Lukisan Tua

1154 Words
Pagi itu, langit Jakarta terlihat sedikit lebih cerah dari biasanya. Udara awal Mei yang biasanya lengket dan pengap, kali ini terasa agak bersahabat, seolah ikut menyambut awal babak baru dalam hidup Fasha dan Pandu. Di depan rumah bergaya modern kontemporer mereka di kawasan Jakarta Selatan, dua truk besar terparkir dengan rapi, para petugas pindahan sibuk mengangkut kardus-kardus berlabel dan perabotan dengan hati-hati. Suara pintu mobil terbuka, gemeretak roda troli, dan sapaan sopan para staf bersahutan dalam irama yang teratur. Fasha berdiri di teras rumah, mengenakan blouse satin warna biru pucat dan celana panjang putih yang menambah aura anggunnya. Meski usianya sudah 44 tahun, ia masih tampak seperti perempuan tiga puluhan akhir, dengan kulit terawat, postur tegak, dan sorot mata tenang yang menunjukkan pengalaman dan kecerdasan. Rambut panjangnya yang berwarna cokelat keemasan diikat separuh ke belakang, membingkai wajah yang sejak dulu kerap menjadi pusat perhatian di berbagai acara sosial elite Jakarta. Ya dulu sebelum berhijab. Di belakangnya, Pandu melangkah keluar dari pintu rumah sambil mengenakan kemeja lengan panjang putih yang digulung di pergelangan tangan dan celana chino abu-abu. Usianya 50 tahun, namun dengan tubuh tegap dan wajah yang masih menyimpan karisma khas pejabat militer—mungkin karena masa mudanya dulu pernah ditempa di lingkungan semi-militer sebelum berpolitik—ia lebih sering disebut tampak seperti “bapak keren” ketimbang seorang gubernur yang baru saja dilantik. Fasha menoleh dan tersenyum melihat suaminya. "Kita benar-benar pindah ya hari ini," katanya dengan suara lembut, nada suaranya seperti mengenang setiap sudut rumah yang selama hampir delapan tahun telah menjadi tempat berlabuh. Pandu mendekat, menyentuh jemari istrinya lalu menggenggamnya erat. "Rumah ini banyak kenangan. Tapi rumah baru kita, bisa jadi tempat lahirnya kenangan yang lebih besar lagi," balasnya dengan suara dalam yang tenang. Mereka naik ke mobil dinas hitam yang menunggu dengan sopir di kursi depan. Di dalam mobil, suasana sejuk. AC mengalir pelan, dan aroma parfum kayu yang lembut memenuhi ruang kabin. Sepanjang perjalanan menuju rumah dinas Gubernur DKI Jakarta di Menteng, mereka tak banyak bicara tentang politik, tugas-tugas berat yang menanti, atau jadwal rapat yang padat. Mereka justru mengisi waktu dengan obrolan ringan, canda lama, dan kenangan akan masa-masa awal pernikahan mereka. "Ingat nggak, kita pernah lewat rumah dinas itu dulu, pas kamu masih jadi walikota?" tanya Fasha sambil menoleh ke arah suaminya, bibirnya tersenyum kecil. Pandu tertawa. "Yang kamu bilang rumahnya angker itu?" "Iya! Soalnya waktu itu kayak rumah tua yang kosong dan kamu bilang, ‘Nanti kamu tinggal di situ kalau saya jadi gubernur.’ Aku kira kamu bercanda!” "Dan ternyata… sekarang serius banget ya,” sahut Pandu sambil menggenggam tangan istrinya di pangkuannya. Mobil melaju melewati jalan-jalan yang padat namun tetap dinamis khas Jakarta. Trotoar penuh dengan pejalan kaki, lampu-lampu jalan menyala bergantian, dan suara klakson bersahut-sahutan. Namun di dalam mobil itu, dunia seperti melambat. Mereka berdua, dua jiwa yang telah menempuh waktu dan badai bersama, sedang menikmati detik-detik kecil menuju lembaran baru. Fasha menatap keluar jendela. Matanya menangkap bayangan gedung-gedung tinggi yang pernah menjadi bagian dari rute kerja hariannya sebagai CEO. Namun kini, dunianya akan berpindah. Ia sadar, peran sebagai istri gubernur bukan hanya gelar sosial. Ia akan menjadi pusat perhatian, menjadi tempat bertanya, bahkan tempat menuntut. Tapi di balik semua itu, ia tahu, ia tak sendiri. Sesampainya di depan gerbang rumah dinas, mereka disambut oleh petugas pengamanan dan beberapa staf rumah tangga yang telah menyiapkan penyambutan sederhana. Rumah dinas itu berdiri megah namun tenang, dikelilingi pagar tua yang diperbarui, dan taman luas yang tertata rapi. Pohon-pohon besar menaungi halaman depannya, menciptakan bayangan alami yang menyejukkan suasana. Pandu turun lebih dulu, lalu membuka pintu untuk Fasha. Ia mengulurkan tangan seperti lelaki muda yang ingin menggandeng kekasihnya di malam prom. Fasha tertawa kecil, menerima uluran tangan itu dan turun dengan anggun. "Selamat datang di rumah baru kita, Bu Gubernur," bisik Pandu dengan senyum menggoda. "Jangan bikin aku jatuh cinta lagi di tempat baru," bisik Fasha pelan. "Kalau bisa, aku mau kamu jatuh cinta tiap hari," balas Pandu. Mereka melangkah masuk, tangan saling menggenggam, hati saling menenangkan. Namun, ketika mereka tiba di ruang tamu, Fasha sempat menghentikan langkah. Ada sesuatu yang menggantung di dinding. Sebuah lukisan tua, bergaya realis, menampilkan wajah seseorang yang tidak mereka kenal. Wajah itu menatap lurus ke arah pintu masuk, dengan sorot mata tajam dan penuh makna. Fasha mendekat, memiringkan kepala. "Siapa ya ini? Kayaknya bukan mantan gubernur…” Pandu mendekat, ikut menatap. Ia tidak menjawab. Sorot matanya berubah sedikit tegang. Dan dari balik tirai tinggi di sudut ruangan, seolah ada sesuatu yang baru saja bergerak pelan. Fasha baru saja mengangkat tangan, jari-jarinya yang lentik nyaris menyentuh permukaan lukisan tua itu. Kanvasnya telah kusam dimakan waktu, bingkainya sedikit retak di beberapa sudut. Namun mata dari sosok yang tergambar di dalamnya—seorang pria paruh baya bersetelan gelap, dengan tatapan menusuk dan senyum tipis yang nyaris menyerupai ejekan—membuat suasana ruang tamu yang tadinya terasa hangat, berubah menjadi dingin dan asing. Pandu ikut berdiri di sampingnya, alisnya berkerut. Ia memperhatikan lukisan itu dalam diam, mencoba mengingat apakah ia pernah melihat potret itu sebelumnya dalam sejarah para gubernur Jakarta. Tapi tak satu pun nama atau wajah muncul di benaknya. Ada sesuatu yang tidak wajar dengan lukisan itu—bukan karena keanehannya, tapi karena kesannya seolah… hidup. Dan saat itulah, tiba-tiba… Braak! Lukisan itu jatuh dari gantungannya—bukan meluncur pelan, tapi benar-benar terlepas, terjun seperti dilempar oleh tangan tak kasatmata. Suara benturannya menghentak seluruh ruangan, menggema sampai ke langit-langit tinggi rumah dinas itu. Pecahan kaca bingkai melesat ke segala arah. Tanpa pikir panjang, Pandu refleks menarik tubuh Fasha ke pelukannya, membalik tubuh mereka agar ia yang menghadap ke arah jatuhnya lukisan. Satu pecahan kecil bahkan sempat menyambar lengannya, meninggalkan goresan tipis yang segera merah. Fasha menahan napas, tubuhnya menegang di dalam dekapan suaminya. Ia belum sepenuhnya menyadari apa yang terjadi, tapi jantungnya berdegup cepat, seakan memberi isyarat bahaya. Pandu menoleh cepat, matanya menyapu sekeliling ruangan, lalu menatap langit-langit tempat lukisan itu sebelumnya tergantung. Tak ada angin. Tak ada gempa. Tak ada alasan rasional kenapa lukisan tua itu bisa jatuh begitu saja. Mereka terdiam selama beberapa detik. Lalu, Fasha akhirnya bersuara, pelan dan agak serak. "Tadi kamu lihat, matanya sempat bergerak nggak?" Pandu menatap istrinya. "Apa?" Fasha menoleh ke lukisan yang kini tergeletak terbalik di lantai marmer. "Waktu aku mau sentuh tadi... aku ngerasa matanya... ngikutin gerakanku." Pandu diam, pikirannya berkecamuk. Ia ingin menganggap itu sugesti, efek kelelahan, atau permainan bayangan. Tapi dalam hatinya, sesuatu berkata bahwa itu bukan hanya perasaan. Ia menunduk, perlahan membalikkan lukisan itu dengan ujung sepatu. Namun saat kanvas itu menghadap ke atas, mereka melihat sesuatu yang tak ada sebelumnya—di sudut kiri bawah, yang tadinya tampak kosong, kini ada semacam tulisan yang samar-samar mulai muncul, seperti tinta yang baru saja mengering: “Selamat datang kembali.” Fasha mundur setapak. Pandu membeku. Mereka belum tahu... Bahwa rumah dinas yang megah itu menyimpan lebih dari sekadar sejarah kota. Ia menyimpan ingatan—dan ingatan itu tidak akan tinggal diam. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD