Chapter 4: Cafe Kampus

1081 Words
[Cinta itu sederhana, harapan-harapan yang membuanya jadi rumit.] *** Bagaimana cara yang benar dalam mencintai seseorang? Karam tak menyangka lelaki berkulit cukup pucat dengan wajah rupawan di hadapannya akan bertanya hal sedemikian rumit. Saat ini Karam bahkan masih bertanya alasan ia dilahirkan di bumi, dan Badai bertanya hal yang lebih rumit daripada itu. "Berapa umur lo?" tanya Karam menelisik. Baginya, salah menulis angka nol dibelakang hitungan akutansi tak lebih rumit daripada pertanyaan Badai. "Untuk apa bertanya?" tanya Badai dengan nada jutek andalannya. Kernyitan di dahinya kini terasa khas di mata Karam. Suatu hari, Karam ingin menjetik tengah dahi lelaki itu. "Untuk lo jawab." Pian pernah berkata, jika ada orang yang bisa mengalahkan ucapan Karam, ia akan mentraktirnya selama sebulan. Karena Karam terlampau lihai bermain lidah. Pian kadang segila itu memang. "21." "Pernah aksel?" Badai mengangguk. "Pinter dong, tapi kok skripsinya nggak kelar-kelar?" ucap Karam menggoda. "Sengaja menunda skripsi." Karam terdiam sebentar, lalu menahan tawanya. Tapi perutnya terlampau geli hingga perempuan itu membungkuk hanya untuk meredam suara tawanya. Badai menatap Karam dengan kesal. Manik matanya melotot dan hidungnya yang tak mancung-mancung amat kembang kempis. "Lo—lo sengaja menunda skripsi karena takut nggak ada pasangan saat wisuda kan?" tebak Karam dengan asumsinya. Badai mendelik lagi. Sebenarnya, perempuan ini dukun atau apa sih? Dari tadi tebakannya benar semua. "Gue nggak kayak gitu!" seru Badai dengan desisan seperti ular berbisa. Karam mengangguk-angguk dan menepuk-nepuk bibirnya. "Maaf," ujarnya ringan. Karam menatap Badai cukup lama, menelisik lelaki itu dengan serius. "Tentang cara mencintai, gue juga nggak terlalu tahu. Tapi gue pikir rasa nyaman adalah hal utama dalam sebuah hubungan." Badai menggali ingatannya yang lumayan usang. Tentang Niken, mantan kekasihnya. Badai mencintai Niken, itu yang sering ia deklarasikan pada dirinya sendiri. Badai tak keberatan berlama-lama dengan Niken. Ia suka melihat perempuan itu tersenyum. Niken yang lembut selalu nampak meneduhkan. Apakah Badai merasa nyaman? Jawabannya iya, Badai tidak pernah terganggu dengan kehadiran perempuan itu. Dan ia juga seringkali merindukan belasan pesan yang muncul di ponselnya. Tapi, perempuan itu merasa Badai tidak mencintainya. "Lo belum puas sama jawaban gue ya?" Badai kembali dari lamunanya saat suara Karam melesak melalui gendang telinganya. "Belum puas," jawab Badai. Karam meletakkan tangannya di dagu. "Ah, lo jurusan ekonomi kan?" tanya Karam tiba-tiba. Badai mengangkat salah satu alisnya, memicing curiga. Ternyata perempuan itu mengenalnya? Karam buru-buru melambai pada Badai. "Enggak-enggak. Gue nggak kenal sama lo. Cuma salah satu dosen pernah bilang ada mahasiswa bernama Badai. Gue pikir itu lo," terang Karam. Badai mengangguk. Kecurigaannya hilang. Ia memang cukup terkenal di kalangan dosen karena prestasinya selama ini. "Kenapa?" tanya Badai. Karam menahan senyumnya. "Pinjemin gue buku-buku ekonomi tingkat lanjut dan bakal menjelaskan apa itu cinta." Karam selalu kesulitan untuk mendapatkan buku pelajaran. Buku di perpustakaan tersedia secara terbatas dan bahkan tidak lengkap. Ia tidak memiliki banyak waktu untuk duduk di tempat penuh buku itu mengingat ia harus ke café kampus untuk bekerja setiap ada waktu luang. Ia selesai bekerja pukul tujuh malam dan perpustakaan telah tutup di waktu itu. Karam adalah manusia paling perhitungan di dunia. Mungkin itulah alasan ia mengambil jurusan ekonomi. Bagi Karam, jika ia bisa mendapatkan keuntungan, kenapa tidak ia lakukan? "Jangan bercanda," ucap Badai dengan sorot mata datar dan tajam. "Gue terlalu butuh jawaban lo kok," tuturnya dingin. Karam tercengang sejenak lalu tertawa kecil. Perempuan itu mengangkat bahunya. "Yaudah, gue kan cuma menawarkan. Nggak usah marah kali, serius amat." Balas Karam yang terasa mengganggu Badai. Perempuan itu lantas mengeluarkan ponsel jadulnya dan melihat jam di sana. "Udah hampir jam sepuluh, gue pulang dulu." Karam berdiri dari duduknya. Melemparkan senyum pada Badai yang masih menatap perempuan itu dalam diam. "Makasih makanannya Badai..." Karam menatap Badai yang memasang wajah serius andalannya. "Jangan terlalu serius, luwes dikitlah..." candanya sebelum melambaikan tangan dan berjalan menjauh. Pandangan Badai masih berpusat pada perempuan dengan pakaian paling mencolok di sana. Perempuan dengan jeans kusam dan kemeja flannel agak besar yang biasa dipakai lelaki. Badai masih tidak habis pikir dengan penampilan Karam. "Dia yang paling menyebalkan," gumam Badai saat Karam tak lagi terlihat di matanya. *** Karam terkejut ketika mendapati Pian berjongkok di depan pintu rumahnya yang kusam. Karam tak memanggilnya, hanya membiarkan Pian menyadarinya sendiri. Tak butuh satu menit, lelaki yang nampak melamun itu mengangkat kepalanya. Matanya yang bulat itu membesar dan Pian langsung berdiri dari posisi duduknya. Pian meringis saat merasakan kakinya sakit. "Kenapa lo bisa ada di sini?" tanya Karam dengan wajah jengkelnya. Mendapati si biang kerok berada di depan rumahnya ketika ia benar-benar merindukan ranjang adalah hal terakhir yang Karam inginkan. "Gue bawa martabak asin," ucap Pian sembari mengangkat kresek transparan. Karam mengerutkan keningnya. "Jadi elo? Orang yang selalu naruh martabak asin di pintu rumah gue?" Karam menatap Pian dengan pandangan menuntut. Sedangkan lelaki di hadapannya hanya cengengesan. "Gue nggak mau iguana gue mati," ucap Pian yang membuat Karam dengan refleks menendang tulang kering lelaki itu. "Serius deh! Di mata lo gue beneran kayak iguana?" cecar Karam dengan sebal. Tetapi tangannya mengambil bungkusan di tangan Pian yang sibuk mengelus tulang keringnya. Kalau jatuh kan kasian martabaknya. "Namanya sama! Jadi jangan salahin gue! Udah takdir mah..." Karam tak habis pikir. Sepertinya ia baru saja menendang otak Pian yang berada di tulang kering. "Masa cewek cantik kayak gue lo samain sama iguana!" "Hei! Iguana gue nggak kalah cantik ya! Apalagi kalo berubah jadi transparan, keren banget. Coba deh lo pakai baju transparan, entar gue lihat siapa yang lebih cantik." Karam membuka mulutnya. Kakinya maju untuk menendang lagi, tetapi Pian kali ini lebih pintar untuk berkelit. "Serius pengen mati ya lo! Lagian mana ada iguana bisa transparan!" "Bercanda! Bercanda!" ucap Pian dengan cepat. Lelaki itu lalu mencoba mengalihkan kemarahan Karam. "Di gang depan ada preman, lo hati-hati kalo pulang malem gini," ujarnya dengan kecemasan yang terselip. Karam tersenyum dengan satu sudut bibir yang terangkat. Membuat Pian merinding entah bagaimana. "Mereka itu temen gue, kalau lo belom tau..." Karam menarik tangan Pian agar menjauh dari pintu rumahnya. "Udah sana pulang!" seru Karam. "Terima kasihnya mana?" tanya Pian tak terima. "Lain kali tinggalin aja di depan pintu kayak biasa." Sungguh. Karam adalah perempuan paling sadis di muka bumi. "Hei! Setidaknya bilang terima kasih kek. Gue sengaja diam-diam ngasih biar lo tersentuh lo. Ini namana so sweet, romantis, kasih gue ciuman kek..." Braak!!! Pintu rumah Karam tertutup dengan keras, meninggalkan Pian yang mengelus dadanya. Mencoba sabar. Sepertinya Karam tak bisa didekati dengan cara romantis seperti ini. Di balik pintu, Karam tersenyum tipis. Luka di wajah Pian sudah mulai sembuh dan hanya menyisakan sedikit lebam yang pasti akan hilang dalam beberapa hari kedepan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD