi tak pernah terjadi. "Sebentar lagi oma dan keluarga yang lain sampai, tadi papa langsung mengabari mereka setelah kamu siuman." Jelas Alex membuat Aleta bingung. "Oma.." Beo Aleta mengulang ucapan Alex. Bukannya Oma Rita sudah wafat tahun lalu. "Oma yang mana pa?" Tanya Aleta menunjukan kebingungan yang kentara. Oma? Batinnya. Penyesalan terbesar dalam diri Aleta adalah, saat Rita, oma yang paling Ia cintai meninggal dunia tanpa Aleta tahu secara langsung, melainkan sudah beberapa hari dan itupun dari berita yang Ia tonton. Bahkan Aleta tak menghadiri upacara pemakaman sang oma kala itu. Sebab Aleta sedang dikurung oleh Gilang hanya karena dirinya ketahuan sedang meeting di sebuah kafe dengan client pria dan Gilang menuduhnya selingkuh. "Oma Ri.." Ucapan Dian menggantung. To Be Continue >>>>
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD