HOT MAN 3

1286 Words
Keinginan Tania untuk ketemu sama Aryo belum juga terwujud. Benar seperti kata Wulan, duda satu itu memang jarang di rumah. Beberapa kali dia mendekatkan telinganya ke tembok sebelah, tidak terdengar suara apa-apa. Atau mungkin dia pulang tapi Tania sudah tidur dan berangkat pagi sekali sewaktu Tania masih ngorok? Seperti yang dibilang Wulan. Setiap Tania berangkat kerja pasti melewati depan rumahnya dan garasinya selalu kosong. Seiring berjalannya waktu, rasa kesal Tania memudar. Dia mulai lupa pada Aryo dan kembali fokus dengan pekerjaan dan target pemasarannya. Salah satu targetnya adalah pemasangan tiang wifi di area kompleks yang dia tinggali. Tania menghitung ada sekitar 200 rumah yang terbagi dalam 10 blok. Tidak termasuk ruko yang berjajar di depan kompleks seperti benteng. Sedangkan tiga sisi perumahan lainnya dibatasi tembok tinggi dengan gulungan kawat di atasnya. Setelah negosiasi selesai, Tania mulai meminta tim lapangan melakukan pekerjaannya sementara dia membawahi marketing untung mengetuk tiap pintu rumah agar berlangganan wifi dan tv kabel Paramedia. Sekali dayung dua pulau terlampaui. Tania mengutus salah satu bawahannya agar melaporkan kalau ada data masuk dari rumah sebelah. Tentu saja dia mengutus marketing cowok, karena kalau marketing cewek, bisa-bisa habis dilahap duda mesuum itu. Meski santuy, Tania tetap penasaran pada Aryo. Rasa penasaran itu kembali menjadi kemarahan ketika malam minggu kedua Tania tinggal di rumah barunya, Aryo kembali mengulangi perbuatannya. “Argghhh, sialan!!!” teriaknya sambil menendang tembok berkali-kali. “Kenapa kalian nggak nyewa hotel aja, sih? Brisik tau!” Tania sudah bersiap menendang tembok lagi ketika gedoran dari sebelah terdengar di temboknya. Ini maksudnya apa ya, kok malah ngegedor balik? Nggak terima diganggu pas lagi w*****k? Rese, nih orang. Tania tahu kalau sebenarnya orang sebelah bisa mendengar suaranya. Dia juga bisa mendengar desahan dan erangan mereka, pasti suara kemarahannya juga terdengar. “Heh, kalau kere nggak bisa nyewa hotel, ya mainnya pelan dikit kek. Orang juga butuh tidur kali! Dasar rese!” teriaknya sambil menutup tubuhnya dengan selimut lalu memasang earphone dan menyalakan volume kuat-kuat. Cukup membantu karena suara-suara yang mengganggu tidurnya tak terdengar lagi. Mungkin juga kini mereka bermain lebih pelan dan hati-hati. Atau bisa jadi, mereka malah sudah pergi dan melanjutkan ke hotel. Baguslah. Apa pun alasannya, Tania bisa melanjutkan tidurnya beberapa jam lagi. *** Paginya, ketika Tania sedang membuang sampah, dilihatnya ibu-ibu sedang berkumpul di depan rumah Wulan. Mereka cekikikan sambil melirik diam-diam ke sebelah rumah Tania. Karena penasaran, Tania berjalan ke arah ibu-ibu yang bertingkah nggak jelas itu sambil melihat, apa sih yang sedang mereka perhatikan? Di sebelah rumah Tania,seorang lelaki sedang mencuci mobil. Pagar yang biasanya tertutup kini terbuka lebar dengan moncong mobil mengarah ke depan. Lelaki itu mengenakan celana pendek dan kaos oblong yang kini sudah basah bagian depannya. Kalau lelaki itu bergerak, kaos basahnya kadang melekat erat di tubuhnya. Sehingga kotak-kotak roti sobeknya tercetak jelas dan itu bikin ngilu. Pantas saja ibu-ibu sampai menggigit bibir karena greget, Tania yang single saja gemas melihatnya. Jadi penasaran, seperti apa, sih wajah yang tertutup topi itu? “Aduh, gemes pengen jadi mobilnya. Caranya ngelap itu, lho. Lembuttttt banget.” Seorang ibu bertubuh subur sampai mengelus-ngelus tubuhnya sendiri. Mungkin dia membayangkan tangan lelaki itu menjamah tubuhnya. Wait! Lelaki ini tinggal di sebelah rumah. Berarti dia ... Aryo, kan? Great! Mungkin ini saatnya Tania menyuarakan protesnya. “Tumben dia ada di rumah?” celetuk Tania. Ibu-ibu yang jumlahnya empat orang itu menoleh. Tidak menyangka kalau ada Tania bersama mereka. “Mbak ini siapa?” “Ini Tania, yang tinggal di rumah depan.” Wulan menunjuk ke arah rumah Tania. “Oh, tetangga Mas Aryo. Beruntung sekali.” “Beruntung apaan? Mules iya,” jawabnya asal. Tania melipat kedua tangannya di depan d**a dan mengerucutkan bibir. Dalam hati dia begitu gemas karena Aryo tidak juga membuka topinya. Kelihatannya dia sengaja. Karena kalau menghadap ke arah ibu-ibu kepalanya pasti ditundukkan dalam-dalam. Tania menggerak-gerakkan kakinya karena tidak sabaran ingin melihat muka Aryo. Muka lelaki yang sudah bikin tidurnya nggak nyenyak tiap malam minggu. “Eh, kamu warga baru. Jangan sembarangan ngomong, ya. Mas Aryo itu warga teladan. Baik. Ramah. Jangan bikin fitnah nggak jelas. Nanti kamu dibenci warga.” Tania memandang ibu-ibu yang sedang menceramahinya. Pakai jilbab, sudah ada keriput, pendek, dan ... hellowwww ... mereka ini pada punya suami apa enggak, sih? Bisa-bisanya ngomong soal lelaki lain sebebas ini. “Saya nggak fitnah, Bu. Tinggal di sebelah dia emang bikin mules. Coba gimana nggak mules, udahlah saya jomlo, eh tiap malam minggu kuping saya ini mendengar suara-suara aneh. Kayak gini, nih suaranya ... Ahhh, ohhh, lebih cepat ..., lebih keras ..., iya itu enak ... Aduh, lagi, Mas! Nah, mules nggak, tuh dengernya? Ya kalau ibu-ibu enak ada pelampiasan. Lah saya? Meluk guling doang. Ngilu, Bu!” ujarnya sambil mengelus d**a. Penjelasan Tania membuat keempat ibu itu bengong. Pikiran mereka dipenuhi adegan-adegan erotiss tentang Aryo. “Kamu jangan fitnah, ya. Mas Aryo itu orang baik-baik. Dia pekerja keras. Dermawan. Kalau iya yang kamu omongin itu benar, sekarang mana buktinya? Nggak ada tuh perempuan di rumah Mas Aryo. Dari tadi dia sendirian.” “Ya diumpetin kali di kamarnya. Masa mau dipajang di halaman.” “Nggak mungkin.” “Coba Ibu periksa aja. Kalau nggak ada, ya berarti udah dianterin pulang.” “Gimana, Bu? Kita samperin?” Dasar ganjen. Ibu-ibu ini pasti seneng karena bisa ketemu Aryo. Nggak peduli benar atau hoaks cerita Tania. Yang penting mereka punya alasan buat ngobrol sama lelaki ganteng itu, bukan cuma ngeliatin saja seperti sekarang. Keempat ibu-ibu itu sepakat untuk mendatangi Aryo. Wulan yang memimpin. Tania mengekor. “Selamat pagi Pak Aryo,” tegur Wulan dengan suara dimanis-maniskan. Kalah madu lebah. Lelaki itu mengangkat wajah dan ... oh, my ... Tania hampir keseleo karena melihat wajah yang menyilaukan itu. Pantes saja ibu-ibu berubah jadi ganjen sama Aryo. Nama boleh Jawa tapi muka Timur Tengah. Buset, itu hidung apa lereng Gunung Himalaya? Dan bibirnya ... ngepink! Langsung saja pikiran Tania jadi jorok karena membayangkan suara cecapan-cecapan yang dia dengar. Tanpa sadar Tania menelan ludah. “Pagi. Ibu-ibu cantik ada apa datang ke rumah saya rame-rame. Ada demo masak lagi yang butuh sponsor?” Tania melihat tubuh ibu-ibu di depannya menggeliat-geliat manja. Hih! “Ngg ... gini, lho, Mas. Ini tetangga Mas Aryo di sebelah, dia bilang katanya mendengar suara-suara aneh dari rumah Mas. Kayak ada suara perempuan. Bener, Mas bawa perempuan ke rumah?” Aryo melirik ke arah Tania. Pandangan mereka bertemu. Dipandanginya perempuan yang masih mengenakan kaos big size dan celana longgar itu. Rambut singanya lupa diikat. Aryo mendengkus, perempuan ini yang sudah mengganggu aktivitasnya tadi malam. Dan sekarang dia membawa pasukan? Dasar orang baru, apa dia belum tahu kalau kompleks ini sudah dia kuasai? Aryo memberikan senyum terbaiknya. Lesung pipinya mengingatkan Tania pada L-infinite. “Ibu-ibu cantik bisa cek ke dalam. Apa ada perempuan atau tidak. Silakan.” Aryo menunjuk ke arah pintu yang tidak tertutup. Keempat ibu-ibu itu menyerbu masuk. Sementara Tania, dia dan Aryo saling beradu pandang. Sudah jelas ada kemarahan dalam sorot mata Tania. Sedangkan pandangan Aryo melecehkan perempuan berantakan yang ada di depannya ini. “Kamu pikir usahamu bakal berhasil?” tanyanya sinis. Mata Tania membelalak. Tidak salah pendengarannya? Aryo yang tadinya manis banget sampai bikin Tania diabetes, kini bersikap pait kayak jamu godog. “Seharusnya kamu nggak sampai mengganggu tidur aku.” “Hhh! Kita lihat saja, kalau kamu menang aku bakal berhenti ganggu tidur kamu. Tapi kalau aku menang, akan aku buat kamu kepengen merintih di bawah aku!” ancamnya sambil mendekatkan mukanya ke muka Tania. Membuat Tania tidak berani bernapas apalagi membuka mulut, karena dia belum gosok gigi. Namun kata-kata Aryo membangkitkan kemarahannya. Percaya diri sekali laki-laki ini. Hanya karena dia berwajah ganteng terus bisa seenaknya? Oh, tidak bisa begitu, Fergusso! Lihat saja nanti apa yang bisa aku lakukan, batin Tania.©
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD