BAB 3

1337 Words
Bima menatap ke arah layar ponsel, karena seketika Indah mematikan sambungan telfonnya. Oke, sekarang ia tahu bahwa wanita itu marah terhadapnya, karena menolak pemintaan itu. Ia pikir Indah akan liburan ke Bali, tapi bocah malah ingin liburan ke Paris. Paris itu kota romantis, karena kota itu di penuhi dengan bangunan sejarah kuno. Kota itu merupakan salah satu tempat favorit bagi pasang pengantin baru. Ya, siapa yang tidak ingin ke Paris, menikmati makan malam dan sajian wine anggur yang menggiurkan terlebih di iringi musik klasik menambah kesan romansa di sana. Tapi wajah Indah mengingatkannya kepada Mita kekasihnya dulu, ia takut bahwa ia akan lepas kendali di sana. Oh Tuhan, ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan di sana. Semoga aja imannya kuat mengahadapi Indah. Ini sudah setahun ia melepas kepergian Mita dari sisinya. Tapi Rasa cinta itu begitu dalam sehingga ia tidak bisa membaginya dengan siapapun. Menyibukkan seperti ini, setidaknya ia bisa melupakan sejenak tentang kekasihnya. Ia merasa lemah jika mengingat Mita. Bersikap sok kuat itu hanya ekpetasi saja, bahkan setiap malam ia memandangi wajah sang pujaan hati. Wanita cantik itulah yang selalu menguatkannya. Ia akan membuktikan bahwa dirinya bisa mencapai apa yang ia inginkan. Bima memandang beberapa laporan keuangan yang ada di atas meja. Semua berkas itu sudah ia tanda tangani sejak pagi. Ia mendengar suara ketukan di balik pintu, "Masuk !," ucap Bima, berusaha tenang. Ia menatap Ojie yang berdiri di depan pintu. Ojie adalah salah satu manager restoran miliknya. "Sore pak," ucapnya melangkah mendekati Bima. "Sore juga Ojie," Ojie melangkah mendekati Bima, seperti biasa laki-laki itu tetap tenang, "Saya mau antar laporan bulan yang bapak pinta kemarin," ucap Ojie, lalu duduk kursi. "Iya," Bima menatap map biru di hadapannya, ia mulai memeriksa laporan itu satu persatu, mereka merincikannya secara jelas. Laporan seperti inilah yang ia inginkan. "Gimana kerjaan kamu selama ini? Apa ada kendala?," tanya Bima. "Baik sih pak, enggak ada kendala sama sekali, kenapa pak?," ucap Ojie. "Enggak ada apa-apa sih saya hanya ingin liburan saja beberapa hari," ucap Bima sekenanya. Entahlah ia merasa tidak enak menolak permintaan Indah, seketika wanita itu memenuhi pikirannya. "Ya liburan aja pak, kita di tinggal bapak juga enggak apa-apa kok. Kita bisa kerja tanpa bapak, setiap hari juga seperti ini,"  Ojie tahu bahwa pemilik perusahaan ini sudah bekerja keras. "Percaya sama kami pak, kita bisa bekerja dengan baik," "Ya, sudah seharusnya saya percaya sama kalian," "Oiya pak, katanya nanti mau buka kantor pusat di Jakarta ya pak," "Rencananya sih begitu, setelah di bukanya outlet Tangerang dan Bandung," ucap Bima. "Saya mau pak di mutasi ke Jakarta," Alis Bima terangkat, "Jadi kamu mau di mutasi ke sana?," "Mau pak, cari suasana baru," "Oke, di tunggu saja," ucap Bima tersenyum menatap Ojie. Ia tahu bahwa laki-laki itu bekerja dengan baik. "Permisi pak, saya keluar dulu," "Iya silahkan," ucap Bima. Bima memandang ke arah layar ponsel setelah kepergian Ojie. Bima menyandarkan punggungnya di kursi, ia menekan tombol hijau pada layar. Ia ingin berbicara kepada gadis muda itu. Ia akan memepetimbangkan liburan ke Paris bersama Indah. Lagian ia juga perlu liburan, untuk melepas penat. Suara sembungan terdengar, tapi sang pemilik ponsel sama sekali tidak mengangkat panggilannya. Ah, bocah kecil ini pasti marah kepadanya karena telah menolak ajakkanya tadi. Lebih ia menghubungi pak Roby, menanyakan kabar Indah, memohon pengertian kepada beliau. Bima meletakkan ponsel di telinga kiri, menunggu sambungan telfon itu terangkat. Semenit kemudian sambungan pun terangkat. "Selamat sore pak," ucap Bima. "Selamat sore juga Bima," "Maaf saya ganggu bapak," ucap Bima, ia begitu segan terhadap beliau. "Ah tidak apa-apa. Bagaimana kabar kamu?," "Baik pak, bapak bagaimana kabarnya?" Tanya Bima. "Baik juga," "Usaha kamu lancar?," tanya beliau. "Lancar pak," "Syukurlah kalau begitu, saya yakin kamu bisa sukses kedepannya," "Pak," "Iya, ada apa?," "Maaf sebelumnya, tadi saya sempat selisih paham sama Indah," "Owh ya, masalah apa?," ucap beliau, inilah ternyata alasan Bima menghubunginya. "Begini pak, tadi barusan Indah menghubungi saya, bahwa Indah mau liburan ke Paris," ucap Bima. "Tentu saja saya mengijinkan kamu pergi bersama," "Bukan itu masalahnya pak," ucap Bima. "Jadi apa?," Bima menarik nafas, ia berusaha tenang jika berbicara dengan baliau. Bagaimanapun beliau adalah orang yang ia segani, "Tadi saya sempat menolak permintaan Indah untuk ke Paris. Menurut saya terlalu jauh untuk pergi ke sana, terlebih saya sedang sibuk-sibuknya bekerja. Sekarang Indah nya lagi marah sama saya, dan tidak mengangkat panggilan saya," "Ya jelas dong dia marah, kamu kan sudah janji sama dia untuk liburan," "Lagian kamu jangan terlalu sibuklah, nikmati masa muda  kamu," "Iya sih pak, tapi bapak tau sendiri saya baru merintis, enggak bisa ditinggal begitu saja," "Nanti saya nyuruh asisten saya buat bantu kerjaan kamu," "Enggak usah pak, saya enggak mau ngerepotin bapak," ucap Bima. "Sama sekali enggak merepotkan Bima. Apapun akan saya lakukan demi kebahagiaan putri saya satu-satu nya," ucap Pak Roby. Bima yang mendengar itu hanya bisa menelan ludah, ia tahu beliau sangat menyayangi Indah lebih dari apapun. Terlebih hanya Indah lah harapan beliau, "Di sini saya ingin memberitahu bapak, kalau saya akan menemani liburan Indah ke Paris," "Saya ingin bapak memberitahu Indah, kalau saya bersedia liburan bersaman. Lagian dari tadi saya telfon Indah, tapi enggak di angkat, sepertinya dia masih marah terhadap saya," Pak Roby mendengar itu lalu menyungging senyum, "Owh begitu ceritanya," "Iya pak," "Kalau bapak ketemu Indah, bilang sama dia angkat telfon saya. Saya perlu bicara sama dia," "Iya, nanti saya akan kasih tau Indah," "Makasih ya pak," "Sama-sama," ucap pak Roby, lalu mematikan sambungan telfonnya. Bima merasa lega, karena telah memberitahu pak Roby. Ia hanya tidak ingin menjadi laki-laki yang tidak menepati janji. *** Beberapa jam kemudian, Bima mematikan komputer, ia sudah seharusnya pulang. Ia melirik jam melingkar di tangannya, menunjukkan pukul 16.30 menit. Suara ponselnya berbunyi, ia merogoh ponsel di saku celana. Sepertinya seharian ini ponselnya tidak berhenti berbunyi, "Gista Calling," Ternyata dari sahabatnya Gista, Bima menggeser tombol hijau pada layar. "Iya Gis,"  ucap Bima. "Lo ada di mana?," "Di kantor gue lah," ucap Bima. "Kantor lo yang di Ubud?," "Iyalah, emang di mana lagi, ada apa sih?," ucap Bima, lalu turun dari tangga. Ia memandang area restoran, ternyata pengunjung masih ramai. Suasana dapur pasti sibuk seperti biasa. "Lo sibuk enggak?," "Tadi sih sibuk, sekarang ya enggak lah,"  Bima, ia melangkah menuju area parkiran. "Lo tau kan Mimin temen gue yang dari Palembang itu," "Tau kok, yang pakek behel ijo itu kan,"  Bima, lalu masuk ke dalam mobil. "Sekarang dia lagi di Ubud," "Terus apa hubungannya sama gue," Bima, memasang earphone di telinganya. Ia menstater mobil lalu meninggalkan area restoran. "Gue minta bantu lo buat nemenin dia, dua hari di Ubud," "Loh kok gue,"  Bima tidak terima, jujur ia tidak terlalu suka dengan wanita memakai behel terlebih tubuh wanita itu begitu kurus. "Kasihan lah dia di sana sendirian, enggak ada temennya," "Lah siapa suruh liburan sendirian. Lagian gue enggak kenal sama dia," "Kan tahun lalu udah kenalan," "Cuma kenalan gitu doang, itu juga ada lo. Kalau enggak ada lo, gue juga ogah kenalan sama dia," ucap Bima, memandang lurus kedepan. "Ya ampun, lo kok jadi sok kegantengan gitu sih Bim. Belagu enggak mau kenalan sama cewek cantik sekelas Mimin," "Lo masih mau jodohin gue sama Mimin itu kan," timpal Bima. "Ya enggak, kemarin dia ngadain seminar International  Ikatan Notaris Indonesia di Harris Hotel. Dia mau pulang ke Jakarta nanggung, mau jalan-jalan dulu katanya," "Terus," "Dia tadi siang ke Ubud nginap di Padma. Tolong dong lo samperin dia, kasihan liburan enggak ada temennya. Lagian lo yang paling deket sama dia," Gista mencoba menjelaskan. "Ayolah Bim, kasihan tau dia sendirian di sana. Temenin dia makan babi guling kek apa gitu. Lagian behel Mimin udah di buka, dia udah cantik sekarang," "Gue enggak ada niat buat jodohin lo sama dia beneran deh. Ini hanya kebetulan doang," "Tapi Gis  gue enggak kenal," "Kalau enggak kenal, makanya kenalan," "Bim, ayolah enggak kasihan saka Mimin sendirian di sana," Bima mulai jengah atas ucapan Gista, "Oke, gue balik dulu ke rumah dan gue perlu mandi. Lo kirim aja nomor hp nya nanti gue telfon dia," "Gitu dong," Bima lalu mematikan sambungan telfon dan meneruskan perjalanan menuju rumah. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD