“Sayang, aku harus ke Manhattan, masih banyak yang harus ku urus di sana,” kataku pada Tsabina yang saat ini duduk dengan tatapan senduh. Aku tahu dia tidak mau di tinggal, tapi aku tidak bisa membawanya untuk saat ini. Tak ada yang tahu pernikahanku di Indonesia, jadi aku harus menjelaskannya dahulu lalu nantinya aku bisa membawa Tsabina ke sana dan memperkenalkannya pada semua orang. Tatapan Tsabina terlihat senduh dan seperti ingin menangis. “Tapi, Mas. Kamu pulang kapan?” tanyanya. Ku belai rambutnya dan berkata, “Secepatnya, ya.” “Serius? Secepatnya?” “Iya. Kalau sudah selesai, aku langsung pulang,” jawabku tersenyum dan mengecup puncak kepalanya. “Kalau kamu butuh sesuatu, kamu katakan kepada Jeni atau Fufu, mereka pasti akan mengurusnya untuk kamu. Dan, kalau masalah uang, aku a

