Sani Anjar Dewi masih setia menunggu kedatangan kekasihnya. Meski malam kian larut dan angin bertiup semakin kencang, ia tetap duduk di kursi taman itu, membiarkan dingin menusuk kulitnya.
Sesekali, pandangan Sani tertuju pada jam di pergelangan tangannya, berharap waktu segera menghadirkan sosok yang dinantikannya.
Setelah dua jam menunggu, akhirnya orang yang dinantikan Sani tiba juga.
Rasa lelah dan gundah yang sejak tadi menggerogoti perasaannya langsung sirna. Senyum lebar terbit di wajah Sani, seperti bunga yang mekar menyambut mentari.
Sani bangkit dari duduknya dan segera menghampiri kekasihnya. Sani mempercepat langkahnya, dan begitu jarak mereka tinggal beberapa langkah, Sani merentangkan tangannya, ingin memeluk kekasihnya—tempat yang selama ini paling aman baginya.
Namun belum sempat Sani menyentuh, sebuah dorongan menghentikan gerakannya.
Tubuh Sani terhuyung ke belakang akibat dorongan itu. Untungnya, ia masih bisa mengendalikan keseimbangan tubuhnya, sehingga ia tak sampai terjatuh.
“Kamu nggak usah dekat-dekat aku lagi, apalagi nyentuh. Soalnya sekarang kita udah nggak punya hubungan apa-apa lagi,” ujar pria itu dengan nada tegas, nyaris tanpa emosi.
Mendengar itu membuat Sani sangat terkejut. Namun, alih-alih marah atau menangis, ia justru tersenyum kaku.
Hati Sani mencelos, tapi pikirannya masih mencoba menenangkan diri. “Ini pasti cuma bercanda,” batinnya. Kekasihnya memang sering menggoda dan berkata hal-hal aneh hanya untuk melihat reaksinya.
“Jangan ngomong yang aneh-aneh, deh. Ini udah malam,” ucap Sani, berusaha tetap tenang. “Mending kita makan aja sekarang. Aku udah lapar.”
“Aku nggak ngomong yang aneh-aneh, San. Aku serius. Aku serius mau hubungan kita selesai. Satu-satunya alasan aku datang ke sini malam ini... cuma buat mutusin kamu.”
Reno menghela napas pelan, tapi tidak menundukkan kepala. Tatapannya tetap lurus ke mata Sani, dingin dan tegas, seolah ingin memastikan tak ada ruang bagi harapan lagi.
“Aku nggak mau kita putus! Aku nggak mau!” teriak Sani dengan suara keras, nyaris meledak karena campuran amarah dan kesedihan yang tak bisa lagi ia bendung.
Mata Sani terbelalak, napasnya memburu, dan air mata mulai menggenang. Ia menatap Reno dengan sorot yang penuh luka dan penolakan.
“Sepuluh tahun, Ren…” suara Sani gemetar. “Kita udah sama-sama selama sepuluh tahun. Dan sekarang, kamu nyerah gitu aja?”
Sani tertawa kecil—pahit. “Apa semua waktu itu enggak ada artinya buat kamu? Sepuluh tahun itu bukan waktu yang sebentar…”
Air mata Sani mulai jatuh satu per satu, dan suaranya melemah, seolah energi dalam tubuhnya ikut runtuh bersama kenyataan yang tak bisa ia terima.
“Waktu bukan tolok ukur, San.” Reno menatapnya tanpa berkedip. Suaranya tenang, tapi terdengar jelas menusuk.
“Pacaran lama nggak selalu berujung di pelaminan. Sepuluh tahun pun nggak jadi jaminan kita emang ditakdirin bareng.”
Sani kembali marah. Matanya memerah, suaranya meninggi penuh emosi. “Tapi kenapa kamu mutusin aku gitu aja, hah? Kenapa?”
Sani menatap Reno dengan sorot mata yang campur aduk—marah, kecewa, juga terluka.
“Aku salah apa, Ren? Kalau memang aku salah, bilang aja. Aku bisa perbaiki, aku bisa berubah buat kamu… asal jangan akhiri semuanya kayak gini.”
“Aku ngerasa kita udah nggak cocok lagi, San.” Reno menunduk sejenak sebelum kembali menatap Sani.
“Lebih baik kita jalani hidup masing-masing. Aku yakin, akan ada seseorang yang jauh lebih baik untuk kamu.”
Sani tersenyum sendu—sebuah senyuman yang tak benar-benar mencerminkan kebahagiaan, melainkan luka yang disamarkan.
Alasan yang baru saja diberikan Reno terdengar benar-benar memuakkan baginya. Kata-kata seperti “kita sudah tidak cocok” atau “kamu akan menemukan yang lebih baik” justru terasa seperti pelarian, bukan penjelasan.
Sani berjalan mendekat, pelan-pelan, seolah takut harapannya kembali runtuh. Dalam hatinya, ia hanya ingin satu hal—jangan didorong lagi.
Dengan ragu, Sani mengulurkan tangan dan menggenggam lengan Reno. Sentuhannya lembut, penuh permohonan.
“Jangan akhiri hubungan ini, ya…” ucap Sani lirih, suaranya nyaris seperti bisikan yang tercekik tangis.
“Aku janji, aku bakal berubah... aku bakal jadi jauh lebih baik dari sebelumnya.” Matanya mulai berkaca-kaca, tapi dia tetap menatap Reno dengan penuh harap.
“Aku janji, semuanya bakal jadi lebih baik. Tapi tolong... jangan tinggalin aku.”
Sani menarik napas dalam, suaranya makin bergetar. “Kita masih bisa sama-sama lagi, kayak dulu. Bahagia lagi... kayak dulu.”
Reno melepaskan genggaman tangan Sani—cepat, tapi tanpa kekerasan. Sorot matanya datar, seolah tak ingin memberi harapan sedikit pun.
“Kita udah nggak punya masa depan lagi, San,” ucapnya pelan, tapi tegas.
“Semuanya udah lewat. Aku... aku udah nggak punya rasa lagi buat kamu.”
Ucapan Reno seperti pisau dingin yang menancap langsung ke jantung Sani. Tak ada kemarahan dalam suaranya—yang ada hanya keputusan bulat.
“Tapi bukannya kamu pernah janji bakal nikahin aku?” Suara Sani pecah, dan matanya lagi-lagi berkaca-kaca.
“Kita bahkan udah mulai ngumpulin uang buat itu... buat pernikahan kita.” Ia terisak pelan, berusaha menahan tangis yang makin susah dibendung.
“Untuk beli rumah yang bakal kita tinggali sama-sama... kamu nggak lupa semua itu, kan?”
“Anggap aja itu tabungan kita berdua,” ucap Reno datar, meskipun nadanya terdengar seperti titik akhir dari semuanya. “Nanti uangnya kita bagi dua, biar adil.”
Reno menatap Sani untuk terakhir kalinya, tapi tatapannya kosong—sudah tak menyimpan rasa apa-apa lagi.
“Kalau begitu, aku pamit.” Suaranya pelan, tapi mantap. “Nggak ada lagi yang perlu kita omongin.”
“Ren! Ren!” teriak Sani dengan tangis yang pecah sejadi-jadinya. Tubuhnya lunglai, tak punya tenaga lagi untuk mengejar pria yang kini perlahan menjauh.
Namun hatinya tetap berharap—berharap Reno akan berhenti, menoleh ke arahnya, berlari kembali dan memeluknya, menghapus semua kata-kata dingin yang barusan menghancurkan dunianya.
Tapi harapan itu tak pernah menjadi nyata. Reno terus melangkah, tanpa menoleh sedikit pun. Langkahnya makin lama makin jauh, hingga akhirnya...menghilang dari pandangan Sani sepenuhnya.
Sani terdiam, membeku di tempat. Dunia di sekitarnya sunyi. Hanya suara isak tangisnya yang tersisa, menggema dalam gelapnya malam.
Sani kembali duduk di bangku taman itu. Tempat yang sejak awal menjadi saksi penantiannya... dan kini, juga kepergiannya.
Hati Sani hancur—bukan retak, tapi benar-benar hancur. Perasaannya kosong, seperti tubuhnya ada, tapi jiwanya tertinggal bersama langkah Reno yang menjauh tadi.
Angin malam berhembus pelan, menyapu pipinya yang masih basah oleh air mata. Dalam diam, kenangan-kenangan manis bersama Reno mulai melayang di kepalanya.
Tawa mereka saat menyusuri jalan bersama, obrolan-obrolan kecil yang selalu membuatnya tersenyum, bahkan cara Reno memanggil namanya dengan lembut—semuanya kembali hadir, seperti film yang diputar ulang di pikirannya.
Tapi kini semua itu hanya tinggal kenangan. Dan di bangku taman yang sama, Sani duduk sendirian…ditemani luka, kehilangan, dan cinta yang tak sempat diselamatkan.