Bab 7.2 : Masculinity, Siapa yang Bilang Itu Wajib?

1113 Words
Lo hidup bukan di dalam iklan rokok. My life my adventure kagak wajib naik moge menyebrangi jurang. Hidup jadi pejantan memang harus tangguh, tapi masih boleh down sekali-sekali, syaratnya cuma satu: masih manusia. Satu lagi ...  jangan memancing di kolam yang dangkal, karena kagak ada ikannya - kevriawan 2020 = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = Bab 7 : Masculinity, Siapa yang Bilang Itu Wajib?    Tapi tahukah lo semua, bahwa sifat maskulin dan feminin ini sebenarnya ada dalam setiap diri manusia. Sandra L. Bem (1974) mengatakan hal yang sama, kalau manusia memiliki dua sifat itu dan kedua sifat ini berguna bagi kehidupan kita. Sifat maskulin sering diidentikkan dengan bagaimana seseorang berpikiran rasional, berani, bertanggung jawab, dan melindungi. Sementara sifat feminin sering dikaitkan dengan kelemahlembutan, keibuan, merawat, penyayang dan sabar. Kalau dilihat-lihat secara seksama, sebetulnya semua sifat yang tergolong feminin maupun maskulin tadi dimiliki setiap dari kita dan penting untuk kehidupan kita. Seorang penjantan yang sudah menjadi ayah, misalnya, ketika bermain bersama dengan anaknya pasti akan menampilkan sifat lemah lembut, penyayang, dan sabar. Sementara seorang perempuan juga perlu berpikir secara kritis dan rasional, berani, serta bertanggung jawab dalam kehidupannya.   See? Jadi sebenarnya baik cewek maupun cowok memiliki kedua sifat ini.   Lalu letak masalahnya adalah konsep ini makin lama menjadi semakin popular, lalu berkembang lah kasus ini ayng tadinya sekadar cukup tahu dan cukup tempe, menjadi kasus salah kaprah bernama toxic masculinity. Ada sebuah tulisan yang dibuat oleh American Psychological Association (APA) tentang riset mengenai toxic masculinity, mengajak kita untuk berpikir lebih kritis tentang bagaimana norma-norma gender yang mempengaruhi perilaku kita sehari-hari. Lebih penting lagi, mereka juga memberikan pencerahan pada mekanisme psikologis dan faktor-faktor sosial yang mempengaruhi. Seiring berjalannya waktu, pengertian toxic masculinity berkembang menjadi “norma sosial tentang bagaimana laki-laki seharusnya berperilaku”. Norma-norma tersebut dapat membuat seseorang menjadi misogyny, homophobia, violence, dan dapat mempengaruhi kesehatan mental mereka.   Contohnya bisa kalian lihat dari percakapan gue dan Lisa. Di mana tadi salah duanya Lisa meminta gue untuk jangan lesu, even gue sudah mengatakan kalau gue lagi bad mood. Lalu doi juga bilang bahwa cowok itu harus cool, keren, macho, atau apa lah itu yang lama kelamaan menjadi suatu standar tersendiri buat orang - orang bahwa laki - laki harus begini dan harus begitu, bahwa perempuan harus begini dan begitu. Halah, persetan dengan semua itu, woy! Ini hidup gue, gue yang menjalani. Gue sudah cukup sering patah hati karena dunia dan kehidupan yang kejam ini. Hati gue selemah kapas, selembut paseo, dan sepolos switzal. Jangan tambah beban hidup gue lagi dengan segala aturan maskulinitas s****n itu. Kalian udah baca sendiri itu di atas, kan? Katanya toxic masculinity ini membuat mental enggak stabil juga. Yang artinya enggak baik buat kesehatan mental.   Maskulinitas yang tadinya sifat yang sebenarnya dimiliki oleh cewek maupun cowok, pada akhirnya berubah menjadi norma sosial. Lho, maksudnya? Iya, berubah menjadi suatu standar yang harus diikuti kaum lelaki. Sejenis ada peraturan tertulis bagi para pemilik batangan untuk menjadi seperti dalam norma sosial itu. Emang norma sosial itu apaan, sih, Jon? Oke, gue akan jelasin supaya kalian paham dan mengerti.   Jadi …. Norma sosial adalah sebuah standar sosial atau ekspektasi tidak terlihat yang diikuti agar seseorang bisa merasa diterima dalam situasi yang diberikan, dan itu membuat kita --- para cogan berbatang ---- malah merasa kagak nyaman ketika kita enggak melakukan norma-norma tersebut. Konsepnya ini mirip dengan Norma Gender. Buset, apaan lagi itu Jon? Ya gitu lah pokoknya. Norma gender sebenarnya mirip - mirip juga kayak begitu, tapi lebih spesifik berhubungan dengan jenis kelamin dan bagaimana seseorang (khususnya yang kelaminnya batangan alias jantan) perilaku, berpikir, merasakan, serta berpenampilan yang diasosiasikan dengan gender tertentu. Sebagai contoh, ada kalimat ajaib yang biasanya sudah pasti pernah diucapkan ke semua pejantan, yaitu:  “laki-laki haram hukumnya menangis.”    Anjay, lah … dia kira gue ini apaan kali ya kagak boleh menangis. Kalau hatinya lembut dan kenyal - kenyal kayak permen Yupi, gimana? Masa enggak boleh nangis juga, seh? Nih, gaes, salah satu contoh norma gender laki-laki yang sudah ada dari sangat lama, mungkin dari jaman baheula, dan membuat laki - laki lebih memilih untuk menekan perasaan mereka, alias memendam perasaan, dibandingkan memproses emosi mereka dengan cara yang sehat atau baik.    Mengutip dari jurnal tentang toxic masculinity, ini adalah rangkumannya. Tentang beberapa norma sosial yang dapat membentuk perilaku toxic masculinity diantaranya: Power. Salah satu yang identik banget dengan yang namanya laki - laki,  dan kalian merasa merasa enggak, sih, dalam sejarah laki - laki memiliki kekuatan sosial dan ekonomi yang lebih dibandingkan perempuan dan menjadi grup yang dominan dalam bermasyarakat. Seperti bagaimana laki - laki mendapatkan uang lebih banyak dibandingkan perempuan dan mayoritas menempati posisi pemimpin dalam sektor publik dan pribadi. Salah satu contohnya adalah bagaimana laki - laki merendahkan efek dari k*******n s*****l dan memiliki bias terhadap perempuan. Hal tersebut terjadi karena banyak laki - laki yang tidak merasakan k*******n s*****l atau bias gender karena identitas mereka sebagai laki - laki. Masculine power. Didapat melalui norma gender tradisional yang memaksa laki-laki untuk menjadi dominan. Salah satunya adalah mempermalukan laki-laki yang melakukan perilaku yang dianggap “tidak manly”. Salah satu contoh dari perilaku “tidak manly” adalah perilaku mengakui kelemahan atau kesalahan, lemah terhadap perasaannya, tidak menggunakan paksaan ketika menyelesaikan masalah, ataupun hal-hal yang dapat mempertanyakan status mereka sebagai laki-laki. Oleh karena itu, ketika laki-laki menghadapi isu yang berhubungan kesehatan mental, mereka kerap merasakan dilemma antara mencari bantuan dan against norma, dan kemudian mendapatkan kritik dari laki-laki lainnya, atau tetap pada norma dan diam saja menghadapi masalahnya. Beberapa norma maskulin mendorong laki-laki untuk pamer seberapa banyak perempuan yang sudah mereka tiduri. Ketika laki-laki berbicara tentang perempuan seperti itu, sama saja mereka memaksakan gagasan kalau perempuan adalah objek yang harus dikuasai. Meskipun tidak terlihat berbahaya, tetapi penelitian menunjukkan kalau laki-laki dengan tradisional maskulin yang besar akan lebih cenderung melakukan k*******n s*****l pada wanita.    Selain itu Robert Brannon dan Samuel Juni (1984), mengembangkan sebuah alat ukur yang berakar pada teori peran s*x awal dan dikembangkan untuk mengukur bagaimana “apa yang sebenarnya orang rasakan tentang tradisional maskulinitas Amerika”. Termasuk dalam alat ukur tersebut adalah perspektif dan gambaran pernyataan-pernyataan yang mewakili nilai dan norma maskulinitas mainstream.  * * * * *   to be continued * * * * *   By the way, kalau kalian merasakan sama seperti apa yang Jono rasakan, boleh banget langsung di tap LOVE nya gaes. Atau bisa juga kalau kalian mau add cerita ini ke library atau perpustakaan. Supaya kalau next time saya update, kalian enggak ketinggalan beritanya, hihiw~ Oke deh, kalau gitu see you in the next chapter ya!   Bye ....   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD