Chapter 1

1206 Words
Ada sekelumit rasa yang terus mengusik. Rasa yang tak pernah digubris dan disangka malah kian merecoki hati. Hadirnya bagaikan sebuah bumerang yang barangkali bila meledak mampu memorak-porandakan kalbu dan akal. Aku melirik arloji yang melekat di pergelangan tangan kananku sembari sesekali memerhatikan wajah pria yang sedang serius mengolah berbagai macam sayur, buah, dan juga rempah-rempah. Pria itu hampir mendekati kata sempurna. Ditelik dari sisi mana pun, pria itu hampir tidak mempunyai cela. Entah sudah kenal berapa lama dan sudah bertatap muka berapa kali pun aku masih saja mengagumi sosok pria di hadapanku ini. Namaku Zelia Namara, banyak yang bilang namaku cukup unik, sangat sesuai dengan perangaiku yang sering dianggap sebagian orang cukup nyentrik. Dalam bahasa Spanyol, namaku berarti matahari terbit. Mungkin itu sebabnya mengapa aku sangat membenci senja. Sedangkan dalam bahasa Yunani, namaku memiliki arti tekun. Mungkin itu pula sebabnya mengapa sampai sekarang aku masih tekun mengejar cinta pria itu. Tahun ini usiaku tepat menginjak angka dua puluh empat. Masih muda kan? "Zel, sudah berapa kali saya bilang untuk tidak menemui saya jika tidak ada hal penting." Orang yang kusebut dengan pria itu akhirnya angkat bicara ketika mulai merasa gemas dengan tingkahku yang mungkin baginya cukup mengganggu. “Memangnya enggak boleh ya Mas?” Tanyaku yang sebenarnya sudah sangat paham dengan jawaban yang akan pria itu berikan. Sesuai dengan tebakanku, pria itu hanya menanggapi dengan memasang wajah masamnya. Pria di hadapanku ini bernama Gavin Rakanda Mahendra. Pria dengan segudang pesona yang berhasil membuat tiap malamku dilanda gundah gulana. Bila diamati dari segi fisik, Mas Gavin itu tinggi semampai, mempunyai bahu yang lebar, dan juga berparas tampan. Memang definisi tampan bagi setiap orang itu berbeda-beda. Namun, aku yakin apabila aku menanyakan sepuluh wanita mengenai paras Mas Gavin, sembilan dari mereka akan setuju dengan pendapatku. Sejalan dengan parasnya, Mas Gavin juga memiliki prestasi yang tidak bisa dipandang sebelah mata dan memiliki latar belakang yang cukup terpandang. Ia adalah pemilik restoran bintang lima yang setiap harinya selalu ramai pengunjung, bahkan kebanjiran pengunjung. "Menurut kamu? Dua jam lagi restoran saya buka. Lebih baik kamu pulang, jangan ganggu saya." Jawab Mas Gavin setelah diam sejenak. Seperti yang kutekankan sebelumnya, Mas Gavin itu hampir mendekati kata sempurna, hampir tidak mempunyai cela. Hanya saja sifatnya Mas Gavin itu benar-benar menyebalkan, ia sering kali berkata blak-blakan dan juga sangat tidak ramah. “Kenapa sih Mas? Kan aku enggak ganggu kamu, cuma liatin kamu doang.” Ujarku yang masih tidak terima dengan perlakuan Mas Gavin. “Saya merasa terganggu dengan kehadiran kamu.” Aku memaksakan senyumku kala mendengar ucapan Mas Gavin. Sakit memang, tetapi untungnya aku sudah terlatih patah hati. “Mas, kamu kalau gila kerja itu enggak masalah, tapi jangan sampai lupa makan. Kalau kamu lupa makan terus sakit, itu bego namanya.” Salah satu kebiasaan burukku itu berkaitan dengan kemampuanku dalam memegang kendali saat bertutur kata. “Kamu sendiri masih di sini padahal sudah saya usir, lebih bego namanya.” Tetapi jangan salah, Mas Gavin mulutnya lebih luar biasa pedas dibandingkan aku. “Kenapa sih kamu ngusir mulu? Kan aku udah jarang kesini.” "Seminggu tiga kali, kamu bilang jarang?" Aku menganggukkan kepalaku, "Iya. Biasanya kan bisa setiap hari." "Kamu kayak enggak punya kerjaan aja." "Kerjaan aku banyak, Mas." Jawabku tak kalah sengit. "Kerjaan apa? Menulis cerita tidak jelas kamu bilang kerjaan?" "Jujur aku males berdebat soal ini. Dasar Mas aja yang enggak punya hati. Padahal menulis itu bisa menghibur banyak orang." Mas Gavin meletakkan pisau yang daritadi ia gunakan untuk mengolah berbagai macam bahan makanan. Ia memasukkan berbagai macam bahan yang telah selesai ia olah ke dalam berbagai toples yang mungkin bertujuan untuk memudahkan proses memasaknya nanti. "Mas..." "Apalagi Zelia?" "Gapapa, cuma mau tes manggil aja." Bagaimana aku bisa mengenal Mas Gavin? Orang tuaku dan orang tua Mas Gavin itu sahabat karib. Hal itulah yang menyebabkan aku sering kali bertemu dengan Mas Gavin dalam berbagai kesempatan. Selain itu, faktor utamanya adalah karena kami bertetangga. Bahkan rumah kami hanya dipisahkan oleh satu rumah. Aku sih bahagia banget kalau disuruh Mama main ke rumah Mas Gavin. Soalnya dahulu kan jiwa jombloku akut, jadi kalau melihat yang bening dikit pasti aku pepetlah. Sampai sekarang pun orang tuaku sering tinggal di luar negeri karena urusan pekerjaan jadinya aku sering dititipkan di rumahnya Mas Gavin. "Mas, kalau pulang masakin aku makanan enak ya. Mama hari ini enggak pulang." Mungkin akan ada pertanyaan yang muncul terkait alasan mengapa percakapan kami terkesan formal. Jawabanku sih sederhana, Mas Gavin itu tipe cowok kaku yang entah mengapa selalu membatasi diri. Entahlah, padahal menurutku hubungan kami sudah cukup dekat. Bahkan sangat dekat. Masih tersisa waktu kurang dari dua jam sebelum restoran dibuka, jadi karyawan dan staff Mas Gavin masih banyak yang belum datang. Biasanya mereka datang satu jam lebih awal sebelum restoran dibuka. "Sudah berapa lama?" Tanya Mas Gavin. "Sekitar satu bulan?" Ujarku sembari mengingat-mengingat sudah berapa lama Mama tinggal di luar negeri. "Kamu enggak bisa masak sendiri? Sudah gede gini, masih mau ada yang urusin?" "Masak yang sederhana sih bisa." "Terus?" "Kan ada Mas Gavin." Mas Gavin menjitak kepalaku pelan. Pelan sih, tetapi tetap saja terasa sakit. "Kamu pikir saya pembantu kamu?" "Bukan. Mas itu malaikat yang menyelamatkan aku dari kejombloan yang hakiki." Ucapku. Mas Gavin menggeleng-gelengkan kepalanya ketika mendengar jawabanku, “Kamu masih belum berniat pergi?" "Mas beneran ngusir aku?" "Iya." Aku tersenyum pahit. Sebenarnya semenjak beberapa saat yang lalu aku sudah kehabisan topik. Aku hanya ingin berada dekat dengan Mas Gavin. Miris juga kalau dipikir-dipikir sebenarnya. Sudah lima tahun. Selama lima tahun aku telah memendam perasaan menyebalkan ini kepada Mas Gavin. Sudah tiga tahun lamanya pula aku terus melakukan pendekatan terang-terangan yang malah ditolak mentah-mentah oleh Mas Gavin. Sakit? Iya. Jangan ditanya lagi. Tetapi entah mengapa, perasaan bodoh ini selalu berhasil membungkam apapun yang otakku perintahkan. "Kamu enggak kerja?" Tanya Mas Gavin saat mendapati aku yang sepertinya hanya diam setelah mendengar penuturannya barusan. "Nanti kerja kok. Menulis butuh inspirasi, Mas. Enggak bisa setiap waktu. Makanya ini lagi nyari inspirasi." "Dari mana mencari inspirasi? Kamu dari tadi gangguin saya." "Tuh tahu. Gangguin Mas kan sumber inspirasi aku." "Tidak berniat mencari pekerjaan tetap?" "Enggak. Sudah senang gini aja kok. Menulis kan memang sudah hobi aku, Mas." "Sampai kapan kamu mau menjadi penulis?" "Sampai sudah enggak bisa menulis lagi." "Saya tidak bisa mengurus kamu seumur hidup. Saya juga punya kehidupan pribadi." Nyelekit. Kata-kata Mas Gavin itu selalu saja berhasil membuat hatiku tertohok dan terasa perih. Tetapi aku dengan bodohnya masih saja bisa tersenyum dan tertawa di depan Mas Gavin. "Mas mau ngusir aku dari hidup kamu?" Lagi-lagi aku diusir. Mungkin kalau ada rekor orang yang paling sering diusir, aku bisa mendapatkannya. "Saya tidak bilang begitu. Kamu sudah dewasa, sudah gede. Cari pekerjaan tetap, mandiri. Jadi penulis itu enggak pasti." Pemikiran Mas Gavin itu memang kadang menyebalkan banget. "Mandiri? Biar aku enggak merepotkan Mas lagi kan? Mas merasa terganggu banget ya?" "Iya." "Aku enggak minta Mas urusin. Kalau Mas merasa terganggu, ya sudah aku enggak bakal ganggu lagi." "Orang tua kamu yang minta. Mereka sudah titip kamu ke saya." Aku tertawa miris mendengar penuturan Mas Gavin. Jadi, selama ini perhatian Mas Gavin itu semata-mata hanya sebatas menjaga amanah dari kedua orangtuaku? "Aku pulang." Ucapku lalu mengambil tas selempang yang tergeletak di meja dan langsung saja menutup pintu restoran dengan bunyi yang sedikit kencang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD