Malam menggantung tenang di atas rumah dinas Gubernur Jakarta. Bangunan kolonial yang megah dan bersejarah itu berdiri gagah dalam remang cahaya temaram lampu taman. Dari luar tampak hening, seolah tak ada riak kecemasan yang tersembunyi di dalam dinding-dinding tebalnya. Tapi di lantai dua, dalam kamar tidur utama yang baru saja mereka tempati untuk pertama kalinya malam ini, kegelisahan perlahan-lahan mulai merembes ke dalam napas seorang lelaki bernama Pandu Mahardika.
Ia baru saja tiba di rumah itu setelah seharian berada di Bogor—perjalanan yang melelahkan secara fisik, tapi jauh lebih menguras batin. Wajahnya terlihat tenang, namun dari gerak tubuh dan caranya melepaskan sepatu, sang istri, Fasha, sudah bisa menebak—ada sesuatu yang ditahannya. Wanita itu baru pulang setengah jam lalu setelah singgah ke kantor untuk rapat ringan dengan tim FA Interior-nya. Ia menyapa suaminya seperti biasa, dengan senyum dan pelukan, tapi tahu tak akan langsung mendapat jawaban atas kecurigaannya.
Pandu hanya berkata, “Nanti saja, setelah salat isya.”
Sekarang, setelah mandi dan mengganti pakaian, ia duduk di sisi ranjang sambil merapikan jam tangannya. Fasha pun telah selesai menunaikan salat. Rambutnya masih basah, dibalut handuk kecil. Ia mengenakan piyama satin berwarna biru kelam, duduk bersila di atas kasur sambil mengeringkan rambut pelan-pelan.
"Aku sih merasa rumah ini terlalu tenang untuk disebut nyaman," gumam Fasha pelan, matanya menyapu ruangan yang luas itu. Tirai tinggi menjuntai menutupi jendela besar, lampu gantung bergoyang pelan karena angin dari AC sentral. “Tenangnya agak... ganjil.”
Pandu menoleh. Wajahnya serius, lebih dari biasanya. Ia mendekat, lalu duduk di tepi tempat tidur, menatap istrinya dalam-dalam sebelum berbisik.
“Kita harus bicara. Tapi sebelumnya...”
Ia bangkit, membuka laci koper hitam yang ia bawa dari perjalanan tadi. Dari dalamnya, ia mengeluarkan sebuah benda mungil berbentuk seperti remote kecil. Warnanya hitam metalik, dengan layar indikator dan tombol pemindai di sisi samping. Alat itu tampak canggih namun sederhana. Alat deteksi penyadap, pemberian dari Farrel—sepupu Fasha yang menjabat sebagai kepala intel—yang dititipkan melalui Fadli Adhiyaksa, ayah mertua Pandu.
Fasha menegakkan tubuhnya. Sorot matanya berubah tajam.
"Baru dikasih Farrel?"
Pandu mengangguk. “Katanya jangan percaya siapa pun dulu. Ini rumah warisan pemerintah, entah sudah berapa generasi tokoh tinggal di sini. Kita enggak tahu siapa yang terakhir pasang apa.”
Ia mengaktifkan alat itu. Layar kecilnya menyala biru. Lalu terdengar suara "beep" pendek, dan garis detektor bergerak. Pandu perlahan berjalan keliling kamar, memindai tiap sudut, mulai dari meja rias, bawah tempat tidur, hingga ventilasi udara.
Fasha menahan napas saat alat itu mengeluarkan bunyi panjang saat diarahkan ke sisi timur ruangan—dekat kaki lemari antik yang berdiri kokoh di sudut ruangan. Pandu merunduk, menyinari dengan senter kecil dari ponselnya, dan... benar saja. Ada sebuah titik kecil mengilat, nyaris tak terlihat, menempel pada panel kayu di bagian dalam kaki lemari.
“Chip penyadap. Ukurannya segini, nyamar seperti mur logam,” gumam Pandu, wajahnya tegang.
Fasha mendekat, ikut menatap dengan mata membelalak. Tapi alih-alih panik, ia mengembuskan napas panjang. “Untung bukan di kamar mandi.”
Pandu menatapnya, lalu tertawa kecil. “Itu juga yang langsung kupikir.”
Mereka diam sejenak. Pandu mengambil chip itu dengan pinset kecil dari alat deteksi, lalu menaruhnya ke dalam kotak logam kecil dengan sistem pengunci sinyal—juga bagian dari paket pemberian Farrel. Saat chip itu dikurung, alat pendeteksi kembali hening.
“Sudah bersih. Setidaknya malam ini.”
Fasha duduk lagi di ranjang, kali ini menarik napas dengan lebih tenang. Tapi kegelisahan tak sepenuhnya hilang dari wajahnya. “Jadi... Ayah cerita apa tadi sampai kamu bawa pulang beginian?”
Pandu menatapnya, mendekat lagi dan duduk di sebelahnya. Ia memandang wajah istrinya yang masih tampak cantik, kuat, dan tenang, meskipun suasana mulai memanas.
“Ayah... bicara soal kemungkinan pencalonan tiga tahun lagi.”
Fasha membeku. Ia menatap suaminya, mencoba membaca sisa kalimat yang belum terucap.
“Jadi kamu... akan mencalonkan diri?”
Pandu menggeleng pelan. “Aku belum bilang ya atau tidak. Tapi yang jelas, menurut Agah, hanya aku yang bisa menghentikan mereka.”
Fasha terdiam. Ia tahu ini lebih besar dari sekadar ambisi politik. Ini bukan tentang panggung kekuasaan—ini tentang menyelamatkan sesuatu yang jauh lebih dalam: negeri ini. Tapi di saat yang sama, ia juga tahu, jika Pandu melangkah ke sana, mereka tidak akan bisa mundur lagi. Tidak selangkah pun.
Mereka saling menatap. Lalu dari luar terdengar suara langkah kaki pelan—mungkin petugas dapur yang menyiapkan makan malam di bawah. Tapi bagi mereka, keheningan terasa seperti jeda sebelum badai.
Fasha menyentuh lengan suaminya.
“Tak bisa kah hanya sampai gubernur?”
Ada keraguan dan ketakutan kali ini. Fasha tak seperti biasanya yang selalu percaya diri. Namun sebelum Pandu bisa menjawab, alat detektor itu kembali berbunyi.
Beep… Beep… Beeeeeep.
Kali ini... bukan dari sudut lemari.
Tapi dari... dalam bingkai lukisan di atas kepala ranjang.
Mereka menoleh serentak.
Dan tanpa suara, seolah sadar mereka telah dilanggar lebih dari yang mereka bayangkan, Pandu perlahan berdiri, matanya menajam. Fasha ikut berdiri, pelan-pelan mendekat ke lukisan tua yang terpajang itu.
Di balik kanvas yang menggambarkan wajah seorang pejabat masa lalu, tampak... goresan halus yang bukan bagian dari lukisan.
Ada sesuatu di baliknya.
Dan bisa jadi, itu bukan hanya penyadap… tapi sesuatu yang lebih berbahaya.
Pandu langsung menarik Fasha mundur begitu suara beep dari alat pendeteksi meningkat jadi alarm panjang. Dalam hitungan detik, ia menyadari satu hal: ini bukan sekadar chip penyadap. Detektornya—yang dilengkapi dengan sistem pengenal bahan logam berbahaya—mengenali sinyal tak biasa dari balik lukisan itu.
Dan benar saja.
"DOR!"
Ledakan kecil meletus dari balik kanvas. Bukan seperti suara pistol biasa, tapi bunyi senapan modifikasi jarak dekat—jenis yang dirancang bukan untuk peperangan terbuka, tapi pembunuhan diam-diam. Sebuah peluru tajam menembus udara dan menghantam headboard tempat tidur di mana kepala Pandu dan Fasha semula bersandar. Kayu jati ukirannya pecah berhamburan.
Fasha berteriak pelan, bukan karena takut—melainkan karena geram. Refleks bela dirinya langsung aktif. Ia menyambar bantal besar dan melemparkannya ke arah lukisan sebagai pengalih. Peluru kedua meletus—menembus bantal, lalu menghantam dinding belakang.
Pandu menggeret tubuh istrinya ke balik lemari tinggi. Jantung mereka berdegup cepat. Tapi wajah Fasha berubah. Tidak panik. Malah lebih siaga. Ada api di matanya yang lama tak muncul—api yang biasanya hanya keluar saat ia bertarung dalam kompetisi tingkat internasional waktu muda dulu.
“Ini bukan sekadar penyadapan,” gumamnya pelan.
Pandu mengangguk cepat. “Itu… senjata mikro-elektromagnetik. Model terbaru. Hanya bisa disuplai dari luar negeri atau dari… dalam istana.”
Fasha mencabut pin rambutnya—bukan sembarang pin. Itu alat pembuka laci otomatis, sekaligus bisa digunakan sebagai senjata kecil. Ia mengendap ke sisi kiri kamar, lalu berguling cepat dan mengambil posisi di sisi kanan lukisan. Pandu mengerti maksudnya. Ia pun memutar ke arah lain, mendekat dari sudut yang berseberangan.
“Siap?” tanya Fasha, lirih.
Pandu mengangguk.
“Sekarang!” serunya.
***