Di ruang kantor intel yang remang-remang, suasana tampak tegang. Sebuah meja panjang terbuat dari kayu jati tua dikelilingi oleh beberapa kursi kulit hitam. Di sana, Ferril dan Farrel duduk berdampingan, sementara sepupu-sepupu mereka—Adit, Ardan, Agha, Ando, dan Husein—berdiri mengelilingi meja dengan tatapan serius. Mereka adalah inti dari keluarga besar yang selama ini dikenal dengan kekayaan luar biasa, tetapi juga dengan kekuasaan yang menyelimuti mereka dalam bayang-bayang politik. Di luar, kota Jakarta masih riuh dengan hiruk-pikuk kehidupan, namun di dalam ruangan ini, suasananya seperti medan perang yang tegang. Ferril menghembuskan napas panjang, menatap Farrel, lalu melirik ke arah para sepupunya yang menunggu dengan cemas. Tidak ada waktu untuk basa-basi lagi. Mereka harus cep

