CSL BAB 5 . Penulis Puisi Yang Kukagumi

1532 Words
Cukup lama Fahri berada di rumah Fauzan. Apalagi mereka sudah lama tidak bertemu, dan kabar baik untuk Fauzan, karena Fahri akan menetap di kotanya, tidak sementara lagi, karena baru saja Fahri membeli rumah baru. Itu semua karena Fahri sudah di amanati oleh orang tuanya untuk bertugas di rumah sakit milik keluarganya, dan tujuan Fahri pindah di Pemalang adalah ingin mengenal Labibah lebih dekat, tapi sayangnya Labibah adalah istri dari sahabatnya, yang katanya Fauzan sebenarnya belum bisa menerima Labibah. Itu semua karena Fauzan masih berharap Syafira yang pergi tanpa pamit kembali lagi. Fahri melihat Fauzan dan Labibah baik-baik saja, mungkin karena baru hari pertama menikah. Dan, mungkin juga Labibah tidak tahu soal Fauzan yang terus mengharap mantan tunangannya itu kembali. Padahal di balik semua itu, Labibah mengetahui semuanya. Labibah sedang menahan sakit yang mendera di hatinya dan di sekujur tubuhnya. “Sayang sekali, wanita secantik Labibah harus menikah dengan laki-laki yang tidak mencintainya, kalau aku tahu Fauzan dijodohkan dengan gadis pendiam di ruang Farmasi yang aku kagumi itu, yang tak lain adalah Labibah, aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Tapi, aku tidak mengetahuinya dari awal, aku hanya mendengar cerita Fauzan saja, kalau dia tidak ingin dijodohkan, dan tidak mencintai wanita pilihan kedua orang tuanya, karena dia masih sangat mencintai mantan tunangannya yang kabur entah ke mana,” gumam Fahri dengan tak lepas menatap Labibah yang duduk dengan wajah tertunduk di samping Fauzan. Fauzan melihat sahabatnya semakin tidak konsentrasi diajak ngobrol, pandangannya selalu tertuju pada Labibah, dan saat bicara pun Fahri selalu mencuri pandang pada Labibah. Fauzan tidak mengerti kenapa sahabatnya seperti mengenal Labibah sangat dekat, tapi Labibah seperti sama sekali tidak peduli dan tidak mengenalnya. Bahkan dia pun tidak tahu kalau Fahri adalah Direktur Permata Medika, Rumah sakit tempat dirinya bekerja. “Bibah, kenapa kamu enggak tahu Fahri ini Direktur di rumah sakit kamu bekerja?” tanya Fauzan. “Tahu namanya saja sih, Mas. Tapi, memang aku tidak tahu orangnya seperti apa. Ya, kata teman-teman, kata semua staf dan tenaga medis wanita dr. Fahri sangat tampan, begitu sih clentingan yang aku dengar, tapi aku sama sekali tidak penasaran, dan ya hanya tahu saja direktur baru namanya siapa,” jawab Labibah. “Banyak fans lho Dokter Fahri ini? Temanku saja sering curi-curi kesempatan untuk melihat dokter saja,” ucap Labibah dengan senyuman canggung di wajahnya. “Aku malah yang ngefans kamu, sama puisi-puisi kamu itu, tapi sayangnya kamu Cuma di ruangan saja, jarang sekali keluar, betah gitu berteman dengan obat?” ucap Fahri. “Puisi?” tanya Fauzan. Labibah tidak tahu kapan Fahri membaca puisi-puisinya. Memang jika waktu istirahat dan kalau ada waktu senggang dia menuliskan sebuah puisi, entah di kertas bekas resep yang sudah tidak berguna, atau di bukunya sendiri. “Masa kamu tidak tahu dia bisa membuat puisi seindah itu, Zan? Wah ... makanya kalau dijodohkan pendekatannya harus full jangan setengah-setengah,” ucap Fahri. “Sebentar-sebentar, ini kok Mas Fahri, ehm ... maksud saya Dokter Fahri lihat puisi di mana? A—aku tidak bisa buat puisi kok, itu mungkin punya ehm ... Rikha, iya punya Rikha, atau milik Anton, mereka yang suka menulis puisi, bu—bukan saya, Dok. Sungguh bukan saya,” ucap Labibah dengan gugup, karena berbohong. Siapa yang tidak tahu Labibah? Puisinya sering muncul di sebuah redaksi atau di majalah remaja, bahkan dia memiliki blog khusus puisi. Kepiawaiannya merangkai diksi yang sangat indah memang sangat digandrungi semua orang, dari remaja hingga orang tua yang suka akan keindahan bait-bait puisinya. “Yakin bukan kamu? Bukankah teman kamu memanggil kamu Siti? Namamu Siti Labibah bukan? Inisial di dalam lembar kertas itu juga menunjukkan nama kamu? Masa iya itu karya orang lain?” tanya Fahri meyakinkan. “Bukan saya, Dok. Percayalah ... masa iya saya bisa membuat puisi? Itu puisi milik Rikha, Asisten Apoteker,” jawab Labibah. “Ya sudah kalau itu bukan milik kamu, aku hanya memastikan saja, karena saya pernah lihat kamu di taman, seperti sedang menulis sesuatu, dan itu ketinggalan di gazebo, aku mengambilnya, dan di ujung kanan lembaran kertas itu ada inisial nama kamu. S_Lbh. Itu inisialnya,” ucap Fahri. “Kamu ini kayaknya penasaran sekali sama istriku, Ri? Mana bisa sih dia bikin puisi? Enggak mungkin lah? Kalau dia bisa ya pasti aku tahulah,” ucap Fauzan. Tapi, ia kembali berpikir soal puisi yang ia temukan di bawah bantal Labibah tadi. Ia juga melihat inisial di bawah puisi. Seperti inisial nama Labibah. "Masa iya itu puisi Labibah?" gumam Fauzan. “Iya benar kata Mas Fauzan, mana bisa aku menulis puisi, aku suka membaca baru itu benar, aku memang suka baca-baca puisi milik Rikha. Dia memang jago membuat puisi, bukan aku yang buat. Kalau tidak percaya tanya saja pada temanku itu, Dok,” ucap Labibah. Labibah terus mengelak, dia tidak mau suaminya juga tahu kalau dia seorang penulis puisi, dan bahkan dia seorang penulis. Hanya penulis biasa di media sosial, di sebuah blog, atau sebuah platform. Menulis hanya dia lakukan kalau sedang tidak ada pekerjaan dan kalau ada waktu senggang, juga moodnya sedang baik untuk menuliskan cerita atau puisi. Namun, Labibah menutupi hobinya itu di depan suaminya, dia tidak mau rahasianya yang ia pendam dari dulu terkuak. Iya, rahasia di masa lalunya dulu. Dia tidak mungkin memberitahukan Fauzan kalau dia benar-benar bisa menulis puisi. Setelah memutuskan untuk menerima perjodohan dengan Fauzan, dan menikah dengan Fauzan, dia langsung menuliskan untuk vakum dalam dunia kepenulisannya. Fahri hanya mengangguk saja mendengar apa yang Labibah katakan. Jelas-jelas dirinya melihat dengan mata kepalanya sendiri, Labibah sering menulis puisi, dan kata teman satu ruangannya dia pun memang suka menuliskan puisi. Tapi, Labibah malah mengelak kalau dia bisa menulis puisi. Fahri semakin penasaran dengan Labibah, karena dia seperti ketakutan saat menyinggung soal puisi. Labibah pun malah mengalihkan topik pembicaraannya dengan yang lain. Dan, Fahri pun mengikuti alurnya Labibah, tapi dia tidak mau menyerah, untuk tahu soal puisi yang ia temukan di gazebo dekat dengan cafetaria. Puisi yang sangat menyentuh hatinya, dan dia ingin sekali mengenal lebih dekat dengan penulis puisi tersebut. “Kenapa kamu sepertinya ketakutan saat aku membahas soal puisi itu, Labibah?” gumam Fahri. ^^^ Setelah kepulangan Fahri, Fauzan langsung menarik tangan Labibah dan menyeretnya masuk ke dalam kamar. Fauzan mendorong tubuh Labibah ke tempat tidur. Entah kenapa dia merasa Labibah sudah berlebihan menanggapi Fahri mengobrol. “Kamu kerasukan apa sih, Mas?! Pakai menyeret aku ke kamar dan melempar aku ke tempat tidur?!” teriak Labibah. “Diam kamu! Jangan kecentilan di depan laki-laki lain! Maksudnya apa? Dia memuji masakan kamu, dia juga memuji kamu membuat puisi dengan bagus. Paling juga puisi itu kamu ambil dari Syafira, kan? Karena dia juga pandai buat puisi!” hardik Fauzan. “Syafira sudah pergi, Mas! Mau sampai kapan kamu terus meminta aku mencarinya? Aku tidak akan mencarinya, tidak akan!” teriak Labibah. Fauzan yang naik pitam mendengar ucapan Labibah seperti itu, dia langsungng mencengkeram wajah Labibah dan menatapnnya dengan penuh kemurkaan. “Kamu bilang apa? Sebelum kamu menemukan Syafira, aku akan siksa kamu, aku akan membuat kamu menderita, Labibah! Ingat itu!” Fauzan mendorong tubuh Labibah lagi hingga dia kembali terusngkur di atas tempat tidur. Setiap melihat Labibah dengan jarak cukup dekat, kebencian kembali muncul di dalam hati Fauzan. Dia ingin sekali membuat Labibah menderita karena selalu saja mengira Labibah yang menyebabkan Syafira pergi. “Kalau kamu tidak bisa menemukan Syafira, aku sendiri yang akan mencarinya. Dan, setelah dia kembali, aku lepaskan kamu, aku ceraikan kamu! Kamu penyebab semua ini, kamu yang membuat Syafira pergi! Sahabat macam apa kamu?!” Fauzan mencengkram bahu Labibah dengan keras dan dengan wajah yang menunjukkan kalau dirinya sedang marah sekali. Fauzan keluar dari kamarnya. Labibah masih terkulai di atas tempat tidur. Baru saja saat teman dekatnya Fauzan datang dia terbebas dari siksaan Fauzan. Setelah teman Fauzan pulang, dia kembali merasakan siksaan Fauzan. “Sampai kapan kamu akan seperti ini, Bibah? Ayo katakan yang sebenarnya pada suamimu, Bibah. Supaya kamu tidak menderita seperti ini. Kamu jangan bodoh, jangan bodoh karena cinta!” gumam Labibah dengan menyeka air matanya. ^^^ Sementara Fahri yang baru saja sampai rumah, dia mencari lagi lembaran kertas yang ia temukan di Gazebo dekat Cafetaria di Rumah Sakitnya. Beruntung masih ia simpan rapi di dalam laci meja kerjanya di rumah. Fahri membacanya lagi. Puisi yang benar-benar menyentuh hati seorang Dokter Tampan, yang sangat cuek soal cinta, tapi setelah membaca puisi milik Labibah, Fahri seperti merasakan getaran cinta itu hadir dalam dirinya. Meski Labibah bilang itu bukan puisnya, tapi Fahri yakin itu milik Labibah. Asli milik Labibah, bukan orang lain, karena dia melihat sendiri Labibah menulisnya, lalu karena ada teman yang memanggilnya, dia lupa membawa puisinya itu. Apa perlu cinta dipertanyakan? Saat ia sudah hadir dengan indah di hadapanmu. Masihkah berusaha menghindar? Bisakah kau diam dan merasakan? Karena cinta bicara dengan sejuta makna, meski tanpa kata-kata. S_Lbh. Meski hanya satu bait puisi yang Labibah tulis itu, Fahri merasa puisi itu penuh makna, dan ditujukan pada seseorang yang sangat Labibah cintai. “Aku yakin ini milikmu, Bibah. Aku melihat sendiri kamu menuliskannya, aku yakin ini milik kamu, lalu siapa yang kamu maksud dalam puisi ini? Apa Fauzan? Iya aku yakin itu Fauzan, tapi kenapa kamu menutupinya kalau kamu bisa menulis puisi seindah ini?” gumam Fahri. “Labibah, sang penulis puisi yang aku kagumi,” imbuhnya dengan suara lirih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD