4. Night club

2164 Words
Nadira semakin mempercepat langkahnya ketika gadis itu berjalan di lorong rumah sakit. Dia mencemaskan pasiennya yang pasti telah menunggu saat ini. Dan sesuai prediksinya, gadis itu langsung melihat banyaknya pasien yang sedang duduk di ruang tunggu begitu dia sampai di ruangannya. "Sus, suster Risa," panggil Nadira pada asistennya begitu gadis itu melewati meja kerja Risa. "Dokter Nadira, saya pikir dokter tidak berangkat. Saya hampir saja menghubungi Dokter Juna untuk menggantikan Anda," celoteh suster Risa. "Maaf, Sus. Tadi ada sedikit masalah," kilah Nadira. "Ya ampun, dokter kecelakaan atau kenapa?" pekik Risa, gadis itu langsung berdiri dan memperhatikan Nadira dengan seksama. "Bukan itu, Sus. Hanya masalah kecil." "Tapi kenapa wajah dokter sembab begitu, mata dokter juga bengkak, seperti orang yang habis mena ...," "Ssstt ...." Nadira menaruh jari telunjuknya tepat di depan bibirnya. "Maaf," cicit Risa, gadis itu merasa tak enak hati karena takut dikira mencampuri urusan pribadi Nadira. "Kita bicara nanti saja, langsung mulai saja ya!" perintah gadis itu. "Mau langsung di mulai, Dok? Memang tidak capek apa baru sampai langsung menangani pasien?" "Aku saja sudah terlambat lima belas menit, tidak enak membuat mereka menunggu lebih lama lagi. Langsung saja, ya!" "Baik, Dok." Risa mengangguk. Suster itu kembali duduk begitu melihat Nadira telah masuk ke dalam ruangannya. Bersiap dengan lembaran kertas yang menumpuk di meja kerjanya kemudian setelah memastikan Nadira telah siap sepenuhnya, Risa pun mulai memanggil nama pasien. Nadira menaruh kembali gelas berisi air putih yang tadi dia gunakan untuk membasahi tenggorokannya, ke tempat semula. Pasien terakhir sudah keluar sejak lima menit yang lalu. Gadis itu kembali merenung, dia kembali teringat akan kejadian di kantor Alby tadi. Nadira menghela nafas panjang manakala mengingat pengkhianatan dari pria jahat itu lagi. "Semuanya sudah saya rapikan, Dok. Apa sekarang kami berdua sudah boleh pergi?" Ucapan dari salah satu suster yang tadi sempat membantunya, membuyarkan lamunan dokter muda itu. "Iya, Sus. Kalian boleh pulang. Terimakasih untuk hari ini," ucap Nadira tulus diiringi senyum yang terbingkai manis di wajahnya. Akhirnya setelah sekian jam berkutat dengan banyaknya pasien yang datang, selesai juga jam prakteknya hari ini. Ada begitu banyak pasien yang datang dengan berbagai macam keluhan, ada juga diantara mereka yang hanya ingin berkonsultasi dengannya. Melelahkan memang namun Nadira merasa bahagia. Menjadi dokter memang sudah menjadi impiannya sejak kecil. Dia harus belajar dengan giat, tidak hanya itu, banyak cobaan yang harus dijalaninya selama ini, perjuangannya untuk menjadi dokter bedah saraf tidaklah mudah. Dengan tak bersemangat Nadira mulai membereskan meja kerjanya, memasukkan beberapa barang pribadinya ke dalam tas dan bersiap untuk pulang. Sial! Kenapa di saat sedang tidak bekerja seperti ini, dirinya harus kembali diingatkan tentang kejadian tadi? Nadira terus merutuki dirinya. Padahal tadi selama jam prakteknya gadis itu masih bisa fokus dengan pekerjaannya memeriksa pasien, tapi kenapa di saat sepi bagini dia harus memikirkan lelaki k*****t itu lagi? Nadira kembali meradang jika melihat adegan ranjang antara tunangan dan sekretarisnya itu. Berulangkali gadis itu menggelengkan kepalanya, bibirnya bahkan tak lepas dia kutuk karena sedari tadi dia terus saja membatin, menyebut pria b******k itu sebagai tunangannya. Tidak seharusnya dia melakukan itu. Nadira harus berjuang keras. Mulai detik ini, dia harus terbiasa untuk tidak menyebut Alby sebagai tunangannya. Semua kisah cintanya dengan Alby sudah berakhir. Sudah tidak ada lagi yang bisa dia lakukan mengingat kenyataan pada malam dimana Alby sendiri yang memutuskan untuk membatalkan rencana pernikahannya. Ragu, Nadira kembali menghempaskan tubuhnya pada kursi kemudian menyandarkan kepalanya dengan mata terpejam. Bagaimana dia bisa pulang? Apa yang akan dia katakan pada orang tuanya jika mereka kembali bertanya mengenai perihal persiapan pernikahannya dengan Alby? Hanya dengan sekali mengedipkan mata, cairan bening yang sejak tadi menggenang di pelupuk mata Nadira pun mulai berjatuhan. Bayangan akan rasa malu yang didapat orang tuanya ketika mengetahui batalnya pernikahan ini tentu menjadi momok tersendiri bagi Nadira. Dirinya harus bersiap jika dia dan juga keluarganya akan digunjing banyak orang, hal itu pasti terjadi begitu berita gagalnya pernikahan ini diketahui khalayak ramai. Terlebih lagi jika mereka mengetahui bahwasanya pihak lelaki yang membatalkan pernikahan, akan seperti apa tanggapan masyarakat nantinya. Nadira menelungkupkan wajahnya diantara tangan yang terlipat di atas meja. Ia mulai menangis sesenggukan. Dia merasa sangat sedih namun tidak tahu harus membaginya dengan siapa. Sejak kecil Nadira selalu bersikap ceria dan berusaha untuk menutupi setiap kesedihan ataupun jika dirinya tengah dalam masalah. Sebisa mungkin dia berusaha untuk menyimpannya sendirian. Dia tidak ingin melibatkan orang lain dalam masalah pribadinya. Baginya, menangis di depan orang lain akan melukai harga dirinya, itu sebabnya dia merasa begitu beruntung karena pertolongan dari pria di lift tadi yang secara tidak langsung juga telah membantu menyelamatkan harga dirinya. Nadira mengusap sisa-sisa air mata yang membasahi wajah cantiknya. Dia merogoh ponselnya ketika merasakan getaran pada saku celananya. Gadis itu membuang nafas kasar manakala melihat nama yang berkedip pada layar ponselnya. Dia menghirup oksigen sebanyak mungkin, berharap ketika udara yang memasuki paru-parunya bisa melegakan rongga dadanya yang terasa sesak. Nadira berusaha menyeimbangkan suaranya. Bukannya apa-apa, dia hanya tidak ingin si penelepon tahu jika dirinya habis menangis. Dia sampai perlu melakukan cek suara sekedar mengetahui suaranya masih bergetar ataukah tidak. "Hallo, Mah." "Jam praktekmu sudah selesai kan, Sayang?" sahut Mutia di seberang sana. "Baru saja. Ada apa?" "Kamu mau langsung pulang kan, Nak? Papah menyuruh Mamah untuk menghubungimu. Papah bilang akan menunggumu pulang untuk makan malam bersama." Nadira kembali menyandarkan kepalanya pada bahu kursi. Mendadak dia merasakan kepalanya berdenyut. Dia memejamkan matanya sambil berpikir sejenak, ingin rasanya dia menghindari keluarganya untuk saat ini. Dia takut kalau orang tuanya akan kembali membahas mengenai pernikahannya. Dia belum siap untuk itu. Dia butuh waktu untuk mengumpulkan keberaniannya dan menceritakan apa yang telah terjadi pada Ayah dan juga Ibunya. "Sayang, Nak. Kamu dengar Mamah ngomong kan?" tanya Mutia karena sedari tadi dia tidak mendengar jawaban apapun. Nadira terkesiap. "Ya, Mah." "Jadi mau langsung pulang atau bagaimana?" Mutia mengulang pertanyaannya. "Maaf, Mah. Aku lupa tidak meminta izin sama Mamah sebelumnya. Sepertinya malam ini aku mau menginap di apartemen Moza." "Tumben, memangnya ada apa?" "Nggak ada apa-apa, Mah. Mengantisipasi kalau ada panggilan operasi darurat," kilah Nadira. "Ya sudah." "Mamah sama Papah makan sekarang saja, salam buat Papah, ya." "Nanti Mamah sampaikan. Kamu jaga diri baik-baik ya, Sayang." "Mamah bicara seolah Nadira mau berangkat ke medan perang saja." Gadis itu mencebik. "Tetap saja, kamu adalah satu-satunya anak kami. Putri kesayangan kami." "Iya, Mah. Nadira bisa menjaga diri dengan baik," cicit gadis itu pelan. "Ya sudah, Mamah tutup dulu teleponnya ya." "Love you, Mah. Bye." "Bye. Jangan lupa makan ya sayang." Klik. Nadira kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas tangan berwarna hitam yang sejak tadi berada dalam pangkuannya. Gadis itu mulai mengayunkan kakinya menyusuri lorong panjang yang berkelok dalam gedung tempatnya mencari nafkah. Lorong panjang itu kini telah terang dengan lampu yang menyala. Gadis itu kembali melirik jam tangannya, berulangkali ia menggelengkan kepalanya, menyesal karena telah menyia-nyiakan waktunya yang sangat berharga dengan terus meratapi nasibnya bak orang bodoh. Hingga tak terasa dia berada dalam ruangannya sampai satu jam lebih padahal jam prakteknya telah berakhir. Nadira mengisi keheningan dalam mobilnya dengan menyalakan musik. Suara merdu dengan hentakan musik yang keras dari negeri ginseng yang juga banyak digandrungi gadis seusianya. Gadis itu tersenyum kecut jika mengingat kembali kisah cintanya. Kenapa juga Nadira harus merasakan hal sepahit ini. Hal yang pernah dirasakan oleh Moza yang juga ditinggal menikah oleh kekasihnya. Moza masih mending karena dia belum terikat hubungan pertunangan seperti dirinya sementara Nadira, nasibnya bahkan lebih tragis dari temannya. Berbagai ucapan yang dia lontarkan sekedar untuk menghibur temannya, kini seolah berbalik padanya. Sial. Lagi-lagi Nadira merutuki kebodohannya. Gadis itu mencengkeram erat kemudi mobil sambil sesekali memukulnya. Melampiaskan kekesalannya seolah kemudi itu adalah Alby yang hendak dia buat babak belur. Nadira tidak langsung turun dari mobilnya begitu gadis itu memarkirkan kendaraan roda empatnya itu pada basement gedung apartemen Moza. Untuk beberapa saat lamanya dia masih setia duduk di jok mobilnya tanpa melakukan apapun. Setelah merasa puas merenung, Nadira meraih tasnya kemudian membuka pintu mobil. Langkahnya begitu anggun ketika dia mengayunkan kaki jenjangnya menuju lift. Moza yang kala itu sedang menonton televisi sambil menikmati cemilannya seketika berlari terbirit begitu mendengar bel pintu apartemennya berbunyi. 'Siapa orang kurang ajar yang berani bertamu pada jam seperti ini?' Gadis itu berlari ke arah pintu sambil terus mengutuk orang yang dia sendiri tidak tahu siapa sebenarnya. "Astaga!" Moza berseru sambil memundurkan tubuhnya, gadis itu begitu terkejut melihat kedatangan temannya. "Jadi apa kau akan terus membiarkan aku berdiri di depan pintu tanpa menyuruhku masuk?" ucap Nadira dingin. Gadis itu melipat kedua tangannya di depan d**a. "Mana mungkin aku setega itu. Masuklah!" Moza memberikan jalan untuk temannya masuk ke dalam apartemen yang baru setahun ini di sewa olehnya. "Tumben datang malam-malam," cicit Moza setelah mengunci pintu. "Kenapa? Nggak boleh?" tanya Nadira sarkastik. "Ish. Sejak kapan kamu jadi sensitif begini? Mau aku buatkan minum apa?" "Coklat panas," gumam Nadira. "Ada?" sambungnya lagi. "Sip!" Moza mengacungkan jempolnya, gadis itu berjalan menuju dapur sambil menguncir tinggi rambutnya. Dua buah coklat panas dengan uap yang mengepul telah tersaji di atas meja. "Ada apa?" tanya Nadira begitu menyadari cara Moza menatapnya. "Apa kamu nggak mau cerita sama aku?" Nadira kembali meletakkan cangkir yang tadi sempat dia raih, namun matanya masih tak lepas menatap netra hitam temannya. Keduanya saling beradu pandang. Seolah Moza mengetahui apa yang tengah dirasakan oleh Nadira, gadis itu meraih jemari tangannya. Sorot matanya seolah mengatakan agar dia jangan bersedih, padahal Nadira belum menceritakan apa-apa. Moza benar-benar hebat. Apa-apaan ini, Nadira dilanda dilema. Dia tidak tahu harus bersyukur atau malah bersedih menyikapi temannya yang memiliki kadar kepekaan tingkat eksekutif itu. Satu sisi dia merasa beruntung memiliki teman yang peka dan pengertian namun di sisi lain, dia merasa tidak bisa berkutik. Jelas dia tidak bisa menyembunyikan apapun dari Moza. Merasa ini aib, apa perlu dia menceritakan kejadian ini pada temannya? "Ra ...." panggil Moza lembut disusul dengan usapan penuh kasih sayang pada bahu kanan Nadira. Keduanya kembali saling tatap. Sedetik kemudian Moza merasakan tubuhnya memanas Ketika Nadira menyambar tubuhnya dengan cepat. Perasaannya berkecamuk melihat tubuh temannya bergetar hebat disusul dengan tangis yang menyayat hati. Moza begitu trenyuh, belasan tahun keduanya menjalin hubungan persahabatan baru kali ini dia mendapati Nadira serapuh ini. Selama ini, seberapa berat masalah yang menimpa pada Nadira tidak pernah bisa membuatnya menangis sampai sebegitu memilukannya. Nadira tipikal orang yang jarang menangis, bahkan hampir tidak menangis. Gadis itu sangat tertutup, meskipun terkadang manja namun dia penyayang dan begitu kuat. Moza masih bertahan dalam posisinya, dia membiarkan bahunya basah oleh tetesan kristal bening yang terus mengalir dari pelupuk mata temannya. Dia akan terus mengunci mulutnya setidaknya sampai Nadira sedikit tenang, lalu mulai melakukan sesi introgasi. Seolah sudah menduga kejadian ini akan terjadi, Moza yang mengetahui latar belakang hubungan Nadira dengan Alby, tak begitu heran. Dia hanya perlu sedikit bertanya saja untuk menyakinkan praduganya. "Minum dulu," titah Moza begitu melihat tarikan nafas temannya mulai teratur, menandakan kalau kondisi Nadira mulai membaik. Nadira meraih cangkir yang disodorkan Moza tanpa berkata-kata. Seperti biasa, Moza masih mengunci rapat mulutnya. Dia tak berani menyinggung perihal apa yang membuat temannya itu menangis. Dia sudah sangat mengenal watak Nadira, gadis itu tidak akan mengatakan apapun sekalipun di desak kecuali atas dasar keinginannya sendiri. "Apa kamu sudah mengantuk?" lirih Nadira begitu tangisnya reda. Moza membulatkan matanya begitu mendengar pertanyaan konyol temannya. "Jawab saja!" desak Nadira yang telah mengetahui gelagat Moza yang tengah kebingungan. "Belum, kamu kan tahu sendiri kalau orang-orang istimewa seperti kita ini terbiasa kurang tidur. Jika aku dan kamu sama-sama tukang tidur, yang jelas tidak ada satupun diantara kita yang menjadi dokter seperti sekarang. Sejak dulu tubuh kita ini di setel untuk tidur hanya tiga jam dalam sehari dan itu sudah mengakar dalam diri kita dan berakhir menjadi sebuah kebiasaan," celoteh Moza panjang lebar. "Memangnya mau apa tanya begitu?" imbuhnya. Sesaat Nadira merasa ada keraguan yang menyusup dalam hatinya. "Ada apa sebenarnya?" tak sabar, Moza pun bertanya. "Bagaimana kalau kita pergi ke klub malam ini," ajak Nadira. "Apa!" pekik Moza. "Astaga, apa kamu mau membuat telingaku tuli?" sentak Nadira seraya mengusap daun telinganya. "Kamu melantur ya? Memang sejak kapan kita pergi ke tempat seperti itu?" Moza yang geram bukan main itu pun mendaratkan capitan tangannya pada lengan Nadira. "Sakit," Nadira mendesis kesakitan, tangan yang sejak tadi dia gunakan untuk mengusap daun telinganya kini beralih mengusap lengannya yang terasa panas. "Memang mau apa kita ke klub?" tanya Moza, gadis itu menaikkan volume suaranya. "Bersenang-senang lah, masa iya mau tidur di sana," sahut Nadira kesal. "What?" "Jangan berlebihan begitu. Kamu juga dulu sampai mabuk waktu tahu Ibra menikahi perempuan lain dan bukannya menikahi dirimu yang telah bertahun-tahun menjadi kekasihnya," oceh Nadira. "Apa ... jadi, kamu dan Alby ...." Sumpah demi apapun Moza tetap tak bisa mempercayai pendengarannya saat ini. Dia masih harus bekerja keras untuk bisa mencerna ucapan temannya itu. Satu kata yang terlontar dari bibir tipis Nadira kembali mengingatkan dirinya akan kejadian beberapa bulan yang lalu ketika dirinya menghabiskan makan malam bersama Nadira dan juga Bobby. Makan malam yang berakhir dengan ambruknya raga bersamaan dengan hilangnya kesadarannya akibat terlalu banyak menenggak minuman beralkohol. Frustasi karena ditinggal menikah sang kekasih. Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD