Episode 2

2101 Words
Tak lama, kami sampai di Bali Cafe. Ada cukup banyak pengunjung siang ini. Kulihat sekelilingku, rata-rata yang datang dengan keluarga atau teman-temannya. Sampai akhirnya mataku melihat ke arah satu meja. Di sana hanya ada seorang perempuan yang duduk sambil minum jus.  Perempuan itu juga menatapku. Tanganku mendadak menjadi dingin. Itukah Ibu tiriku? Begitu sampai di sana, perempuan itu berdiri, lalu memandangku dengan intens. “Alicia?” “I-iya. Tante Elsa?” Selanjutnya aku terkejut. Tidak ada jawaban yang kuterima, malah pelukan yang. Rasanya hangat .... Seperti dipeluk Ibu .... Tak terasa air mataku menetes lagi.  “Kamu mirip sekali dengan ayahmu, Nak,” bisik Tante Elsa. Aku terus menangis di pelukannya.  Tante Elsa membimbingku untuk duduk di dekatnya. “Ada apa, Sayang?” Aku menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, “Dipeluk Tante rasanya seperti dipeluk ibu,” bisikku.  Tante Elsa tampak berkaca-kaca. Digenggamnya erat tanganku. “Alicia, boleh Tante minta kamu memanggil Tante sebagai Ibu?” Aku tersenyum kecil. “Aku memanggil Ayah sebagai Papa. Apa boleh aku memanggil Tante sebagai Mama?” Tante Elsa memelukku. “Ya, boleh! Boleh, Nak!” Sesudah itu Mama menatapku dengan lembut. “Sesudah ini gimana kalau kamu tinggal dengan kami? Mama nggak mau anak Mama jauh-jauh dari Mama dan Papa.” Kembali aku menangis dalam haru. Tuhan punya cara-Nya sendiri dalam mengatur hidup manusia. Aku memang kehilangan kedua orang tuaku, tapi ternyata aku mendapatkan lagi orang tua yang baru. Ya, bukan pengganti, karena kedua orang tuaku tidak akan bisa digantikan oleh siapa pun. Ayah, Ibu, semoga kalian bisa tenang di sana. Sudah ada Papa dan Mama yang menjagaku sekarang.  Hari itu juga aku pindah ke rumah Papa dan Mama. Begitu sampai, aku terperangah. Rumahnya luar biasa besar! Sepertinya Papa dan Mama orang berada. Walau ayah dan ibu bukan orang miskin, dulu kami tinggal di rumah yang tidak sebesar ini.  "Tuan, Nyonya, selamat datang!" sapa beberapa pembantu rumah tangga pada Papa dan Mama. Papa mengangguk. "Beri salam pada Non Alicia juga. Ini anak saya, baru ketemu sekarang." Beberapa pembantu rumah tangga tampak memperhatikanku, lalu memberi salam. "Selamat datang, Non Alicia." "Alice, ini Mbok Minah. Dia pembantu yang paling senior di sini." "Mbok sudah kerja di sini berapa lama?" tanyaku pada Mbok Minah. "Baru 25 tahun, Non. Dari sejak Tuan lahir, saya sudah ikut ibunya Tuan. Seudah Tuan nikah, saya ikut Tuan. Eh, Non miripppp bener sama Tuan," kata Mbok Minah. "25 tahun kok disebut baru, Mbok? Iya, Mama juga bilang gitu tadi, Mbok." Mbok Minah terkekeh. Beberapa giginya yang sudah ompong kelihatan.  "Alice, ini Surti, Ijah, dan Ani. Kalau kamu butuh apa-apa, panggil dan minta bantuan mereka, ya Nak?" Papa memberitahu dan mengenalkanku pada mereka.  Aku mengangguk lagi. "Iya, Pa." "Oh, iya, Papa lupa. Tolong panggil Pak Kosim, Surti." "Baik, Tuan. Tadi Mang Kosim lagi cuci mobil, Tuan. Sebentar saya panggil," jawab Surti, salah satu pembantu di rumah Papa dan Mama. Tak lama, Surti kembali dengan seorang laki-laki yang terlihat lebih tua dari Papa. Sesudah itu mereka berempat kembali bekerja.  "Nah, ini Pak Kosim, Alice. Kamu besok ke sekolah diantar Pak Kosim, ya? Kalau mau ke mana-mana, bisa minta antar dia. Tapi ingat, jangan lupa bilang dulu ke Papa atau Mama. Jadi kami nggak bingung kalau kamu nggak ada di rumah," kata Papa lagi. "Iya, Pa." "Pa, biar aku antar Alicia ke kamarnya. Papa katanya harus urus masalah di kantor, kan?" kata Mama mengingatkan. Papa menggeleng. "Nggak apa-apa, Ma. Urusan kantor bisa nanti. Ketemu Alice nggak setiap hari juga." Mama tersenyum lalu menggandeng tanganku. "Ayo, Sayang. Kita lihat kamar kamu." Kami melewati lorong yang agak panjang. Papa mengikuti kami dari belakang. Ada beberapa kamar di sana. Mama menjelaskannya padaku, "Nah, ini kamar Papa dan Mama. Di sebelah sana, itu ada kamarnya Joseph, kakakmu. Sebelahnya lagi baru kamar kamu." "Ehm ... kalau kak Joseph apa akan pulang dalam waktu dekat, Ma?" tanyaku pelan. "Malam ini dia datang kok. Mama sudah cerita tentang kamu." "Uhm ... apa kak Joseph akan bisa menerimaku seperti Papa dan Mama, ya Ma?" Mama tersenyum. "Pasti bisa. Joseph anak yang baik. Apalagi dibesarkan di panti asuhan sejak lama, dia pasti senang bisa punya adik perempuan." Aku mengangguk-angguk lagi. Mama membuka pintu kamar lalu menggandengku masuk. Kamarku benar-benar kamar impian anak perempuan. Dindingnya warna merah muda. Ada boneka beruang besar di ranjangku. Selain itu, ada meja belajar di sebelah ranjang.  "Sayang, besok apa mau temani Mama belanja baju? Mama nggak tahu selera kamu gimana. Jadi nanti besok kamu pilih sendiri, ya?" tanya Mama. Aku dengan cepat menggeleng. "Ma, aku jadi nggak enak sama Mama dan Papa. Aku baru sehari ini pindah ke sini, rasanya sudah ngerepotin Papa dan Mama. Nggak usah kok, Ma. Bajuku masih banyak." Mama tersenyum sambil mengelus rambutku. "Kenapa bilang ngerepotin? Kamu anak kami, Alice. Jangan pernah mikir gitu lagi ya, Sayang? Kalau kamu masih mikir gitu, berarti kamu masih belum menganggap kami sebagai orang tua kamu." "I-iya, Ma. Maksudku ...." Aku bingung menjelaskan maksudku, tapi sepertinya Mama mengerti. Buktinya dia tersenyum sambil memelukku lagi. "Mama tahu, penyesuaian ini mungkin nggak gampang ya, Alice. Mudah-mudahan kamu bisa segera melihat Papa dan Mama sebagai orang tua kamu. Kamu anak baik. Papa dan Mama beruntung sekali punya anak seperti kamu." Papa yang tidak berkomentar apa-apa dari tadi ikut tersenyum mendengar perkataan Mama, lalu ikut memelukku juga. "Gimana, Alice? Suka kamar kamu?" "Iya, Pa. Ini kamar bagus banget. Pasti Mama yang desain, ya?" Papa tertawa. "Kenapa? Kalau Papa memangnya nggak mungkin rancangkan kamar seperti ini?" Mama ikut tertawa. Aku juga. "Aku yakin, Pa. Ini pasti Mama yang aturkan. Iya, kan, Ma?" Mama mengangguk. "Papamu sibuk di kantor, tapi waktu Mama usul untuk ubah kamar ini jadi seperti sekarang, Papamu setuju banget." Aku memandang Papa dan Mama dengan terharu. "Makasih Pa, Ma, sudah menerima aku jadi anak kalian." Papa dan Mama mengangguk-angguk sambil memelukku lagi. Tiba-tiba bunyi bel mengagetkanku.  "Ada yang datang. Mungkin tukang kebun. Biar Ijah yang bukakan. Kamu istirahat dulu ya, Alice," kata Papa. "Papa harus ke kantor lagi. Nanti malam baru kita makan sama-sama, ya?" "Iya, Pa. Eh, Ma, biar aku yang beresin barangku." "Nggak apa-apa, Mama bantu." Mama mulai asyik mengeluarkan baju dan beberapa barangku dari koper yang kubawa.  "Papa tinggal dulu ya, Alice, Ma." "Dah, Papa." Mama mengecup pipi Papa dengan mesra. Aku baru mengerti sekarang. Dulu Papa setuju menikah dengan Mama karena Mama memang pribadi yang luar biasa. Dia baik sekali, juga padaku. Kalau aku jadi Mama, mungkin tidak akan berlapang d**a seperti itu.  Melihat beberapa bajuku, Mama tersenyum. "Ah, kamu suka baju yang girly. Mama nanti belikan ya, yang seperti itu." "Ma, kalau kita pakai baju kembar kayaknya seru." "Iya, ya? Bagus juga ide kamu, Alice, tapi Mama sudah ketuaan pakai yang girly gitu." "Ah, siapa bilang? Mama masih kelihatan muda dan cantik kok, Ma." "Merayu Mama, nih," goda Mama sambil tertawa.  Aku dan Mama tertawa bersama. "Ma, aku seneng banget bisa jadi anak papa dan Mama. Mudah-mudahan cantiknya Mama nular ke aku." "Wah, Anakku lagi ada mau apa nih? Dari tadi kok ngerayu Mama terus?" Mama tertawa lagi sambil mencubit ujung hidungku.  "Mama ih, dibilangin kok nggak percaya?" Baru saja Mama mau menjawab. Tiba-tiba pintu kamarku diketuk.  Aku segera berjalan ke arah pintu. Begitu kubuka pintu, kulihat seorang yang lumayan ganteng. Dia lebih tinggi dari papa. Kulitnya coklat gelap, dengan badan tegap berotot. Alisnya yang tebal melengkung indah, tapi matanya itu yang memukauku.  Sorot matanya tajam, menyiratkan kecerdasan. Matanya menatapku lekat-lekat. Mendadak pipiku terasa panas.  "Joe, kamu sudah pulang? Katanya mau nanti malam baru pulang?" Laki-laki yang dipanggil 'Joe' oleh Mama mendekati Mama, lalu mencium pipi Mama. "Iya, Ma. Cuma Joe ambil penerbangan yang lebih awal supaya bisa pulang cepet. Kangen sama Mama dan papa. Ini dia?" tanyanya ke Mama.  "Iya. Ini Alicia. Kenalin Alice, ini Joseph, kakak kamu. Papa dan Mama biasa panggil dia 'Joe'." Aku mengulurkan tangan, tapi Joseph diam saja malah menatapku dengan tajam. "Kamu mirip banget dengan papa, tapi ingat aku akan terus mengawasi kamu. Jangan kira gara-gara kamu anak papa terus kamu bisa morotin harta papa." Mama terbelalak. "Joe? Kamu ini apa-apaan?" "Mama apa nggak ngerasa aneh? Tahu-tahu aja dia muncul begitu aja. Mesti ada maunya. Apalagi kalau bukan mau hartanya papa?" Mama memelototi Joseph. "Papa dan Mama nggak pernah didik kamu buat jadi kasar dan kurang ajar begitu! Cepat minta maaf ke Alice!" Joseph malah melipat tangannya ke d**a. "Ma, 14 tahun aku hidup dan besar dengan papa dan Mama. Aku tahu persis papa dan Mama itu terlalu baik. Hati-hati, Ma, nanti kebaikan Mama disalahgunakan sama orang-orang yang nggak bertanggung jawab." "Joseph! Kamu ini! Mama nyesel kirim kamu sekolah ke luar negeri kalau kamu jadi seperti ini. Ada apa sih, dengan kamu?" Joseph tidak menjawab, lalu keluar kamarku. Sebelum keluar, dia membalikkan badannya. "Anak Kecil, ingat kata-kataku. Jangan macam-macam dengan papa dan Mama, atau aku akan mencincang kamu sampai habis." "Joseph!" Mama sampai berteriak kali ini.  Aku tidak bisa berkata-kata mendengar tuduhan keji Joseph. Padahal aku sudah berharap bisa punya kakak laki-laki. Aku sudah sangat bahagia karena punya papa dan Mama yang begitu baik, begitu sayang padaku. Sayang, hidup tidak seindah drama Korea. Mungkin yang aku harus lakukan hanya menjauh dan tidak buat masalah dengan Joseph. Mudah-mudahan saja dia tidak akan terus mengintimidasiku.  Malamnya waktu Papa pulang, ternyata Joe malah sudah pergi lagi. Entah apa maunya dia? Papa anehnya tidak heran dengan kelakuan Joe. Aku sebenarnya tidak berniat menguping pembicaraan mereka, tapi waktu aku mau turun, aku dengar pembicaraan antara Papa dan Mama. “Pa, Joe tadi sudah pulang waktu siang, tapi dia malah ribut dengan Alice,” kata Mama, nada suaranya terdengar cemas. “Ribut dengan Alice? Ada apa memangnya, Ma?” “Joe menuduh Alice mau morotin duit Papa. Aku heran, kok bisa-bisanya anak itu mikir kayak gitu, Pa. Papa omongin ke dia, Pa. Mama takut kalau dia jadi tambah kasar. Kuliah ke luar negeri kok malah jadi gitu, sih?” “Ma, Mama tenang dulu. Joe itu bukannya kasar. Dia terlalu sayang pada kita. Mungkin dia khawatir kalau Alice itu punya niat yang nggak baik ke kita.” “Tapi Pa, Mama kasian lihat Alice diperlakukan kasar gitu. Ini pertama kalinya Mama lihat Joe seperti itu. Aduh, Mama tadi sampai bentak Joe, Pa. Di satu sisi, Joe emang salah ngomong sejahat itu ke Alice walau dia memang kayaknya berniat baik. Di sisi lain, Alice pasti sakit hati dibilangin gitu. Aduhhhh, dua-duanya anak kita. Gimana ini, Pa?” “Tenang, Ma, tenang. Nanti juga kalau Joe sudah kenal Alice, dia akan tahu dengan sendirinya sifat Alice. Memang Papa juga belum tahu banyak, tapi dari surat Andini, sepertinya Alice anak yang baik.” Mama menyandar ke bahu Papa. “Kalau Mama sih yakin dengan Alice, Pa. Mama kan nggak pernah salah nilai orang.” Papa merangkul pinggang Mama. “Iya, Ma. Papa tahu kok. Itu sebabnya waktu Mama dengan yakin mau terima Alice di rumah kita, Papa lega banget.” Sesudah itu aku tak dengarkan lagi. Memang aku baru dikenal Papa dan Mama, jadi wajar mereka masih belum kenal diriku sepenuhnya. Joseph apalagi, dia sama sekali tidak kenal aku. Setidaknya dari omongan Papa tadi, Joseph sepertinya bukannya jahat.  Aku baru mau masuk ke kamar mandi, tiba-tiba aku bertabrakan dengan seseorang. “Aduh!” “Ouch!” Orang itu berbalik. Ternyata Joseph. Lho, bukannya dia tadi kata mama pergi? “Heh, kalau jalan pakai mata dong. Nabrak-nabrak sembarangan!” bentak Joseph. “Jalan pakai kakilah, masa pakai mata?” bantahku. Joseph memelototiku. Aku tidak mau kalah dan balas memelototinya.  “Gimana, sudah puas menikmati kamar baru lu?” “Ehm ... ya gitu deh.” jawabku seadanya. Bingung juga dengan perubahan mood-nya yang tiba-tiba.  “Mau lihat kamar gue?” Aku tercengang. “Hah? Kamar Kakak?”  “Nggak usah panggil gue kakak. Gue bukan kakak lu!” katanya kasar. “Ta-tapi, Kak?” “Apa tapi-tapi? Kalau di depan Papa Mama, lu boleh panggil gue ‘kakak’. Kalau nggak di depan mereka, cukup panggil gue ‘Joe’. Jelas?” Makhluk ajaib! Aku mengangguk-angguk. “Ya sudah, aku mau ke kamar mandi dulu, Kak. Eh, Joe. Permisi dong?” “Lu nggak lihat gue duluan yang sudah masuk?” Aku diam saja dan menunggu di luar. Sesudah beberapa menit, Joseph keluar. “Ngapain sih nungguin di sini? Nungguin gue?” “Ih, geer. Siapa juga yang nungguin kamu? Aku mau mandi dari tadi.” “Terus ngapain nungguin di sini?” Aku tercengang. “Lho, kan ini kamar mandi. Memangnya aku harus mandi di mana?” Joe mencubit hidungku dengan gemas. “Itu di sebelah kamar lu juga kamar mandi, Non.” “Hah? Aku baru tahu, Kak.” “Apa lu bilang?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD