Pertandingan Curang

1004 Words
Matahari mulai miring ke barat, menyinari lapangan basket dengan warna keemasan yang menyilaukan. Udara sore terasa panas, tapi tidak cukup untuk menyurutkan semangat anak-anak yang kini berkumpul di tengah lapangan. Aziel berdiri di tengah lingkaran kecil bersama para sepupunya-Faris, Farrid, dan trio kembar Fauzan, Fauzi, dan Fizzan. Di sisi lain, gerombolan anak-anak dari pemukiman padat berbaris dengan ekspresi siap tempur. Tidak ada peluit resmi. Tidak ada wasit. Hanya kesepakatan diam-diam antara dua kelompok yang sejak awal telah mengukur satu sama lain lewat tatapan dan sikap. "Mau main sampai berapa skor?" tanya Aziel sambil memantapkan pegangannya pada bola. "Kita main sampai 11. Siapa yang nyentuh angka itu duluan, menang," jawab anak tertinggi di antara mereka-berambut cepak dan postur kekar, mungkin berumur 16 tahun, dua tahun lebih tua dari Aziel. Namanya Tama, pemimpin tak resmi kelompok anak-anak dari luar komplek. Aziel mengangguk. Lalu ia memantulkan bola ke tanah dengan ritme lambat, matanya tak lepas dari lawan di hadapannya. Saat ia menyerahkan bola pada Tama untuk lemparan pertama, ia tahu ini bukan sekadar pertandingan persahabatan. Ini pertempuran kecil antara dua dunia yang sudah lama saling curiga. Permainan dimulai. Dan sejak detik pertama, Aziel langsung merasakan bedanya. Tama menggiring bola cepat, tubuhnya keras dan agresif. Ia menubruk pertahanan Fauzan tanpa ragu, dan memaksakan lay-up yang hampir seperti tekel dalam sepak bola. Bola masuk. 1-0. Anak-anak pemukiman bersorak, bersiul, mengejek dengan bahasa yang sengaja dilontarkan keras-keras. Aziel mencoba menenangkan sepupunya. Ia tahu itu hanya strategi provokasi. Giliran mereka menyerang. Aziel memantulkan bola cepat, menghindari satu, dua, lalu tiga pemain lawan. Tapi saat ia berbelok, siku salah satu anak lawan menghantam rusuknya-tidak terlalu keras, tapi cukup terasa. Ia hampir kehilangan bola, tapi Faris cepat menangkap dan melanjutkan permainan. Fizzan berhasil mencetak skor. 1-1. Mata Aziel menyipit. Ini bukan permainan biasa. Dan anak-anak itu memang sengaja main kasar. Setiap dribel disertai dorongan. Setiap rebound diperebutkan seolah hidup mereka tergantung di sana. Mereka menggunakan bahu untuk menahan, kaki untuk menyandung, tangan untuk menarik kaus lawan diam-diam. Sepupu-sepupu Aziel mulai geram. Fauzi sempat menegur seorang anak yang menarik kerah bajunya saat berebut bola. "Main basket, bukan gulat!" Tapi anak itu hanya tertawa, lalu meludah ke samping, seperti tak peduli. Aziel menghela napas. Ia tahu ini akan jadi ujian. Namun semakin kasar permainan berlangsung, semakin tenang Aziel bermain. Ia mulai menyesuaikan irama. Ia menahan diri, tidak membalas keras dengan keras. Ia justru bermain lebih lincah, lebih cepat, menghindar sebelum tubrukan terjadi. Bola bergerak secepat bayangan di bawah cahaya senja. Skor mulai imbang. 4-4. Lalu 6-6. Anak-anak pemukiman mulai kehilangan ritme. Beberapa dari mereka mulai frustrasi. Tapi Tama tetap tenang-ia tahu hanya ada satu cara untuk menang: jatuhkan Aziel. Hentikan dia. Caranya apa saja. Dan kesempatan itu datang. Aziel menggiring bola, melewati satu pemain, lalu dua. Ia melaju ke ring. Tapi saat ia melompat untuk dunk kecil, seorang anak di belakangnya sengaja mendorong punggungnya. Aziel terhuyung. Ia jatuh keras ke lantai, siku dan lututnya membentur permukaan aspal kasar. Suara keras bergema. Semua terdiam sesaat. "AZIEL!" Farrid berlari mendekat, diikuti saudara-saudaranya. Aziel meringis, tapi langsung bangkit. Ia berdiri perlahan, menahan nyeri di sikunya yang lecet. Darah mulai merembes, tapi ia tak mengeluh. Anak yang mendorongnya-bernama Reno-malah tersenyum sinis. "Lo anak gubernur, kan? Masa jatuh gitu aja sakit?" Tawa meledak dari kelompoknya. Tapi Aziel tidak menjawab. Ia hanya menatap Reno dalam-dalam. Dan untuk pertama kalinya... Tama angkat tangan. "Cukup! Jangan main curang." Semua anak-anaknya menoleh padanya, heran. Tapi Tama tetap berdiri tegak, tatapannya beralih ke Aziel. "Kita tanding, bukan saling lukai," kata Tama tegas, nada suaranya berat namun berwibawa. Sekilas, itu seperti seruan untuk menghentikan ketegangan, tapi sayangnya tidak cukup kuat untuk menahan hasrat balas dendam yang sudah terlanjur tumbuh di d**a anak-anak pemukiman itu. Terutama Reno. Aziel mengangguk pelan, mencoba menghargai niat baik Tama. Luka di tangannya masih terasa perih-kulitnya lecet dan darah mulai menggumpal di tepinya. Tapi ia tetap melanjutkan permainan. Ia tak ingin terlihat lemah. Tak ingin kalah. Bola kembali dipantulkan. Permainan dilanjutkan. Namun intensitas justru semakin meningkat. Anak-anak itu tidak sekadar bermain, mereka tampaknya mulai merasa ini adalah ajang membuktikan harga diri. Kontak fisik semakin brutal. Sikut menyenggol rusuk. Lutut mengenai paha. Lengan seperti sengaja menyentuh wajah. Tak ada pelanggaran yang ditiup peluit-karena peluit memang tak pernah ada. Dan saat Aziel mencoba melakukan lay-up sekali lagi, Reno datang dari samping dengan kecepatan tinggi. Benturan terjadi. Tak sekadar dorongan, kali ini tubuh Aziel terpental ke belakang dan terjatuh dengan keras. Kepalanya menghantam lantai aspal. Suara "duk!" itu terdengar jelas. Hening sesaat menyelimuti lapangan. Darah mengalir dari pelipisnya. Sepupu-sepupunya segera berlarian ke arahnya. Faris memeluk bahu Aziel, mencoba menegakkan tubuhnya. Wajah Aziel pucat, tapi matanya tetap menyala. Ia tak menangis. Hanya menggertakkan gigi, menahan sakit. Bahkan ia masih berusaha bangkit meski lututnya goyah. Dan saat itu juga... Di ujung jalan menuju lapangan, dua sosok muncul. Lara dan Larin. Mereka awalnya berjalan santai, karena memang niatnya hanya menjemput. Buyut mereka menyuruh mereka berdua memanggil sepupu-sepupu lelaki itu untuk pulang. Tapi langkah mereka langsung berhenti ketika melihat kerumunan tak biasa di tengah lapangan. Larin memicingkan mata. Ia melihat tubuh Aziel terhuyung, bajunya penuh debu, keningnya berdarah. Beberapa anak lelaki asing tampak mengerubunginya-dan bahkan beberapa masih menyeringai. Itu bukan pertandingan. Itu seperti perkelahian tak seimbang. Larin spontan menjerit. "PAK SATPAAAAAM! PAK SATPAAAAMMM!!!" Teriakan itu menggema di antara dinding beton dan rumah-rumah tua. Suaranya melengking, penuh kemarahan dan kekhawatiran yang mencampur jadi satu. Ia tahu tidak ada satpam di dekat situ. Tapi ia juga tahu bahwa kadang-kadang, ketakutan datang dari apa yang dibayangkan, bukan yang nyata. Dan benar saja. Bocah-bocah itu panik. Beberapa menoleh kiri kanan. Yang lainnya langsung lari terbirit-b***t, melompat pagar kompleks seperti dikejar harimau. Bahkan Reno, si paling keras kepala, ikut menghambur keluar tanpa sempat melihat ke belakang. "Bocah-bocah dungu!" ejek Larin. Tentu saja tak didengar. Kalau terdengar, ia bisa saja dihabisi para bocah kampung itu. Ia mendengus. Sementara itu, Aziel justru berjalan cepat ke arah mereka, eh maksudnya Lara yang berjalan di sebelahnya. "Lihat nih, Ra. Kepalaku sakit," lapornya. Larin memutar bola matanya. Tentu tahu akal-akalannya. Sementara para sepupu lelaki menahan tawa. Dasar Aziel! ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD