Episode 4 : Keinginan Sasmita

1612 Words
Episode 4 : Keinginan Sasmita **** Kopi ke dua di hari ini, tepat pukul dua siang, di mana mereka juga belum sempat makan siang.  Hari pertama kerja sudah langsung membuat Sasmita sibuk. Namun karena Sasmita ‘anak’ baru, wanita muda berparas cantik yang turut disertai keceriaan itu, hanya ditugaskan untuk membantu.  Sasmita sibuk melangkah ke sana kemari mengerjakan semua perintah senioornya. Tanpa terkecuali, mengenai kopi, Sasmita juga yang membuatkannya untuk anggota departemennya. Hampir semua senior Sasmita memuji racikan kopi Sasmita. “Ta … tujuh cangkir kopi lagi. Kirim ke sebelah!” seru Murni, salah satu senior Sasmita. Wanita bertubuh tambun berambut lurus dan panjangnya hanya setelinga itu menatap Sasmita sekilas sebelum kembali fokus ke telepon yang masih berlangsung.  Bisa Sasmita pastikan, Murni senioornya mendapat pesanan kopi dari departemen sebelah, dan menjadi departemen lebih tinggi dari departemen Sasmita bernaung. Tanpa pikir panjang dan selalu menyikapi keadaan dengan senyuman, Sasmita yang baru akan menyesap kopi hitamnya, buru-buru berlalu tanpa terlebih dulu menikmati kopinya yang masih dihiasi kepulan uap, meski hanya untuk satu sesap.  Bagi Sasmita, sebisa mungkin bahkan sekalipun pikiran berikut hatinya sedang sangat kacau, ia harus tetap rajin sekaligus bekerja keras, agar ia bisa bertahan bekerja di sana. Agar Sasmita memiliki penghasilan tetap dan bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Apalagi bisa Sasmita pastikan, badai kehidupan yang menerpanya, jelas akan membuatnya menjadi janda muda.    **** Kopi sudah terbuat dan Sasmita bawa dengan satu nampan sekaligus. Sasmita melangkah penuh semangat berhias senyuman yang selalu dipasang, meski hingga detik ini, kedua matanya yang dilindungi kacamata bening berbingkai hitam, masih sembam. Hanya saja, keberadaan wanita berhijab syari warna toska dan justru melangkah ke arah Sasmita, sukses membuat Sasmita nyaris jantungan. Suci. Kenapa Suci sampai ada di perusahaan Sasmita bernaung? Suci membawa rantang bekal. Wanita itu melangkah sambil menunduk dan bisa Sasmita pastikan, Suci begitu karena kakak perempuan yang juga menjadi saudara tunggalnya, sengaja menjaga pandangan. Sasmita sengaja menunduk dan sebisa mungkin menyembunyikan wajahnya. Mereka berpapasan tanpa saling menatap dan berlalu begitu saja. “Kenapa Mbak Suci sampai ke sini? Mbak Suci ada perlu apa, dan dengan siapa?” batin Sasmita terus bertanya-tanya. Sasmita segera mengetuk pintu departemen tujuannya. Pintu departemen yang juga baru Suci tinggalkan dan hanya berjarak sekitar tujuh meter dari pintu ruang departemen Sasmita berada.  Dari dalam, seorang pria seumur Rarendra langsung membuka pintu dan membimbing Sasmita untuk masuk. Ternyata suasana di sana jauh lebih sibuk dari departemen Sasmita. Bahkan ada suara debat di mana kali ini, suara pria yang tiba-tiba menyela ucapan pria paruh baya di depan sana, langsung membuat Sasmita terkesiap bahkan merinding. “Mas Rara …?” Sasmita menatap tak percaya pria di depan sana yang sedang berargumen. Sasmita sadari, jantungnya berdetak jauh lebih kencang. Rarendra, benar itu Rarendra. Mengenakan kacamata bening berbingkai hitam, Rarendra tengah berargumen dan terlihat sangat berwibawa, meski yang Rarendra lawan terlihat jauh lebih senior. Sasmita yang sempat terpaku menatap Rarendra, segera mempercepat kinerjanya lantaran seorang pria di sebelahnya memberinya kode keras melalui dehaman sekaligus lirikan tajam. Sasmita sadar, pria itu mengusirnya secara halus. Sasmita meletakan kopinya di bibir meja setiap tempat duduk dan dua di antaranya kosong. Sasmita berpikir, kursi tersebut merupakan kursi Rarendra berikut pria paruh baya yang menjadi lawan Rarendra dalam berargumen. “Begitu dekatnya hubungan kalian, hingga mbak Suci bisa leluasa datang dan pergi ke sini?” “Mbak Suci bahkan sampai membawakan bekal ….”  “Jangan-jangan, bekal yang selama ini aku buat, justru dimakan orang lain atau parahnya dibuang,” batin Sasmita sambil melangkah cepat meninggalkan ruang departemen Rarendra bernaung. Sesekali, Sasmita menyeka air matanya yang lagi-lagi luruh. Sedangkan demi meredam tangis agar tak sampai bersuara, Sasmita sengaja menggigit kuat bibir bawahnya. “Aku pikir, alasan Mas Rara melarangku pergi-pergi tanpa ditemani Mas Rara langsung, karena Mas Rara benar-benar peduli. Namun nyatanya, alasannya membatasi langkahku, karena Mas Rara sengaja agar Mas Rara bisa bersama Mbak Suci dengan leluasa!” Kali ini, Sasmita yang masih berbicara dalam hati, sungguh meronta-ronta dalam hatinya.  “Tuhan … maaf kalau aku jadi gampang berburuk sangka. Tapi … tapi aku beneran enggak kuat. Aku enggak sekuat itu.”   “Aku pasrah. Tapi serius, lebih baik kami berpisah daripada harus selalu begini. Aku enggak mau jadi penghalang apalagi penyebab luka-luka mereka.” Tangan kanan Sasmita refleks meremas d**a. Sesak dan sakit begitu menyiksa di sana, ditambah kenyataannya yang sedang flu dan tak jarang membuat ingusnya lumer. Begitu pula dengan tubuhnya yang berangsur membungkuk lantaran rasa sakit di dadanya juga sampai membuatnya tak berdaya. Namun, demi bisa secepatnya sampai ruang kerja, Sasmita memaksa kedua kakinya untuk melangkah kendati langkah yang ia hasilnya juga tak seberapa, terseok-seok.  “Sudah, Ta. Jangan nangis. Kalau kamu gini terus, yang ada kamu makin hancur.” Hati kecil Sasmita berusaha menguatkan. Sedangkan tangan kiri yang sesekali bertumpu pada tembok sekitar, berangsur menyeka tuntas air matanya. *** Sesaat setelah duduk dan siap menerima presentasi dari rekannya yang baru saja maju ke depan, Rarendra langsung meraih secangkir kopi yang tersedia di hadapannya. Ia menyesapnya kendati pandangannya langsung fokus ke depan, menatap layar putih yang seketika dihiasi bahan presentasi rekannya. Namun, baru juga menyesap sekali, Rarendra langsung terdiam. Indra sekaligus pemacu kehidupannya seolah berhenti bekerja detik itu juga. “Mirip kopi buatan Mita …?” batin Rarendra dan refleks mengerling.  Rarendra sangat hafal rasa kopi buatan Sasmita yang nyaris setiap hari menemani indra perasanya. “Tapi kok bisa? Enggak mungkin,” batinnya lagi dan sampai menanyakannya kepada rekan kerjanya yang duduk persis di sebelahnya. Pria yang sempat memberi Sasmita kode keras dan awalnya tengah menyimak serius presentasi yang masih berlangsung, langsung menoleh dan menatap Rarendra. “Anak baru kayaknya,” jawab si pria. “Anak baru gimana? OB baru?” balas Rarendra yang bahkan belum menurunkan cangkir kopinya dari depan mulutnya. Meski terbilang cuek, si pria yang menjadi lawan bicara Rarendra, menggeleng. “Bukan. Tapi dari departemen sebelah. Biasa, anak baru kan seringnya disuruh ini itu,” ucapnya yang tetap memilih fokus ke depan untuk menyimak presentasi. “Anak baru?” batin Rarendra menerka-nerka. Tak lama setelah itu, Rarendra teringat kehadiran Sasmita di perusahaan dan langsung Rarendra tanggapi dengan dingin. Kejadian dua hari lalu, sebelum akhirnya Sasmita pergi dari kontrakan dan hingga sekarang belum Rarendra temukan. “Jangan-jangan …?” batin Rarendra dan kali ini berpikir, karyawan baru yang dimaksud memang Sasmita, apalagi akhir-akhir ini, Sasmita getol melamar kerja. **** Sasmita merapatkan sweater kuning yang baru saja ia kenakan. Hari pertama kerja yang sibuk dan melelahkan, bahkan Sasmita sampai pulang malam. Sudah pukul setengah delapan, yang dengan kata lain, hari ini Sasmita bekerja dua belas jam.  Segera Sasmita mengeluarkan ponsel dari tote bag-nya. Sambil bergegas meninggalkan ruang kerjanya yang sudah sepi dan hanya menjadikannya sebagai satu-satunya penghuni, Sasmita langsung memesan ojek online.  Sederet pemberitahuan menghiasi ponsel Sasmita lantaran hari ini, ia sama sekali tidak menyentuh ponsel, benar-benar fokus kerja. Tentunya, Sasmita tidak akan mendapati pemberitahuan dari nomor Rarendra, Suci, maupun keluarga mereka, dikarenakan Sasmita sudah langsung memblokir nomor-nomor tersebut. Hanya ada pemberitahuan dari Giani, juga sederet pesan dari pihak operator berikut jasa lain dan tak jarang hanya bagian dari penipuan. “Aku sehat. Flu-ku baru kambuh kalau aku diem … haz-zim!” Sasmita sengaja menjeda ucapannya dikarenakan bersin yang berlangsung sampai tersambung. Segera ia menutup sebagian hidung berikut wajahnya menggunakan masker dan memilih menulis pesan kepada Giani melalui aplikasi WA, agar sahabatnya itu tidak terus-menerus mengkhawatirkannya. Sasmita keluar dari perusahaan dengan langkah tergesa, tapi ketika aroma parfum Rarendra tercium, wanita itu refleks memelankan langkahnya.  Dulu, hanya mencium aroma parfum Rarendra, Sasmita sudah langsung girang bukan main. Namun kini, semua yang menyangkut Rarendra langsung membuatnya merinding, takut. Sasmita terlalu takut menghadapi kenyataan mengenai hubungan mereka. “Ta …?” Suara Rarendra terdengar dari depan. Kenyataan tersebut membuat langkah Sasmita semakin memelan dan sampai berhenti. Namun tanpa memastikan ke sumber suara, Sasmita sengaja melanjutkan langkahnya. Karena seperti niatnya, Sasmita memilih mengalah, memilih menjadi orang asing untuk mereka yang telah membuatnya terluka. Tanpa diduga, Rarendra yang sepertinya sengaja menunggu, sengaja menyelaraskan langkahnya dengan Sasmita. Sasmita menjadi semakin tegang sekaligus gugup karenanya. Terakhir, ketika di depan pintu masuk utama, Rarendra mencekal salah satu pergelangan tangan Sasmita, memaksanya untuk ikut serta dengannya. Sasmita yang menjengit dan nyaris jantungan, refleks menoleh, menatap gandengan tangan Rarendra berikut Rarendra yang terus menuntunnya tanpa sedikit pun melirik Sasmita. Dan apa yang Rarendra lakukan membuat Sasmita semakin terluka. “Lepas, Mas!” tegas Sasmita. “Mas, tolong lepas!” pinta Sasmita lagi masih dengan suara lirih, lantaran Rarendra tetap mengabaikannya. “Mas ini maunya apa, sih? Bahkan sekadar bentak Mas saja, aku enggak tega, Mas. Tapi Mas? Aku capek. Serius, … aku bebasin Mas. Tapi tolong, ….” Rarendra memang menghentikan langkahnya, tapi ia tidak melepaskan gandengannya. Ia menatap Sasmita dengan tatapan tak mengerti. Sasmita menangis, selain suara Sasmita yang terdengar sengau. Sasmita menunduk, merasa berat dengan apa yang ia rasakan dan turut akan ia ungkapkan. “Aku enggak mungkin minta Mas mulangin aku ke orang tuaku, karena pada kenyataannya, mereka juga mendukung hubungan kalian ....” Sasmita menjeda ucapannya agak lama. Sekitar setengah menit, di mana selama itu, ia tetap menunduk. “Aku cuma ingin pisah baik-baik. Enggak lebih … beneran hanya itu.” Sasmita memberanikan diri untuk menatap Rarendra. Mata pria itu berkaca-kaca, menatapnya tak percaya. Sasmita sengaja memberikan senyumnya demi mengobati rasa bersalahnya telah membuat Rarendra berkaca-kaca.  “Mas bebas. Ini memang menyakitkan … untukku, ini sangat menyakitkan. Namun aku sadar, pasti memang aku yang salah. Aku yang salah, sampai-sampai, Mas lebih memilih yang lain bahkan kakakku sendiri.” Sasmita menghela napas dalam dan tak lagi menatap Rarendra. “Aku enggak mau jadi penghalang apalagi penyebab luka-luka kalian. Aku hanya ingin hidup tenang.” Perlahan, Sasmita menarik tangannya dari gandengan tangan Rarendra. Lega. Sasmita benar-benar lega setelah mengatakan semua itu. “Ta!” Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD