CSL BAB 2. Lelaki Durjana

1295 Words
Fauzan keluar dari kamar mandi. Dia melirik Labibah yang sedang menaruh minuman hangat di meja kecil yang ada di pojok kamar. Itu tugas Labibah sebagai seorang istri, meski istri yang tidak dianggap dan tidak dicintai suaminya. Dengan langkah kaki yang susah, setelah membuatkan minuman hangat untuk suaminya, dia mengambil handuk dan masuk ke dalam kamar mandi. Tatapan sinis terlihat dari Fauzan, saat Labibah tidak sengaja menatapnya saat akan masuk ke dalam kamar mandi. Labibah tidak memedulikan itu. Biar, terserah apa mau suaminya. Iya, terserah. Karena, Labibah pikir dia akan sulit keluar dari jerat suaminya sekarang. Tidak mungkin juga Labibah mengadu pada kedua orang tuanya, atau mertuanya karena masalah ini. Biar saja Labibah diamkan, mau sampai kapan ini akan menimpa pada dirinya. “Silakan lakukan semau kamu, Mas. Aku tidak peduli, semoga kamu cepat menemukan Syafira, agar semuanya cepat berakhir,” gumam Labibah. Setelah selesai membersihkan diri, Labibah melihat Fauzan sedang duduk di tepi ranjang dengan membuka Laptopnya. Tempat tidur yang tadi ia tata, dan diganti spreinya kini terlihat berantakan lagi karena tercecer banyak kertas dan dokumen di atas tempat tidur. Labibah mengambil pakaian sholatnya. Dia ingin mendekatkan diri pada Rabb-Nya. Mengadu atas sakit yang ia rasakan malam ini. Meminta petunjuk dan meminta kekuatan pada Sang Pencipta yang memiliki segalanya. Fauzan hanya melirik Labibah yang sedang shalat. Dia tersenyum setengah mengejek melihat Labibah yang akan shalat. “Tidak ada gunanya salat Bagi seorang pengkhianat seperti kamu, dan gila harta seperti kamu!” teriak Fauzan saat Labibah sudah mulai Takbiratul Ihram. Labibah tidak mengindahkan kata-kata sarkas dari mulut Fauzan. Biarkan Fauzan mau berkata apa, selama masih tertutup cintanya pada Syafira, dan merasakan kebenciannya pada Labibah, Labibah berbuat baik pun akan dianggap salah di matanya. Fauzan mendengar Labibah melantunkan ayat-ayat Allah setelah selesai shalat. Dia tersenyum dengan menggelengkan kepalanya, melihat Labibah sedang duduk dengan membaca Al-Qur’an. “Mau sampai pagi kamu ngaji? Tugasmu masih ada!” teriak Fauzan. “Shadaqallahul Adzhim ....” Labibah menutup Al-Qur’an miliknya, dan menaruh di atas meja. Melepas mukenahnya, lalu melipat kembali. “Tugas apa lagi?" tanya Labibah. “Bisa-bisanya kamu bertanya tugas apa lagi? Kamu itu tidak tahu tugas seorang istri? Aku menunggu kamu tidur, kamu malah asik ngaji!” jawabnya dengan lantang. "Oh aku kira tugas mencari Syafira yang mungkin sekarang dia sudah menikah dan hidup bahagai, memiliki anak? Eh, bukan mungkin lagi, karena memang dia sudah menikah dan hidup bahagia." Ucap Labibah dengan menghela napasnya dan menghunuskan tatapan sinis pada Fuzan. "Kamu bilang apa tadi? Tidak mungkin dia seperti itu! Dia pergi karena kamu, pasti karena kamu!" erang Fauzan. "Terserah kamu mau berpikir bagaimana soal hilangnya Sayfira yang tidak jelas asal usulnya," ucap Labibah. "Tidak usah banyak bicara! Kamu seorang istri, harusnya kamu tahu tugas apa di malam pengantin! Ini sudah resiko kamu, tidak usah banyak bicara!" ucap Fauzan. “Maaf, lagian tempat tidur juga berantakan, ada meja kenapa mengerjakan laporan kantor di tempat tidur? Ada ruang kerja kamu juga, kan?” ucap Labibah dengan mengikat rambutnya. “Jangan banyak bicara! Bereskan semua ini! Aku kembali ke kamar, harus sudah beres!” Fauzan keluar dari kamarnya, dan menyuruh Labibah membereskan pekerjaannya. Labibah menggelengkan kepalanya. Dia melirik jam dinding di kamarnya. Masih menunjukkan pukul 01.00 WIB. Itu artinya masih lama sekali paginya. Labibah tahu, Fauzan akan menyiksanya lagi malam ini di atas tempat tidur. “Haruskah aku meminta satu jam lagi Adzan subuh, dan setelah itu terbit matahari? Ya Allah, apa lagi yang akan Mas Fauzan lakukan padaku? Sungguh aku sudah tersiksa karena tadi. Kalau aku menolak, dia akan marah padaku, dan pasti semakin menyiksaku. Menolak pun aku dosa, karena aku adalah istrinya,” gumam Labibah sambil merapikan pekerjaan Fauzan. Setelah dokumen dan kertas yang berceceran selesai Labibah rapikan. Dia mematikan laptop milik suaminya. Labibah melihat foto wanita berjilbab biru di monitor laptop milik Fauzan, dan di belakangnya, Fauzan yang sedang memeluk wanita itu dari belakang. Siapa lagi kalau bukan Syafira wanita itu? Wanita yang sangat dicintai suaminya, hingga melakukan hubungan badan dengan Labibah pun menyebut nama Syafira. “Mungkin sebelum kamu memperlakukan aku seperti tadi aku akan menangis melihat ini, karena aku cemburu dan sakit hati. Tapi, setelah kejadian tadi, tidak ada yang melebihi sakitnya dengan kejadian tadi yang barusan kamu lakukan padaku, Fauzan Alfahri!” Gumam Labibah dengan mematikan laptop milik Fauzan dan langsung menaruhnya di atas meja. Labibah menata kembali tempat tidurnya. Dia duduk di tepi tempat tidur. Tatapannya kosong, menatap ke segala arah. Pikirannya masih menerawang tidak jelas memikirkan apa. Tapi, lebih tepatnya dia memikirkan nasib pernikahannya dengan Fauzan, bagaimana ke depannya. “Mau sampai kapan ini akan terjadi? Sampai kapan Mas Fauzan akan menyiksaku seperti ini?” ucap Labibah lirih. “Sampai aku menemukan Syafira, dan setelah itu aku akan menikahinya, lalu meninggalkan kamu!” ucap Fauzan di depan pintu. Dia mendengar Labibah mengatakan seperti itu. Labibah tercengang mendengar ucapan Fauzan. Sampai hati Fauzan seperti itu pada dirinya. “Kalau ingin meninggalkan aku, kenapa tidak besok kamu ceraikan aku?!” teriak Labibah. “Belum saatnya. Aku akan memberikan rasa yang begitu asik dalam dirimu. Biar kamu merasakan bagaimana sakitnya di perlakukan kasar oleh suaminya. Suami hasil merebut dari sahabatnya!” ucap Fauzan dengan mencengkram kedua pipi Labibah. “Sekali lagi aku katakan sama kamu, aku tidak merebut kamu dari Syafira. Dia yang pergi, dia yang meninggalkan kamu karena dia ....!” Ucapan Labibah terhenti, hampir saja Labibah keceplosan bicara soal sahabatnya yang pergi tanpa pamit pada Fauzan. Belum saatnya Labibah bilang kalau Syafira pergi karena hamil dengan laki-laki lain. Bicara kebenaran saat ini pun pastinya Fauzan tidak akan percaya. “Karena apa? Karena kamu, kan? Iya, kan? Dasar sahabat tidak tahu diri!” Fauzan mendorong keras tubuh Labibah. Dia melakukannya lagi dengan kasar. Melapas paksa baju yang melekat di tubuh Labibah. Tubuh Labibah terkunci. Dia tidak bisa berontak. Hanya bisa pasrah dengan Fauzan yang sedang membakap tubuh mungilnya dengan tubuh kekarnya. Isak tangis Labibah mengiringi deru napas Fauzan yang terengah-engah saat akan mencapai puncak kenikmatannya lagi. Sakit! Hanya itu yang Labibah rasakan. Labibah ingin malam ini cepat berlalu. Malam yang penuh luka dan air mata. Tubuh Fauzan terkulai lemas di sebelah Labibah. Labibah menutup tubuhnya dengan selimut. Dia membelakangi Fauzan yang sedang mengatur napasnya yang terdengar masih terengah-engah. Labibah mengusap air matanya. Dia tidak mengerti apa yang ada di pikiran Fauzan saat ini. Menyakiti Labibah dengan kasar saat berhubungan badan. Dan selalu merendahkan Labibah. Labibah membersihkan tubuhnya lagi. Menangis di bawah kucuran air dari shower. Duduk bersimpuh merasakan sakit di sekujur tubuhnya, dan di hatinya. “Sampai kapan? Sampai kapan aku akan menanggung semua derita ini? Ini baru awal, awal yang menyakitkan. Bagaimana dengan hari esok dan seterusnya? Apa aku beritahukan pada Mas Fauzan saja soal kepergian Syafira? Ke mana dia pergi, dan karena apa dia sampai pergi, meninggalkan Mas Fauzan, saat satu minggu lagi akan menikah dengan Mas Fauzan? Tapi, aku tidak bisa mengatakan ini, biar mas Fauzan tahu sendiri. Mengatakannya pada dia pun, tidak akan merubah Mas Fauzan. Malah bisa jadi Mas Fauzan tidak percaya, dan tambah menyakiti aku,” gumam Labibah. Selesai membersihkan diri. Labibah kembali merebahkan tubuhnya di sebelah Fauzan yang sudah tertidur pulas. Dengkuran lembutnya terdengar di telinga Labibah. Labibah menatap wajah suaminya, dia menyeka air matanya melihat wajah tampan suaminya, tapi berhati durjana. “Aku mencintaimu, aku mengagumimu, tapi itu dulu. Sejak tadi aku sudah tidak mencintai dan mengagumimu lagi. Masih ada cinta, tapi hanya sedikit, mungkin cinta karena kamu tampan. Untuk apa tampan, kalau kamu seorang Lelaki Durjana? Cinta juga pakai logika. Aku tidak mau bodoh, Fauzan! Suatu hari nanti kamu akan tahu yang sebenarnya. Aku pastikan kamu akan menyesal! Dan, saat kamu tahu, mungkin aku sudah membencimu seumur hidupku. Tidak akan aku berikan maaf sedikit pun untukmu. Cintaku suci untukmu, tapi kamu memperlakukan aku seperti w************n!” gumam Labibah dengan mencengkram bantal guling yang sedang ia peluk.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD