“Vio … apa yang kau lakukan … lepaskan!” bentak seorang pria yang tengah memakai kemeja berwarna putih dengan lengan dilipat hingga siku, dia berusaha melepaskan cengkraman gadis yang dipanggilnya Vio kekasihnya.
Membuat tubuh gadis itu terpental beberapa langkah ke belakang. Dia melihat pergelangan tangannya, terdapat bekas cengkeraman di sana, hal itu semakin membuatnya kesal, ada rasa cemburu melihat pria itu memperhatikan wanita yang dijambaknya, apalagi wanita itu terlihat lemah seakan apa yang dilakukan keterlaluan.
“Om Ben, nggak boleh nikah dengan dia,” tegas Agnita, gadis berusia 25 tahun dengan nama lengkap Agnita Vior Navendra pada pria yang berdiri tegap di hadapannya sambil menunjuk seorang wanita yang tengah memakai jilbab. Raut wajahnya menunjukan ketidaksukaan pada wanita yang berdiri tepat di belakang pria yang dipanggilnya Om Ben—Arva Benua Ramarta, nama lengkapnya.
“Dia selingkuhin, Om Ben!” pekiknya. “Dia bukan wanita yang pantas menikah dengan Om. Dia bukan wanita baik-baik, Om Ben,” lanjutnya, tatapan Agnita benar-benar penuh dengan amarah.
Benua mendengus, wajahnya mengeras mendengar semua tuduhan yang dilontarkan pada kekasihnya. “Vio, jangan keterlaluan menuduh calon istri Om!” bentak Benua dengan suara berat penuh tekanan tetapi itu justru membuat d**a Agnita semakin sesak karena itu adalah pertama kalinya pria yang telah menjadi cinta pertamanya membentaknya. Bahkan, pria itu memiliki nama panggilan kesayangan untuknya—Vio.
Agnita membeku di tempatnya, matanya membesar mendengar suara Benua yang meninggi untuk pertama kalinya. “Vio nggak nuduh, Om. Vio lihat sendiri, dia …” gumam Agnita pelan nyaris seperti anak kecil yang baru ditegur.
Tatapan Agnita seketika beralih, menatap tajam ke arah kekasih Benua, tatapan penuh ketidaksukaan dengan jari telunjuk menunjuk ke arah wanita yang tengah menunduk.
“Sudah kubilang, Vio nggak asal nuduh. Dia … dia … Dia udah selingkuhin, Om!” Sekali lagi Agnita memekik agar Benua mempercayainya. Namun, pria itu tidak mempercayainya. Ya, Benua tidak mempercayai perkataannya karena Agnita tidak memiliki bukti, dia cukup terbawa emosi sampai tidak mengambil vedio atau memotret adegan perselingkuhan itu.
Di balik wajahnya yang tengah menahan amarah, ada hati Agnita yang tengah tercabik-cabik, ucapan Benua seperti pisau yang menembus relung hatinya. Bukankah pria itu seharusnya mempercayainya? Dia tidak pernah berbohong selama ini.
Dadanya sesak, Agnita menatap Benua mencari sedikit keraguan di mata pria itu—sekecil apapun itu yang membuktikan jika pria itu mempercayai perkataannya, sayangnya yang ditemukannya hanyalah sorot mata tajam penuh kekecewaan padanya.
Sakit. Walaupun tuduhannya bercampur dengan cemburu, tetapi kebersamaan mereka selama ini tidak cukup kuat dengan wanita yang penuh dengan pesona kebohongan.
Agnita menatap tajam, hatinya berteriak “K-kenapa om tidak mempercayaiku … K-kenapa membela wanita itu.” Namun, kalimat itu tidak bisa keluar dari bibirnya.
Namun, bagi Benua sendiri, tindakan anak sahabatnya itu tidak benar. Apalagi menuduh kekasihnya berselingkuh, bahkan Agnita tidak memiliki bukti. Rasa frustrasi menjalar di kepalanya, orang-orang menaruh perhatian pada mereka, apalagi dengan aksi Agnita yang menjambak rambut Halya.
“Vio! Apa kau melakukannya karena tahu Om akan menikah? Apa kau setidak suka itu sampai menuduh Halya? Bukti, kalau kau mau menyakinkan Om, kau harus punya bukti! Kau tidak punya bukti ‘kan?”
“Bukti, Vio! Bukti! Kalau kau mau meyakinkan Om, kau harus punya bukti. Kau tidak punya bukti ‘kan?”
Pertanyaan Ben menggantung di udara seperti sebuah judge bagi Vio, hingga gadis itu terdiam. Bukti. Ya, Agnita tidak memilikinya.
Namun, Agnita bukan wanita yang akan diam saja. Agnita mendekat selangkah Benua, rahangnya mengeras, matanya berkaca-kaca menahan untuk amarah yang membuncah. “Apa Om masih butuh bukti setelah Vio yang melihatnya sendiri? Sebelum bertemu dengan Om dia jalan bersama dengan pria lain, mereka kissing, Om. Kissing!”
Wanita yang dituduh hanya menunduk, wajahnya tersembunyi terhalang jilbab yang sudah kusut setelah tadi dijambak keras oleh Agnita. Namun, perlahan Halya—mengangkat wajahnya, memperlihatkan wajahnya lesuh dengan air mata mengenang di pelupuk mata, bahkan ada beberapa yang telah menetes di pipi, membuatnya seakan tidak bersalah di mata Benua.
Benua melirik kekasihnya, mereka telah berhubungan selama beberapa tahun. Dia mengenalnya dengan sangat baik, tidak mungkin jika wanita itu mengkhianatinya. Melihat ekspresi yang ditunjukan oleh Benua, membuat Agnita merasa dadanya sesak, bukankah pria itu harusnya mempercayainya? Dia tidak berbohong, dia melihatnya sendiri.
“B-ben … a-aku … aku tidak tahu kenapa Vio menuduh aku seperti itu,” ucapnya lirih, suaranya bergetar. “T-tapi … aku tidak melakukan hal seperti itu. A-aku tidak mungkin berselingkuh.” Hayla berkata dengan terbata-bata.
Melihat sandiwara itu, Agnita tidak bisa diam saja. Amarah Agnita semakin memuncak tetapi itu justru kemenangan bagi Halya, wanita itu tersenyum tipis seakan tengah mengejek Agnita yang tengah berusaha menjatuhkan kepercayaan Benua padanya.
Benua menghela napas kasar, menatap Agnita kemudian menggelengkan kepala penuh kekecewaan. “Kau benar-benar keterlaluan, Vio. Om tidak menyangka kau melakukan hal seperti itu. Apa kau sadar apa yang sudah kau lakukan? Ini bukan permainan anak-anak yang biasa kau lakukan dulu. Tuduhanmu itu, bisa menghancurkan hidup orang lain!”
Tangan Agnita mengepal erat, “Kenapa Om nggak percaya, sih, Vio lihat dengan jelas dia kissing, Om. Vio bahkan dengar kalau dia nikahin om cumin karena Om Ben kaya. Dia mau ambil harta Om, doang!” geram Agnita, dia benar-benar kesal, apalagi Benua tidak mempercayainya.
“Shut up, Vio! Cukup menghina calon istriku hanya karena kau cemburu! Jangan memfitnah Halya lagi!” Kali ini suara Benua benar-benar meninggi. Dia jelas tidak terima jika calon istrinya dituduh melakukan hal seperti itu, dia mengenal Halya lebih anak dari sahabatnya itu. “Jangan mempermalukannya, lagi!” tegas Benua, wajah pria itu benar-benar berubah merah.
Udara di ruangan itu seakan menegang, hanya tersisa suara napas berat Benua, ditambah dengan tatapan Benua yang tajam, serta ketidakpercayaan pria itu padanya membuat Agnita mengepalkan tangannya erat, rahangnya bahkan lagi-lagi mengeras.
“Dia layak mendapatkannya! Dia layak dipermalukan, Om,” cibir Agnita. Halya yang tengah menunduk itu membuatnya semakin kesal, padahal tadi wanita itu sangat berani menantangnya, tetapi saat di hadapan Benua dia berubah menjadi wanita polos yang tersakiti.
“Cukup Vio! Om tidak mau mendengar tuduhanmu itu!”
“Om. Dia itu w************n. Memangnya ada wanita baik-baik yang kissing dengan pria lain, padahal dia akan menikah? Mungkin, dia juga sudah tidur dengan pria itu!” geram Agnita sambil berlari menuju Halya yang tengah tersenyum mengejek padanya. Mungkin karena Benua tidak melihatnya, dia begitu berani menyulut emosi Agnita.
Langkah Agnita begitu cepat, “Dasar jalang!” teriak Agnita sambil kembali berusaha menarik Hayla. Ya, tangan Agnita sempat meraih wanita itu sebelum akhirnya dia ditarik kasar oleh Benua, yang membuatnya terpental ke belakang nabrak meja.
“Vio, hentikan!” bentak Benua sambil melihat kondisi kekasihnya. “Ay, are you okay? Bagian mana yang sakit?” tanya Benua penuh dengan kekhawatiran.
Perhatian yang diberikan Benua pada Hayla membuat mata Agnita yang terpental berubah sendu, ah, dia baru sadar jika dirinya tidak pernah dilirik oleh pria yang sejak kecil disukainya itu.
Berkali-kalipun dia berusaha menarik perhatian pria itu, dia tidak lebih dari anak kecil yang cintanya tidak dianggap. Terus, apa yang dia lakukan, malah membuatnya semakin sadar jika dia harus melepaskan cintanya.