Bab 2: Pembunuhan oleh Seorang Penulis Wanita

1465 Words
Pintu elevator terbuka. Sandra keluar, diikuti oleh pemuda berambut pirang itu. Sandra memasuki kamar lalu menaruh tasnya di meja. Setelah itu, dia melepaskan ikat rambutnya sehingga rambutnya pun terurai bebas. Gadis penulis yang biasa menguncir rambutnya ini tampak lebih menawan ketika rambutnya terurai. Sepertinya, pemuda berambut pirang itu masih perjaka. Saat dia masuk, dia buru-buru menutup pintu kamar itu. Kemudian dia duduk di tepi ranjang, pura-pura memperhatikan rak buku milik Sandra untuk menyembunyikan ekspresi kebingungannya. Modus sekali! Padahal aku yakin bahwa pemuda berambut pirang itu sebenarnya tidak suka membaca buku. Ketika Sandra menyeduh segelas kopi, pemuda itu memberanikan diri untuk memeluk Sandra dari belakang. Dia bahkan menempatkan tangannya di pinggul wanita muda itu. “Kita sudah sepakat waktu berkirim pesan tadi malam. Hari ini aku mengundangmu kemari hanya untuk menikmati kopi bersama. Kamu jangan macam-macam.” “Itu ‘kan ketika kita berkirim pesan, saat itu aku tidak tahu ternyata kau secantik ini,” kata pemuda itu sambil tersenyum dan berusaha mencium telinga Sandra di balik rambutnya yang terurai. Sandra berbalik lalu mendorong pemuda itu dengan lembut sambil berkata, “Tapi kopinya sudah siap. Minumlah dulu sebelum melakukan hal lainnya.” Pemuda itu tersenyum getir sambil menerima cangkir kopi di tangannya lalu meminumnya. Sandra melepaskan diri dari pelukan pemuda itu lalu berkata, “Aku berlarian seharian, rasanya lelah sekali. Aku ingin mandi, kamu tunggu di sini saja.” “Ah ….” Pemuda itu terlihat kurang senang. Meski begitu, dia menggaruk kepalanya lalu berkata, “Oke, jangan lama-lama kalau begitu.” Sandra pun pergi ke kamar mandi. Aku merasa sangat kesal ketika menyaksikan semua itu di balik layar. Aku masih tidak percaya. Gadis penulis yang murni bagaikan seorang dewi itu mengencani pemuda sembarangan yang dia kenal lewat internet dan mengundangnya untuk bersenggama di kamarnya sendiri. Aku benci pemuda itu. Seharusnya aku yang ada di sana dan menerima tatapan penuh kasih dari Sandra. Ketika melihat Sandra memasuki kamar mandi dan membuka kran pancuran tanpa melepaskan pakaiannya, aku merasa ada hal yang tidak beres. Dia hanya berdiri di samping pancuran tersebut, seperti sedang menantikan sesuatu. Dari balik toilet, dia mengeluarkan sebuah kantong plastik yang berisi gulungan tali dan perekat. Apa yang akan dia lakukan? Sesaat kemudian, Sandra mengeluarkan tali, seakan sedang mempersiapkannya untuk melakukan sesuatu. Bukankah dia baru saja berkata bahwa dia ingin mandi? Mengapa dia hanya diam saja? Walau tatapannya tampak tenang, dia terlihat seperti sedang menunggu sesuatu. Satu jam kemudian, pemuda yang tadinya tampak tidak sabar kini mulai mengantuk. Dia pun berbaring dan segera tertidur pulas. Wajar saja jika mahasiswa muda itu tertidur karena dibuat menunggu lama sebelum berhubungan badan untuk pertama kalinya. Tetapi di sisi lain, ini tetap saja aneh, bagaimana bisa dia tertidur ketika hendak bercinta dengan seorang wanita cantik? Aku hanya bisa menduga bahwa kopi yang dia minum sudah dicampur dengan obat tidur. Benar saja. Sesaat kemudian, Sandra keluar dari kamar mandi sambil membawa sebuah kursi. Dia pun mengikat pemuda itu di kursi tersebut dengan tali yang telah dia siapkan. Setelah itu, dia kembali menyeret pemuda itu beserta kursinya ke kamar mandi. Dalam keadaan terikat, tiba-tiba pemuda itu terbangun. Meski begitu, efek obat tidurnya masih bekerja sehingga tangan dan kakinya masih mati rasa. Kesadarannya pun belum pulih benar. Ketika pemuda itu menyadari bahwa tubuhnya terikat, matanya langsung terbelalak. Dia pun berteriak sambil meronta, “Angel, apa yang kau lakukan?” Angel pasti nama samaran Sandra di internet. Sandra tersenyum seperti sedang melakukan sesuatu yang menyenangkan. Dia merobek seutas perekat lalu menggunakannya untuk menutup rapat mulut pemuda itu. Pemuda itu tampak sangat putus asa ketika menyadari apa yang menimpa dirinya. Bisa dikatakan bahwa ini adalah kejadian terburuk sepanjang hidupnya yang sudah berjalan selama 20 tahun. Setelah itu, Sandra berjalan menghampiri kasurnya dengan tatapan tanpa ekspresi. Dari bawah kasur itu, dia mengeluarkan sebuah kotak dengan beragam benda di dalamnya. Wanita itu mengeluarkan sebuah suntikan dan sebotol cairan. Dia mengisikan cairan tersebut ke dalam suntikan itu lalu membawanya ke kamar mandi untuk disuntikkan ke pemuda itu. Mata pemuda itu kini memancarkan kepanikan dan rasa putus asa. Sekuat apa dia meronta, dia tidak bisa melepaskan diri. Aku sekarang sadar bahwa tatapan seseorang yang sedang putus asa itu sangat mengerikan. Namun Sandra sendiri tampak biasa saja. Ekspresinya datar dan gerakannya sangat alami. Aku yakin ini bukanlah kali pertama bagi Sandra. Setelah Sandra menyuntikkan cairan itu, dia mencuci tangannya dan pergi ke kasurnya untuk berbaring sambil menulis seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Di hadapan layarku, aku merasa takut dan tegang. Punggungku sampai basah kuyup karena keringatku sendiri. Apa yang telah Sandra lakukan? Apakah dia membunuh orang? Cairan apa yang telah dia suntikkan kepada pemuda itu? Obat tidur? Atau obat lainnya? Aku melihat pemuda itu tampak tertidur pulas setelah disuntik, tubuhnya pun menjadi lemas bagaikan mayat. Namun, aku yakin bahwa dia tidak mati. Aku berdiri dan berjalan mondar-mandir di kamarku sendiri tanpa menghiraukan lima layar lainnya. Sama seperti pemuda itu, aku juga tidak menyangka akan ada kejadian seperti ini. Apakah sebaiknya aku pergi ke sana dan menghentikan semua ini? Walaupun pemuda itu licik dan c***l, dia tidak pantas mati. Jika aku menelepon polisi dan melaporkan keadaan pemuda itu, rahasiaku juga akan terungkap. Apa yang akan lima penghuni lainnya katakan kepadaku jika aku ketahuan? Aku sudah susah payah memilih mereka. Selain itu, jika orang-orang tahu bahwa ada orang yang pernah mati di indekosku, tidak akan ada orang yang mau menyewa apalagi membeli gedung ini. Jika semua itu terjadi, apa aku harus kembali bekerja di pabrik lagi? Ah, sial! Tentu saja, aku tidak akan mengungkapkan masalah ini ke hadapan publik. Menit demi menit berlalu, Sandra terus menulis dengan tekun. Sesaat kemudian, dia menguap, menutup laptopnya, lalu berbaring untuk tidur. Sedangkan pemuda itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan bangun. Malam ini, hatiku dipenuhi dengan perasaan gelisah. Mataku terpaku pada layar yang menampilkan pemuda itu. Tanpa aku sadari, fajar telah menyingsing. Sandra juga bangun, berganti pakaian olahraga, lalu pergi untuk lari pagi seolah hal semalam tidak pernah terjadi ataupun mengganggunya. Setelah mempertimbangkan matang-matang, aku memutuskan untuk ke sana dan memeriksa keadaan pemuda itu. Ketika para penghuni lain masih tertidur, aku membawa kunci duplikat kamar Sandra dan menuju ke sana. Aku sangat gugup sampai-sampai aku bisa mendengar detak jantungku sendiri. Setelah sampai, aku pun diam-diam membuka pintu kamar Sandra dan memasukinya dengan sangat hati-hati seperti seorang maling. Aku memasuki kamar mandinya dan melihat pemuda itu sedang dalam keadaan tak berdaya. Lalu, Aku mendekatkan tanganku ke hidungnya dan masih bisa merasakan udara berhembus pelan. Tampaknya dia belum mati. Aku tadinya ingin menepuk wajahnya agar dia bangun, namun aku tiba-tiba sadar bahwa aku tidak mengenakan sarung tangan. Jika aku menyentuhnya dan sidik jariku terungkap saat otopsi, situasi ini akan semakin runyam. Jadi, aku pun mengurungkan niatku. Selanjutnya, aku berjalan menuju kasur dan menggunakan empat koin dari celanaku untuk mengapit dua sudut pada kotak itu lalu menariknya keluar dengan susah payah. Di dalamnya, terdapat sebuah suntikan serta beberapa botol kaca dengan label yang berbeda-beda; bensin, kecap asin, cuka, larutan garam, dan obat tidur dosis keras. Sesuatu yang kemarin Sandra suntikkan pasti obat tidur dosis keras ini. Aku pun tertegun sesaat, lalu segera menutup kembali kotak itu dan mendorongnya ke bawah kasur. Sandra ternyata seseorang yang tidak waras. Aku kembali menatap pemuda itu dan merasa kasihan kepadanya. Semestinya dia melanjutkan kehidupannya sebagai seorang mahasiswa dan merasakan banyaknya keindahan di dunia ini, nahas memang, kini nyawanya bergantung kepadaku. Sebenarnya aku bisa saja mengeluarkan dia dari sini. Bisa saja aku melepaskan pemuda itu, membawanya keluar dari sini, dan berkata kepadanya untuk tidak melapor kepada polisi. Semuanya akan baik-baik saja, bukan? Walaupun dia tetap melapor kepada polisi, semuanya akan tetap baik-baik saja karena dia tidak mati. Namun, jika Sandra mengetahui semua ini, apakah dia akan membalas dendam dan membuatku berada di posisi pemuda ini sekarang? Di tengah kekalutanku, aku mendengar langkah kaki pelan dari luar. Berkat kegemaranku dalam mengintip, aku mengenal langkah kaki setiap penghuni di sini. Langkah kaki itu sangat ringan, seperti dedaunan yang terbawa angin. Ini pasti langkah kaki Sandra. Biasanya dia lari pagi selama lebih dari satu jam. Tapi dia kembali setelah pergi selama 40 menit. Jadilah aku merasa panik. Aku mengunci kotak itu, mendorongnya kembali ke bawah kasur, lalu berdiri. Tempat ini tidak terlalu besar, aku tidak tahu harus bersembunyi di mana! Apa yang harus aku lakukan? pikirku kalut. Jika dia tahu bahwa rahasianya terbongkar, apakah dia akan memberikan perlakuan yang serupa kepadaku? Walaupun Sandra bertubuh kecil, tetap saja aku sangat takut kepadanya. Aku rasa aku harus membuat Sandra pingsan terlebih dahulu. Setelah dia pingsan, barulah aku membuat rencana selanjutnya. Maka, aku mengambil sebuah kursi dan bersembunyi di balik pintu agar aku bisa memukulnya segera setelah dia masuk. Namun, langkah kaki yang ringan itu melewati pintu kamar ini, terus menjauh dari pintu kamar ini. Tanganku yang tadinya gemetaran saking takutnya, kini tenang kembali. Tok. Tok. Tok. Tiba-tiba aku mendengar suara ketukan yang berasal dari lantai lima, yaitu kamarku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD