"Ma--maaf, saya ti--tidak se ...."
Kalimatnya terhenti, saat ia mendongak dan melihat wajah seorang pria tampan yang mengenakan jas putih dengan stetoskop melingkar di lehernya. Kedua mata wanita tersebut membulat sempurna, seraya tak percaya dengan apa yang di lihatnya.
"Kau ...."
"Kau!"
Keduanya berkata pelan. Wanita yang tengah di papah karena tubuhnya hampir tumbang saat bertabrakan tadi itu pun terkejut, dengan pertemuan yang tak terduga tersebut.
Dengan cepat wanita itu tersadar, lalu bangkit dan berusaha berdiri dengan baik. Rasa sakit kembali melanda, ia pun memegang perut yang penuh dengan darah tersebut.
Pria berjas putih itu terkejut saat melihat darah yang menembus punggung tangan wanita tersebut. Dengan segera sang dokter kembali memapah perempuan di hadapannya karena hampir tumbang.
"Apa yang terjadi padamu?"
Pria itu bertanya dengan penasaran. Wanita tersebut terdiam sejenak sambil meringis menahan sakit pada perutnya yang semakin menjadi.
"Kau terluka. Aku akan menolong-mu," ucap pria itu dengan lembut yang masih memapahnya.
"A--aku, aku ba--baik-baik sa--ja. Ka--kau ti--tidak perlu me--nolongku."
Dengan suara terbata-bata, wanita itu menolak tawaran dokter di hadapannya dan berusaha bangkit. Menepis cepat kedua tangan dokter muda tersebut.
"Jangan banyak bergerak. Kau akan kehilangan banyak darah nanti. Jangan banyak bicara aku akan ...."
"Le--lepaskan aku!" seru wanita itu lirih dan kemudian tidak sadarkan diri.
"Kinanti!"
Dokter itu memanggil nama wanita yang sedang ia papah. Rupanya pria tersebut mengenali perempuan di hadapannya kini.
"Suster, siapkan kamar operasi segera!"
Dokter itu memberi perintah pada perawat yang tengah lewat dan segera menggendong wanita itu ke ruang operasi. Tidak perduli meski jas putihnya berlumur darah dari perut perempuan itu.
Dokter muda itu segera melakukan operasi. Membedah kembali perut Kinanti dan memperbaiki jahitannya. Beruntung wanita tersebut cepat mendapatkan penangan. Jika tidak, nyawanya bisa melayang seketika.
Tiga jam berlalu. Lampu ruang itu telah mati. Menandakan telah selesai. Kinanti di pindahkan ke ruang ICU untuk mendapatkan perawatan insentif pasca operasi. Kondisinya cukup kritis dan memprihatinkan.
Selang infus menempel di punggung tangan kirinya. Selang oksigen di kedua lubang hidung. Dadanya juga di pasang impuls listrik jantung atau Elektrokardiogram yang berfungsi untuk merekam aktivitas listrik jantung yang akan di pantau melalui grafik di layar monitor.
Dokter muda itu masih berada di ruang ICU, memantau keadaan Kinanti dan memastikan jika wanita tersebut baik-baik saja.
'Sebenarnya, apa yang terjadi denganmu, Kinanti? Apa kau habis-- apa Kinanti melahirkan bayi itu? Itu artinya, dia ... aku harus cek riwayat kesehatannya,' batin pria itu sambil memperhatikan tubuh Kinanti yang terkulai lemas di ranjang.
Dua jam berlalu, kondisi Kinanti yang tadinya baik menjadi memburuk. Kinanti mengalami sesak napas dan detak jantungnya terhenti. Dokter itu segera melakukan CPR dengan cara memompa d**a kiri pasien untuk mengembalikan detak jantungnya.
"Pasang intubasi. Saya akan melakukan CPR," ucap Dokter muda itu sambil naik ke atas ranjang. Sementara perawat itu memasang alat bantu pernapasan.
Kemudian, melakukan tindakan medis ablasi jantung. Yaitu, prosedur memperbaiki aritma yang dilakukan dengan cara membuat jaringan parut di jantung, untuk memblokir sinyal listrik yang tidak beraturan dan mengembalikan detak jantung menjadi normal.
"Siapkan deflibrillator," ucap dokter itu sambil turun dari ranjang.
"Baik, Dok," ucap perawat itu sambil gegas mengambil alat tersebut yang terletak tidak jauh dari tempat Kinanti dan dokter berada.
Setelah siap, dokter muda itu segera mengambil defibrillator. Yaitu, alat kejut listrik ke jantung. Berfungsi untuk mengatasi irama jantung abnormal yang berpotensi fatal atau aritma. Sehingga, membuat detak jantung kembali berdetak saat pasien mengalami jantung berhenti.
Dokter tersebut mulai mengoleskan gel pada alat yang menyerupai setrika itu dan menggosok-gosokkan dua bagian dalamnya. Kemudian menempelkan pada d**a Kinanti yang terbalut pakaian rumah sakit.
"Deflibrillator 200 joule!"
"Siap!"
"Shock!"
Setelah dua kali dikejutkan dengan deflibrillator, perawat melihat ke arah monitor di hadapannya.
"Tekanan darah 120-100/90-60 mmHg, denyut jantung 60-100bpm/beat per minute, SpO2 di atas 95%, dan frekuensi napas antara 12-20 kali per menit," ucap perawat itu sambil melihat hasil pada monitor.
Jantung Kinanti telah kembali. Dokter yang bernama Kenan itu pun merasa lega. Pemuda tampan bermata elang tersebut menunduk sekejap untuk mengatur napas. Kemudian, ia menyeka peluh yang menetes di wajahnya dengan lengan jas yang di kenakan nya.
"Alhamdulillah, kau selamat, Kinanti," ucap Kenan dengan lega.
"Apa Dokter butuh sesuatu?" tanya perawat yang bernama Sindy itu dengan lembut dan sopan.
"Tidak ada. Kau boleh keluar dan melakukan pemeriksaan dengan pasien lain. Biar Kinanti saya yang menjaga. Terima kasih atas bantuannya."
Kenan berkata sambil memperbaiki selang infus dan kabel di d**a Kinanti. Perawat itu mengangguk dan pamit undur diri.
"Aku akan segera mencari tahu apa yang terjadi padamu, Kinanti," monolog Kenan sambil menatap ke arah Kinanti yang masih belum sadarkan diri.
Tiga jam berlalu. Kenan masih setia menemani dan menunggu Kinanti akan membuka matanya. Lamunan Kenan yang tengah duduk di sofa membuyar, ketika terdengar suara ketukan. Seseorang datang menghampiri.
"Dokter, ini berkas pasien bernama Kinanti Maharani Wijaya yang Anda minta," ucap salah seorang perawat yang datang membawa map biru langit berisi data pasien.
Kenan menerima dan membuka map tersebut. Kedua matanya membulat sempurna saat melihat riwayat Kinanti. Seketika, ia terdiam karena sedikit syok.
"Di mana bayi itu?" tanya Kenan kemudian pada perawat di sampingnya.
"Di ruang perawatan. Bayi itu mengalami kelainan jantung dan memerlukan perawatan insentif," jelas perawat tersebut dengan wajah serius.
"Apa? Kelainan jantung?"
Kenan kembali syok mendengar penjelasan perawat itu.
"Bawakan saya hasil pemeriksaan bayi itu. Saya tunggu di ruangan saya," ucap Kenan sambil berdiri dan melangkah keluar ruang ICU.
"Baik, Dok," ucap perawat itu sambil pamit undur diri.
~~~
Kenan ke ruangan perawatan bayi. Tampak seorang bayi mungil dalam inkubator dengan sebelah tangan kecilnya terbalut infus. Dua lubang hidungnya terdapat selang oksigen. Hati Kenan terenyuh melihatnya.
Anak sekecil itu yang usianya belum genap seminggu, sudah harus merasakan sakit karena tusukan selang infus dan beberapa kabel yang menempel di d**a yang terhubung ke layar untuk merekam detak jantungnya. Kenan mendekati bayi it, menatap lamat-lamat wajah mungil belum berdosa tersebut.
Bayi laki-laki itu sangat tampan. Wajahnya mirip dengan Kenan. Bibir merah jambu yang tampak mungil, dagu lancip, hidung mancung, beralis tebal, dengan jambang tipis di kanan kirinya. Sudah dapat di bayangkan akan setampan apa kelak anak kecil tersebut.
Kenan memasukkan kedua tangan pada lubang di depan inkubator tersebut dan mengusap lembut wajah bayi mungil di hadapannya. Hatinya tambah bersedih melihat pemandangan di hadapannya tersebut.
"Kau harus kuat, Nak. Jangan menyerah. Kau anak hebat," monolog Kenan. Tidak terasa, air mata mulai menetes membasahi kedua pipi Kenan. Ada sekelumit rasa sakit yang sulit di ungkapkan dengan kata-kata.