Trapped-1 : May Day

1451 Words
Gue mendengus melirik jam di pergelangan tangan gue. Menginjak pedal gas, gue memacu mobil gue semakin cepat membelah jalanan kota yang mulai ramai. Gue udah telat. Otak gue mulai mengingat pesan yang tadi dikirimkan salah satu orang yang menyuruh gue mengendarai mobil ke daerah pertokoan elit di kota. Jam setengah delapan, studio foto Galvina. Oke, tinggal satu blok lagi gue akan sampai di studio foto itu. Eh, gue udah sampai malahan. Gue memelankan laju mobil dan berangsur memarkir mobil gue di parkiran gedung tiga lantai dengan banner Galvina Studio di pintu masuk. Setelah mematikan mesin mobil, gue bergegas turun dan melesat memasuki bangunan bergaya Italian Classic itu. Gue mencoba menelepon Rizky—senior di kampus yang nyuruh gue buat ke sini—untuk tanya soal pemilik studio yang terlihat mewah ini. Tersambung. “Eh, bener ini kita adain photo shoot di sini? Ini mewah banget cuy.” kata gue setelah ‘halo’ dari Rizky terdengar. Gue masih menahan diri di serambi studio foto, takut salah. “Iya, bener Gi. Ben sama Belia yang ada kontrak kerjasama sama studio itu.” Suara ngantuk Rizky di seberang bikin gue pingin kirim santet aja. Ya, gue masih ngantuk juga. “O...key, nama yang punya studio siapa?” “Kalina kalau nggak salah. Lupa gue, telepon Ben aja sana.” Dih, bossy. Mentang-mentang dia yang paling tua di antara gue sama Ben. “Kan lo tau, Ben lagi jemput Belia di—” “Kenapa lo nggak masuk aja dan cari tau sendiri. Gue ngantuk, semalam suntuk gue list orderan.” “Lo kira gue jug—” Panggilan diputus secara sepihak oleh si kurus tinggi Rizky Bintara, dan gue langsung mengumpat. Membayangkan bagaimana rupa si pemilik studio—atau siapa saja yang akan ada di dalam bangunan bernuansa cream ini. Gue menghela napas, memasukkan ponsel ke dalam saku jaket gue. Hari ini gue—seorang mahasiswa beruntung yang menjadi model sebuah brand clothing line terkenal di ibukota—sedang mengadakan pemotretan untuk produk terbaru mereka. Oldies Club—nama brand clothing line milik dua temanku, Rizky dan Ben. Clothing line yang mengutamakan style jaman dulu itu, kini mulai diminati. Celana baggy, kemeja longgar, kaos kebesaran, dan segala jenis gaya pakaian jaman-jaman The Beatles-lah. Kebetulan gue sendiri memang menyukai gaya berpakaian jaman dulu. Entahlah, gue merasa lebih nyaman pakai celana straight daripada celana belel atau celana skinny jeans. Sesek banget cuyy, nggak tega sama adek gue. Gue menelaah pintu kaca berukuran besar di depan gue, lalu perlahan mendorong benda bening dengan motif bunga primrose itu. “Permisi.” ucap gue sembari menutup kembali pintu studio. “Masuk aja Gi!” Ajib, itu suara cewek yang nyahutin? “O...key,” kata gue lalu mengambil duduk di kursi wardrobe, menatap pantulan diri gue pada cermin dengan ukiran bunga rambat yang membingkainya. This is me, the handsome Giandra Sienaya. Satu-satunya pemilik ocean blue eyes dan rambut blonde di kampus. Gue mengulas senyum bangga, bersyukur karena bokap bule gue dengan baik hati menurunkan kedua mata biru dan rambut blondenya ke gue. Gue nggak kebayang kalau nyokap gue dulu nikah sama juragan bakso, yang ada gue bulet kayak baks— “Halo,” ucap gue, buru-buru bangkit dari duduk saat melihat cewek—yang mungkin tadi menyahuti ‘permisi gue—keluar dari toilet. “Hai. Sorry, bikin kamu nunggu lama, ya?” ucap dia, tersenyum ramah sama gue. Cantik, pikir gue. “Barusan kok...” “Aku Galvin,” ucap cewek itu, mengulurkan tangannya. “Giandra, dan kayaknya lo udah kenal.” Cewek itu tersenyum lagi. “You’re taller than I thought you’d be.” cewek itu menyambut uluran tangan gue. Kita berjabat tangan singkat, lalu dia berjalan menuju kotak make up di ujung ruangan, membawanya ke meja rias yang tadi gue dudukin. “You’re a girl than I thought—” “Kamu kira tadi aku cowok?” “Ya,” gue menyengir, “biasanya yang poto cowok sih,” bela gue. “Iya, harusnya cowok, tapi aku yang ambil alih studio gede yang membosankan ini untuk dua bulan ke depan. Sucks!” cewek itu mengedipan mata kanannya. Oke, gue anggap dia kelilipan. “Okey... gue harus manggil lo ‘mbak’ apa gimana, nih?” “Aku kelihatan setua itu?” cewek itu terkekeh, dia memiliki lesung di pipi kanannya. “Iya sih, aku memang udah seperempat abad. Tapi kalau kamu mau berbaik hati, tolong panggil aku Galvin aja.” “Galvin... Itu bukan nama asli lo, kan?” “Jelas aja bukan. Namaku Maemunah.” Dia tertawa lebar. Sumpah, gue suka denger suara tawanya. Nggak merdu kayak tawanya pacar Ben, tapi gue suka aja. Galvin mulai membuka kotak make up, mulai mengoleskan krim ke muka gue. Dia terlihat teliti dan hati-hati mengolesan krim ke muka gue, takut muka gue rapuh kali ya? Sementara Galvin mengoleskan apapun itu ke wajah gue, gue mengamati wajahnya. Dia cantik, dengan kulit kuning langsat dan bola mata cokelat gelap. Lesung di pipi kanannya memberi nilai lebih-lebih buat gue. Gue selalu suka ciptaan Tuhan yang berlesung pipi. Rizky salah satunya, dia cowok beruntung karena Tuhan juga ngasih lesung di kedua pipinya. Di antara gue, Ben, dan Rizky, Rizky adalah yang paling tua, tapi dia selalu terlihat paling muda, dan gue yang terlihat paling tua. Ah, ini mungkin pengaruh keseringan pakai make up. “Galvin, jangan tebel-tebel ya make up-nya.” “Gampang. Wajah udah ganteng gini sebenernya nggak perlu dipoles juga udah banyak yang kelepek-kelepek.” sahutnya tanpa menatap gue. Kok tumben gue ngerasa GR, ya? Balik ke Galvin, dia memiliki sepasang alis tebal yang melengkung simetris, bulu mata yang nggak terlalu lentik namun lebat, juga bibir tipis yang berwarna sedikit kecoklatan—mungkin warna lipstik dia. Rambut cewek ini panjang melewati bahu, berwarna cokelat gelap dan berwarna plum red di bagian poni. “Lo udah lama jadi make up artist?” tanya gue basa-basa. “Lumayan.” “Waw.” “Sejak tujuh jam yang lalu, sejak aku nggak bisa tidur.” “Wait, what?” Gue reflek menjauhkan wajah gue dari tangannya. “Kenapa? Tenang aja, aku udah benar-benar belajar kok,” ucapnya lirih, dan gue jadi sedih karena intonasinya kayak kecewa gitu. “Bukan gitu, maksud gue, ini bukan semacam prank gitu, kan?” “Kalina, istri yang punya studio ini yang biasanya make up. Dia dan suaminya nggak bisa urus studio ini dan minta aku yang gantiin. So... kalau kamu ragu, aku bisa minta m.u.a kenalan Kalina.” ucapnya, masih lirih dan terdengar kecewa. “Nggak usah. Gue cuma takut lo ternyata disuruh Rizky atau Ben buat ngerjain gue.” Dia hanya tersenyum, menatap gue lama, sebelum kembali mengoleskan krim ke wajah gue. Dia mengoles pelan bagian mata gue, lalu mendekatkan wajahnya ke wajah gue. “Mata kamu warnanya beneran ocean blue, ya?” ucapnya, masih mendekatkan wajah cantiknya ke wajah ganteng gue. Astaga, gue nggak pernah senarsis ini. Gue berdehem, berharap dia buru-buru mengalihkan tatapannya dari gue. Gue deg-degan, won’t lie. Tapi Galvin kayanya bodo amat. Dia malah makin mendekatkan irisnya ke gue. “Aku kira karena softlens, ternyata beneran biru.” lanjutnya. “Iya, kayak bokap gue.” bisik gue. Barulah dia menjauhkan wajahnya, dan gue mendesah lega. “Jadi gimana rasanya?” tanyanya sembari kembali mengoleskan krim. “Rasanya apa? Punya mata biru?” “Jadi pusat perhatian di usia...berapa usia—” “Sembilan belas tahun,” sahut gue. “rasanya campur-campur. Ada senengnya, ada keselnya.” “Dikerubutin banyak cewek masa kesel?” “Dikerubutin banyak cewek asing yang suka gue cuma karena gue ganteng, itu beda lagi. Mereka nggak tahu gimana sebenarnya gue.” “Well, gimana sebenarnya kamu?” Dia menutup tube krim yang tadi dia oleskan ke gue, lalu bersidekap. “Ah, harusnya aku telpon mua beneran deh.” keluhnya, ia bergerak meraih ponselnya, dan gue menahannya. “Mau ngapain?” “Mau telpon mua beneran buat make up kamu. Aku cuma pandai make up di photoshop, nggak bisa yang beneran.” “Nggak usah,” tahan gue. Gue menatap diri gue di cermin. Wajah gue masih ganteng, dan itu masih aman. “Langsung pemotretan aja, gimana? Gue jam satu ada kelas. Mana baju yang harus gue pakai, biar gue langsung—?” “Di sana.” selanya, sembari menunjuk beberapa pakaian yang tergantung di hanger di sisi kanan studio ini. ** Gue udah berganti dengan kemeja hitam polos dan straight jeans warna ice blue, lalu kembali ke area pemotretan. Ini udah kelima kalinya gue ganti baju. Galvin sedang menata properti yang akan menemani gue di dalam kamera. Sebuah kursi kayu di tengah stage, meja kecil dengan setangkai bunga mawar merah di vas, dan beberapa buku tebal. Setelah tadi background pengambilan gambar berwarna putih, kali ini Galvin memilih warna biru pastel sebagai latarnya. “Lo sendirian aja? Emang nggak ada tim yang bantu?” tanya gue karena baru sadar jika daritadi di studio ini cuma ada gue dan dia. Galvin menoleh ke gue sebentar, lalu kembali menyusun buku tebal itu layaknya display buku best seller di toko buku. “Ini hari buruh Internasional, Gian. Semua libur.” jawabnya. Iya, gue baru inget. Itulah kenapa semalam gue begadang main fortnite dan tadi gue telat bangun. Karena hari ini kuliah gue libur. Eh, masuk deng, tapi nanti siang, ketemu dosen bentar bahas tugas. Ah, kasihan banget cewek ini, dijadikan tumbal. “Mau gue bantu?” tawar gue. Jujur itu buliran keringat di dahinya bikin dia kelihatan... bikin gue agak ‘naik’ nih. Rambut panjangnya udah dia cepol dan poni plum rednya dia jepit ke samping. “It’s okay. Aku bisa sendiri. Ntar kamu malah basah karena bantuin aku.” Okey, yang barusan itu ambigu. “Maksud aku keringatan.” ralat Galvin melihat ekspresi gue yang merasa canggung. “Serius, gue nggak apa kok bantu. Kalau basah kan bisa mandi.” Galvin menghela napas, menyeka keringatnya di dahi. Yaah... ilang deh seksinya. “Ini udah jam sepuluh, dan kamu masih harus ganti tujuh baju lagi, Gian. Inget jam satu nanti kamu ada kelas, kan? Jadi ayo kita selesaikan ini sebelum makan siang.” tukasnya.   ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD