Satu

1202 Words
Nafisa khazanah Amran, gadis berusia 22 tahun yang baru menyelesaikan pendidikan S1nya di negeri Jiran. Gadis cantik yang terlihat sangat anggun dengan pakaian syar'inya. Gadis dengan sifat lemah lembut dan selalu tersenyum ramah pada setiap orang yang ditemuinya. Namun, siapa sangka gadis tersebut sebenarnya memendam sebuah luka. Luka yang entah harus ia syukuri atau bagaimana, karena berkat luka itulah ia menjadi seperti saat ini. Luka itulah yang membuatnya berhijrah dan berusaha menjadi lebih baik, dan luka itu pulalah yang membuatnya memilih melanjutkan pendidikannya di negara orang daripada negaranya sendiri. Hari ini adalah hari kepulangannya ke Indonesia, sungguh ia sangat rindu dengan suasana negaranya itu, tapi ia juga masih merasa sedikit takut jika kepulangannya ini akan membuka luka lama. Hiruk pikuk manusia terlihat memadati tempat itu, entah yang melakukan keberangkatan, yang selesai melakukan perjalanan ataupun hanya sekedar mengantarkan atau menjemput keluarga. Salah satu dari sekian banyak manusia yang memadati bandara, ialah gadis cantik dengan ciri khas pakain syar'i melekat ditubuhnya. Ya, saat ini Nafisa sudah sampai di tanah kelahirannya dan gadis itu kini tengah celingak-celinguk mencari keluarganya yang saat ini menjemput si gadis penyuka purple itu. " Nafisaa!" tiba-tiba ia mendengar sebuah teriakan dari arah kirinya, Nafisa menghadap ke sumber suara, hingga matanya menangkap sosok orang-orang yang selama ini selalu ia rindukan. Arsila, sepupu sekaligus sahabatnya saat di sini dulu. Ia sedang berjalan beriringan dengan kedua orang tua Nafisa, Ali kakak Arsila dan juga kedua orang tua Arsila. "kamu kok betah banget di negeri orang? lama banget baru pulang! Udah nggak ingat yah sama sepupu kamu yang imut nan cantik ini?" kesal Arsila, jangan lupa ucapannya yang sangat percaya diri itu. Ia kemudian memeluk sahabat sekaligus sepupu tersayangnya itu. Sungguh ia sangat merindukan Nafisa karena memang sejak kecil mereka selalu bermain bersama, namun dengan teganya Nafisa meninggalkannya. Lima tahun lebih lagi, bagaimana ia tidak kesal? Nafisa hanya terkekeh sembari membalas pelukan Arsila. Ternyata kembali ke sini tidak semenakutkan yang ia bayangkan. " ketawa aja terus, aku itu lagi kesal tau " rajuk Arsila lagi membuat keluarga Nafisa yang ikut menjemputnya geleng-geleng kepala melihat kemanjaan Arsila pada Nafisa. "udah ya sayang, kasian tuh Fisanya pasti capek habis perjalanan jauh, lebih baik kita cepat-cepat pulang biar Fisanya langsung bisa istirahat!" sahut Liana--mama Nafisa, yang disetujui oleh semuanya. Selama di mobil menuju jalan pulang, Arsila tak mau melepas pelukannya pada Nafisa. Ya, gadis itu meminta untuk duduk di dekat Nafisa, katanya ia ingin melepas rindu. Dan tentu saja yang lain hanya mengiyakan, karena mereka tahu bagaimana kedekatan mereka sejak dulu. Perginya Nafisa lima tahun yang lalu memang sedikit banyak berdampak pada sepupunya itu. Hampir dua bulan lamanya Arsila yang cerewet dan ceria seketika.berubah menjadi pendiam. Ketika ditanya ia hanya akan menjawab kalau dia merindukan Nafisa. Bahkan ia sering berdiam diri di kamarnya dan menangis. Ia benar-benar merasa kehilangan Kakak sekaligus sahabat baginya. Meski mereka masih di dunia yang sama, tetap saja jarak mereka berjauhan. Apalagi Nafisa tidak pernah memberi kabar. Ia hanya akan tahu keadaan Nafisa melalui cerita orang tua sepupunya itu. "Manja banget sih Sil," ejek Ali sambil melirik Arsila. Arsila memutar bola matanya tak peduli "Biarin!" "Seharusnya Nafisa yang saat ini bermanja-manja dengan orang tuanya. Nah kamu malah monopoli dia." Arsila mendengus "Kan nanti Fisa bisa manja-manja saat di rumah sana!" "Tapi kan...." "Abang diam deh! Ganggu kesenangan Sila aja," potong Arsila sebal. "Udah Bang, lagian benar kata Sila. Aku bisa manja-manja sama Ayah dan bunda di rumah nanti," lerai Nafisa. ??? Sudah sebulan Nafisa berada di Indonesia. Alhamdulillah hal yang ditakutkannya dulu tidak terjadi. mungkin ia sudah benar-benar mengikhlaskan hatinya. Saat ini ia sedang mempersiapkan segala kebutuhannya besok untuk bekerja. Ya, ia akan bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang Advertising. GF Advertising, perusahaan yang cukup terkenal di kalangan pebisnis. Alhamdulillah ia diterima sebagai sekretaris Direktur Utama di perusahaan itu. Ya, posisi yang banyak diincar para pekerja, entah bagaimana ia langsung diterima saat pertama menyerahkan surat lamaran kerjanya, bahkan tanpa diuji atau wawancara kerja. Aneh? Mungkin. Nafisa juga merasa aneh, namun tak urung ia bersyukur mungkin ini anugrah dari Allah mempermudah jalannya dalam mencari pekerjaan, karena siapapun tahu bahwa mencari pekerjaan saat ini tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Keluarga Nafisa memang merupakan keluarga yang bisa di bilang mampu. Ayahnya memiliki usaha di bagian otomotif yang alhamdulillah bengkelnya sudah mempunyai beberapa cabang di kotanya itu. Sedangkan ibunya seorang designer yang karyanya sudah sangat terkenal di masyarakat, bukan hanya karena keindahan karyanya, tetapi juga karena harganya terjangkau sehingga mampu dibeli oleh semua lapisan. Tetapi Nafisa bersih keras ingin bekerja, alasannya biar dia belajar mandiri. Nafisa tidak ingin meminta uang pada orangtuanya padahal ia mampu untuk bekerja dan menghasilkan uang sendiri. Menurutnya, sia-sia pendidikan yang ia jalani selama kurang lebih enam belas tahun ini jika ia hanya tahu meminta dari orang tuanya. Kalau seperti itu, untuk apa ia disekolahkan tinggi-tinggi? Liana dan Amran tentu sangat bersyukur akan pemikiran sang anak, setidaknya Nafisa tumbuh bukan hanya menjadi anak manja yang tahu menghabiskan harta orang tuanya saja. Nafisa juga memiliki seorang kakak perempuan bernama Aisyah. Aisyah sudah menikah dan saat ini ia menetap bersama suaminya di negeri Jiran, karena memang perusahaan suaminya berpusat di sana. Itu juga sebabnya Nafisa memilih negara itu yang menjadi tempat ia kuliah dulu. Nafisa membaringkan tubuhnya di tempat tidur, setelah selesai menyiapkan semua keperluannya besok. Pikirannya melayang memikirkan hari esok, hari dimana dia akan merasakan menjadi sekretaris dari seorang CEO, apakah nanti bosnya itu akan ramah kepadanya ? Atau malah bersikap dingin seperti di n****+-n****+ bacaannya? Nafisa menggelengkan kepala menyadari bahwa pikirannya terlalu jauh, biarlah nanti dia akan merasakan sendiri besok tanpa perlu membayangkan lagi. Akhirnya mata cantik itu pun tertutup bersiap mengarungi mimpi indah. Nafisa menuruni anak tangga usia melaksanakan shalat subuh. Gadis itu mendapati sang Ibu tengah memasak sarapan untuk keluarganya. Nafisa tersenyum, ia mendekat dan menyandarkan kepalanya ke bahu sang Ibu. Liana yang tengah memasak sedikit terkejut, namun kemudian senyumnya mengembang. Rasanya sudah sangat lama terakhir Nafisa bermanja-manja seperti ini padanya. Ia berbalik dan mengelus kepala sang putri. "Kenapa udah turun?" Tanyanya. Nafisa memeluk sang Ibu "Mau bantuin Bunda masak. Maaf yah, sudah sebulan di sini Fisa nggak pernah bantuin Bunda nyiapin masakan," ujarnya dengan raut bersalah. Liana tersenyum maklum. "Nggak apa-apa kok. Lagipula, hitung-hitung itu masa istirahat kamu setelah hampir setiap hari bangun pagi dan menguras otak kamu untuk belajar. Jadi Bunda ngasih kamu kebebasan selama sebulan ini untuk bersantai, asal kamu nggak lupa sama kewajiban kita sebagai muslim aja sih." Nafisa mengangguk, gadis itu merasa bersyukur mendapatkan orang tua yang begitu memahami dirinya. Mereka bahkan rela mengikuti keinginannya meski Nafisa tahu itu sangat berat bagi keduanya. Nafisa bertekad dalam hati, ia akan membuat kedua orang tuanya bangga dan tak akan pernah membuat mereka kecewa padanya. "Fisa sayang Bunda," ujarnya pelan. "Ehm." Deheman itu mengalihkan perhatian Ibu dan Anak tersebut. Mereka melihat Amran sudah berdiri di dekat keduanya dengan raut wajah dibuat sesedih mungkin. "Jadi cuma Bunda aja yang disayang? Ayah enggak?" Liana dan Nafisa terkekeh "Enggak dong. Ayah juga. Fisa sayang Ayah," ujarnya lalu beralih memeluk Amran. Amran tersenyum dan mengelus lembut kepala sang putri. "Akhirnya Fisa Ayah sama Bunda kembali. Kami merindukan kamu yang manja seperti ini, Nak!" Ucapan Amran membuat Nafisa tertegun, ia tersadar kalau selama ini dirinya sudah membuat jarak dengan orang-orang terdekatnya sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD