Dua

1082 Words
"Hai, Mom!" Lea memeluk ibunya dari belakang, mengagetkan wanita yang telah melahirkannya ketika sedang mencuci piring. "Kau mengagetkan Mommy, Lea." Karena kondisi tengah ramai, mau tidak mau Griya mengambil alih sedikit pekerjaan. Biasanya yang membantu di bagian belakang adalah Lea. Lea suka sekali berbagai hal berbau masakan. "Sengaja, Mom," jawab Lea seraya tertawa kecil. Griya menggelengkan kepalanya atas tingkah sang anak. "Kamu ini." "Biar Lea yang bantu di sini, Mom. Mommy ke depan saja, bantu-bantu di sana." Griya mengukir senyum untuk anaknya. Griya merasa beruntung memiliki anak seperti Lea, tidak hanya baik hati anaknya itu juga pengertian dan perhatian. "Terima kasih, Sayang." Griya mengecup pipi dan dahi Lea sebelum meninggalkan anaknya membantu pekerjaan di dapur bersama karyawannya yang lain. Lea mengangkat sedikit bahunya ke atas. Ia menyukai Mommynya yang sekarang dan ia bahagia. "Hah, saatnya bekerja Lea, semangat!" "Lea, Izy tidak kamu minta masuk?" Baru memegang piring, Lea kembali mendengar suara Mommynya. "Sudah, Mom. Lea suruh lewat depan," jawab Lea. "Baiklah, Mom minta dia ke atas saja." "Terserah, Mom saja," balas Lea lesu. Sejujurnya, Lea tidak menyukai ucapan Mommynya tadi hingga ia menggerutu sesaat setelah kepala sang Mommy tidak nongol di pintu masuk dapur. "Kenapa coba Mom harus bawa anak itu ke tempat tinggal kita? Tidak heran sih, Mom tahu jika Izy yang telah mengantar anak cantiknya, pasti mama Marsha yang bilang. Huh, Lea cantik memang harus banyak-banyak kesabaran." Jangan heran jika Lea tidak menyebut rumah melainkan tempat tinggal. Bangunan ini luas, selain menjadi kafe cabang pertama juga dijadikan tempat tinggal di lantai atas. Pukul sebelas malam, keributan di kafe telah usai. Para pegawai pun satu persatu meninggalkan kafe untuk pulang ke rumah mereka masing-masing. Tinggal Lea dan sang ibu bersiap menarik tirai dan mengunci pintu kafe. "Bangunkan Izy ya, Lea. Sekalian bantu Mom bawa makanan, letakkan di meja makan saja. Nanti kita makan bersama-sama." "Kenapa Mom tidak memintanya pulang, sih? Ada di sini tapi tidak bantu-bantu apapun," pungkas Lea lengkap dengan bibirnya yang mengerucut sebal. "Dia 'kan tamu, Nak. Dia adik kamu, kamu tidak boleh begitu. Sebagai kakak yang baik, kamu harus menjaganya sebaik mungkin," nasehat Griya, cukup mampu menohok hati Lea. Kakak ya? Lea tersenyum miris mengingat statusnya dimata semua orang. Orang-orang tahu, bahwa dirinya kakak dari lima orang adik. Tetapi tidak satu pun yang tahu tentang perasaannya. "Ya, sudah Mom mau cek laporan keuangan sebentar. Nanti Mom menyusul." Sepeninggal ibunya, Lea menitihkan air matanya. "Cinta memang tidak sepenuhnya membahagiakan," gumam Lea. "Tidak ada yang salah. Salahku karena hatiku memilih dirimu untuk aku cintai." "Woi, Jelek!" Sontak Lea membelakangi arah suara orang yang menyapanya. Secepat kilat pula ia hapus air matanya. Kemudian menghadap orang itu. "Kenapa kau turun? Mau bantu-bantu? Terlambat," sungut Lea kepada siapa lagi kalau bukan seorang Arizy Cudson. "Tidak kok." Izy menguap di depan Lea. "Aku mau pulang, mama menyuruhku pulang." "Ya, pulang sana. Tidak ada yang menahan mu kok." "Kau ini ti--" "Izy mau pulang?" Griya keluar dari ruang kerjanya dan memotong perkataan Izy. "Iya, Mom. Izy mau pulang, mama minta." Lea memutar bola matanya atas sikap sopan Izy. Padahal, pada dirinya yang lebih tua saja tidak sesopan itu. "Ah, oke. Hati-hati di jalan ya." "Iya, Mom." Lea dan Griya pun mengantarkan Izy ke depan. Mereka melihat Izy hingga tidak terlihat lagi lalu masuk ke dalam kembali. "Malam ini kita makan berdua ya, Nak. Padahal hanya seminggu kamu tidak ada, Mom rindu makan bersama anak Mom yang cantik ini." "Lea juga, Mom." Keduanya menaiki tangga bersama seraya membawa piring di kedua tangan mereka. Walau hanya berdua, mereka tetap bahagia. *** Meletakkan pengering rambut di atas meja rias. Lea berjalan menuju ranjang miliknya dan merebahkan diri di atas sana. Hari ini ia terlalu lelah, mata sudah tidak sanggup lagi terbuka lebar. Ingin sekali segera tertidur tetapi pikirannya berkeliaran tak tentu arah sehingga membuatnya sulit tidur. "Bersamanya terasa mustahil. Sering mencoba menghilangkan yang terlanjur tertinggal di hati, berakhir dengan kegagalan. Selain ada penghalang besar, perempuan sepertiku tidak mungkin menjadi pilihannya. Miris sekali jika benar, cinta ini cinta sendiri," gumam Lea sambil menatap cahaya lampu LED di langit-langit kamarnya yang berbentuk bintang kecil. Lea memiringkan tubuhnya lalu menutup sepasang matanya. Namun, mulutnya tidak berhenti bergumam, "andai engkau memberiku pilihan Tuhan. Aku tidak ingin Engkau membuat hatiku jatuh padanya." "Sekarang, dengan cara apalagi aku bisa melupakannya? Siapa orang yang bisa membantuku? Dan kenapa hatiku selalu Engkau beri harapan? Aku dan dia memang tidak sedarah, tapi apa pantas aku bersamanya? Aku merasa di kelilingi tembok besar. Papa dan mamanya orang tuaku juga. Mereka berdua berjasa membesarkan ku. Tidak mungkin aku bersama anaknya. Bahkan mereka menganggap ku anak tertua di keluarga mereka, diminta untuk menjaga adik-adikku dan memberi contoh yang baik. Haruskah batasan itu aku hancurkan?" Masih menutup mata, Lea mengembangkan senyum menyedihkan. "Kenapa aku ini? Percaya diri sekali bisa menggapainya sampai berpikir sejauh itu. Hah, aku memang harus melupakannya. Aku berharap Engkau sudi membantuku Tuhan. Do'aku setiap malam tetap sama. Bantu aku melupakannya, sadarkan aku bahwa dia adikku, terima kasih." Baru akan tertidur, Lea mendengar ponselnya berbunyi. Ia pun meraba-raba kasurnya mencari ponsel yang ia buang sembarangan. "Halo?" tanpa melihat si pemanggil Lea mengangkat panggilan itu begitu saja. "Lea, bisa kau berikan alamat rumahmu?" Lea mengerutkan dahinya, ia melihat jam dinding. Sudah pukul setengah satu malam. "Kau siapa? Malam-malam mau mengunjungi rumahku, besok pagi saja." "Aku Rania Lea, teman sekelas adikmu Cio dan kita satu sekolah. Ada yang harus aku antar ke tempatmu." Mendengar nama Rania, Lea membuka matanya lebar-lebar. Ia tahu jelas perempuan ini meskipun tidak kenal dekat. Dia perempuan yang sering mengejar-ngejar Izy. "Kau ... mau mengantar apa?" tanya Lea, agak takut apabila kedatangan Rania berkaitan dengan Izy. "Kau akan tahu nanti. Jadi tolong segera berikan aku alamat rumahmu Lea." Tut ... Panggilan diputus sepihak oleh Rania. Lea bimbang, mau memberi alamat tempat ini atau tidak. Tidak mau membuat orang lain menunggu, Lea pun memutuskan memberikan alamat kafenya. "Aku harus menunggu di bawah." Lea beranjak sembari menguncir rambutnya. kemudian keluar dari kamarnya. Baru membuka pintu, ia dihadapkan dengan sosok sang ibu. "Mau ke mana, Lea?" "Teman Lea mau datang, Mom. Katanya ada urusan penting." Griya menatap tidak percaya pada anaknya. "Malam-malam begini?" dibalas Lea dengan anggukkan kepala. "Mau Mom temani?" Lea tersenyum lega, ia takut sebenarnya menunggu di bawah seorang diri. Di bawah bagian kafe 'kan gelap. "Boleh, Mom." Tinggal berdua hanya bersama wanita yang melahirkannya, membuat Lea kagum dan bangga pada ibunya itu. Mommynya hebat, beliau orang tunggal yang memiliki dua peran dalam hidupnya. Sebagai seorang ayah dan sebagai ibu. Satu hal menakjubkan yang tidak semua orang bisa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD