Trapped-1 : Bring Him Home

1325 Words
Aku mengemasi peralatan fotografiku, memasukkan ke dalam tas selempang yang selalu kubawa, lalu merapikan set yang tadi digunakan untuk pemotretan. Waktu yang tertera di jam besar antik di sisi kanan set menunjukkan pukul tujuh malam. Aku menghela napas, menunduk menatap perutku yang sudah mulai protes. Giandra dan yang lain sudah meninggalkan studio dua jam yang lalu. Aku tertahan lebih lama untuk transfer file ke laptop studio. “Sabar, oke? Bentar lagi aku pulang dan kita mampir Japfood.” Aku berkata pada bagian mudah lapar itu. Pikiranku melayang pada restoran Jepang di seberang studio foto ini, pada... bunyi notifikasi pesan di ponselku membawa anganku kembali ke studio, melupakan shabu-shabu, ramen, dan takoyaki di seberang sana. Satu pesan Aku belum boleh pulang :( Aku mendengus, mencebikkan bibirku. Jemariku hendak membalas pesan itu saat... Gedubrak! Aku sontak menoleh pada pintu studio. Menelan saliva, aku melangkah takut menuju pintu. Tanganku terulur meraih stand tripod di atas meja. Tinggal aku saja di studio yang besar dan membosankan ini. Jika suara seperti kursi yang ditendang barusan adalah maling, maka aku akan memukuli si maling dengan stand tripod yang beratnya hampir dua kilo ini. Seenggaknya dia akan pingsan. “Ready, fighter?” gumamku, perlahan mendorong pintu kaca doff studio ini. Aku sudah siap melayangkan stand tripod untuk si penendang kursi. Namun, urung kulakukan karena di teras studio bukan maling, melainkan Giandra. Aku menghela napas lega, lalu menurunkan stand tripod di tangan kananku, berjalan menghampiri lelaki di sudut serambi yang luas ini. Pada Giandra yang sedang bersandar dinding menatap tanaman hidroponik di halaman samping studio. “Hei,” sapaku pelan seraya menepuk bahu kanannya. Giandra tersentak, lalu menoleh kepadaku. “Astaga! Lo bikin gue kaget.” “Kamu juga bikin aku kaget.” omelku. “Hehe.” Giandra menyengir, menggaruk belakang telinga kirinya. “tanamannya seger banget. Sejuk gue lihatnya.” ocehnya. Aku menoleh pada sawi, bayam, tomat, dan cabai yang bersemayam pada pipa hidroponik yang terus dialiri air. “Iya seger. Kenapa kamu yang kelihatan layu?” tanyaku. Gian kembali menyengir, jadi aku kembali bertanya, “Kenapa kamu belum pulang?” “Mobil gue dibawa Rizky, remember?” jawabnya. Aku mengangguk lemah, Giandra melanjutkan, “sialnya, seluruh amunisi gue ada di mobil itu.” “Amunisi....?” “Tas, hp, dompet, bekal dari nyokap.” “Oh... jadi ceritanya kamu nggak bisa pulang?” Giandra mengangguk. “Rumah gue tiga puluh delapan kilometer jauhnya, Galvin. Gue nggak mungkin pulang jalan kaki. Bisa makin kurus gue.” Mendengar penjelasan lelaki di depanku, aku menatap Giandra dengan saksama. Memang, cowok muda yang ganteng ini memiliki postur tubuh yang kurus, tidak berotot seperti Ben. Namun lelaki 19 tahun ini juga tidak sekurus Rizky. “Mau aku pesenin taksi pakai hpku?” “Nggak usah. Lagian, gue bayarnya pakai apa? Dompet gue kan ada sama Rizky.” “Pakai uangku aja.” sahutku, sungguh merasa iba pada Giandra. “Nggak, makasih. Gue oke kok.” Giandra mengulas senyum tipis. “Terus, kamu nggak pulang?” “Itu dia, sekiranya lo mau ijinin gue nginep studio ini. Gue akan sangat berterima kasih, Galvin.” kata lelaki itu. Iris birunya menatapku penuh harap. “Di sini? Kamu yang benar aja. Bukannya aku nggak kasih ijin. Tapi studio ini besar, emang kamu nggak takut sama hantu?” kataku asal. “Sialan! Udah malem jumat, segala diingetin hantu” Giandra mengumpat pelan, namun aku mendengarnya, dan di dalam hati aku tertawa. “Gini, kamu tunggu sebentar, aku beresin perlengkapan, terus aku antar kamu pulang, gimana?” tawarku, menatap Giandra dengan raut khawatir. Dia pasti capek. “Itu tawaran yang menggiurkan, sebenarnya. Tapi, lo mau antar Giandra naik apa?” Aku mengabaikan ucapan Giandra. Memilih melesat masuk ke dalam studio, aku mengambil tas selempang besarku. Beberapa detik kemudian aku sudah kembali di depan Giandra. “Ayo!” ajakku. “Ayo ke mana?” “Aku antar kamu pulang, Gian.” “Emang lo tahu di mana rumah gue?” “Enggak. Tapi, aku tahu letak rumahku.” jawabku santai, menggandeng lengan Giandra. Lelaki itu pasrah saja ketika aku menggandengnya seperti anak kecil. “Wo-wo-wo, lo mau bawa gue pulang ke rumah lo?” Aku mengangguk, menarik Giandra menyebrang jalan raya, kemudian melenggang santai memasuki Japfood untuk mengambil pesananku. “Sebentar, gue masih bingung, Galv.” Giandra menarik lenganku, dan aku berhenti. “lo mau ajak gue pulang ke rumah lo?” “Iya. Kamu emang nggak capek?” Giandra reflek mengangguk. “Iya, gue capek. Dua jam nganggur di depan studio, bikin gue lapar dan ngantuk.” “Nah. Apartemen aku tiga blok dari sini, kamu masih kuat jalan, kan?” Giandra kembali mengangguk, melepaskan tangannya dari lenganku. “Oke.” Aku tersenyum melihat pemuda di sebelahku ini. Raut lelah, lapar, dan mengantuk memang begitu kentara di wajah tampannya. Kami berdua lantas berjalan beriringan menyusuri trotoar kota. Malam ini tidak seramai biasanya. Mungkin memang karena malam jumat seperti yang dibilang Giandra. Meski kota ini ramai, namun aku percaya hantu itu ada. Baiklah aku mulai tidak nyambung. Sepuluh menit kemudian, kami sudah sampai di lobi apartemen tempatku tinggal. Sepanjang perjalanan tadi, aku dan Gian lumayan banyak bertukar cerita. Atau lebih banyak dia yang bercerita, dan aku yang bertanya. Dia mengatakan tentang serunya mengambil jurusan sastra, tentang bagaimana bertemu dengan Rizky dan Ben, juga tentang kisah asmaranya yang terkuak secuil. “I used to fall in love with my history teacher. Pas SMP.” Itu benar-benar membuatku nggak habis pikir. Berapa sih, usia guru sejarah Giandra pas dia SMP? Astaga! Aku menggeleng lemah, mencoba mengabaikan ucapan Giandra. Memasuki lift, lelaki itu kembali bercerita. “Gue dulunya pemalu banget, sumpah. Lo tahu, teman SMP gue rasis banget karena gue ‘beda’. Gue sempet nggak masuk satu minggu karena takut dibilang vampir sama mereka.” ujarnya. “Seriusan?” pekikku tak percaya. Kukira hanya pada masaku sekolah saja pembulian itu ada. Ternyata pada masa Giandra juga masih eksis. “Iya. Terus guru sejarah gue itu yang bujuk gue masuk.” “Secantik apa sih, dia? Penasaran deh aku.” Aku melihat Giandra tersenyum, pipinya memerah. Astaga! Kontan aku tertawa. Telunjukku menusuk pipi kiri Giandra—yang mana aku baru sadar, bekas bibirku masih tertinggal di sana. Ya Tuhan! Pantas saja tadi kasir Japfood menatapku dengan aneh. Lekas aku membuka tasku, menarik satu tisu basah dan menghapus jejak bibirku di pipi kiri Giandra. Selanjutnya, Giandra terlihat panik. “Jadi ini daritadi masih ada?” tanyanya. “Iya. Emang tadi kamu ngga minta bersihin make up?” “Ya seenggaknya kan lo harusnya lihat.” “Aku baru tahu.” Dia menarik tisu dan menghapusnya sendiri. “Pantes aja tadi ada yang suit-suitin lo.” “A—Suitin aku?” Giandra mengangguk, mengembalikan tisu basah bekas lipstikku itu padaku. Pintu lift terbuka, aku berjalan lebih dulu keluar dari lift, diikuti oleh Giandra yang terpana melihat suasana koridor apartemen ini. Bangunan apartemen ini modern, dengan tanaman snake plant di sepanjang koridor. Aku berhenti pada pintu bernomor 2210. Kulihat lelaki di sampingku mengusap perutnya yang barusan berbunyi, pelan tapi aku mendengarnya. Aku dapat melihat Giandra menatapku yang tengah memasukkan kode apartemen dari ekor mata. “Itu tanggal ulang tahun lo?” tanya Giandra. Aku menoleh dan menyengir, “Iya, ulang tahunku.” Aku melihat senyum tipis terbit di wajahnya. Kubuka pintu apartemen tempat aku tinggal. Menggeser badan, aku mempersilakan Giandra masuk lebih dulu, lalu menutup pintu setelah lelaki itu masuk. Aku melangkahkan kakiku pada lemari kecil di samping pintu kamar, mengeluarkan handuk dan memberikannya pada Giandra. “Kamu mandi dulu, Gi. Biar aku siapin makan malam. Kamar mandi ada di sebelah sana,” suruhku, menunjuk pintu berwarna biru di seberang ruang tamu, tepat di depan Giandra. “biar nggak layu,” lanjutku, menggoda lelaki yang kini menatapku merengut. Namun toh Giandra menerima handuk putih itu dan berjalan menuju kamar mandi, sementara aku berjalan ke arah lain menuju dapur. Setengah jam kemudian, aku dan cowok yang terpaut usia 6 tahun itu sudah duduk di meja makan di dapur apartemen. Aku tadi memesan sashimi, marugame, shabu-shabu, ramen dan takoyaki dari Japfood, lalu memesan pizza saat menunggu Giandra mandi. Takut kalau cowok blasteran Inggris-Indonesia itu tidak menyukai makanan Jepang. “Kamu berapa lama tadi nunggu di depan?” tanyaku setelah marugameku habis. “Dua jam, maybe.” jawab Giandra sembari mengunyah pizza. Benar, lelaki ini tidak menyukai makanan Jepang. “Kenapa nggak masuk aja?” “Takut ganggu lo. Kan biasanya abis pemotretan, lo langsung editing. So... ya gue feeling wasted di teras, eh dikagetin kucing. Sialan banget.” Aku seketika tertawa. Tanganku terulur meraih gelas air putih, menenggaknya habis. “Lo tinggal di apartemen ini sendirian?” tanya Giandra. “Nggak. Sama...” Aku sedikit ragu menjelaskan. “Pacar lo?” terka Giandra. “Anggap aja gitu,” jawabku seraya mengulas senyum tipis. “Mau kubuatin kopi atau teh? Atau s**u?” tawarku. Lelaki ini juga sepertinya tidak terlalu menyukai air putih. “Nggak usah, ini kan masih,” Giandra menunjuk jus semangka di depannya—yang tadi dia buat sendiri. Aku sampai terkagum melihat bagaimana tadi Giandra begitu pandai meracik jus semangkanya. Hening memeluk kami setelahnya. Aku sibuk dengan sashimi yang menunggu untuk kusambut, sedangkan Giandra sibuk mengamati apartemen ini—sepertinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD