Perempuan Pilihan

3026 Words
Seorang pria dewasa yang tampak gagah dengan tinggi badan 190 sentimeter ditambah dengan bahu dan punggung yang tegap. Pria itu tampak menampilkan ekspresi kusut. Meskipun seperti itu, dirinya tetap saja terlihat tampan dengan netra sewarna laut dalam yang menyorot dingin dan tajam. Pria itu tidak berniat untuk merapikan pakaiannya. Ia kini berdiri di hadapan kediaman mewah dan menekan bel, tetapi tidak ada satu pun orang yang membukakan pintu. Ia lalu kembali menuju mobil mewahnya dan menatap pada staf keamanan yang kini sudah tidak terlihat lagi. Melihat semua itu, ia merasa semakin kesal. Ia bukan orang bodoh. Ia tentu saja bisa menyimpulkan jika semua orang tengah berusaha untuk menghindarinya. Raut wajah pria tampan berusia dua puluh tujuh tahun tersebut, terlihat semakin memburuk saja. “Apa aku tengah ditelantarkan di rumahku sendiri?!” teriaknya dengan nada menyeramkan. Namun, tidak ada satu pun orang yang muncul dan memberikan respons. Pria itu semakin geram saja dan berniat untuk mencari seseorang di rumahnya ini untuk ia pukuli sebagai pelampiasan kemarahannya. Namun sebelum dirinya melakukan hal tersebut, sebuah suara lembut tetapi membawa kesan tajam terdengar dari balkon bagian depan kediaman mewah tersebut. “Kenapa pulang?” Pria itu segera mengubah ekpresinya menjadi memelas dan mendongak untuk menatap seorang perempuan berusia empat puluhan tengah bersandar di pembatas balkon dan menatapnya dengan tatapan datar. “Ah, Mama, sudah sewajarnya aku pulang ke rumahku, bukan?” tanya pria itu dengan nada yang terdengar menyenangkan. Seperti seorang anak kecil yang baru saja pulang terlambat dari acara bermainnya, hingga membuat ibunya yang cantik tampak marah. Ekspresi yang dipasang oleh oleh pria itu jelas bisa membuat siapa pun yang melihatnya menjerit karena merasa begitu gemas. Namun, ekspresi itu tampaknya sama sekali tidak berpengaruh bagi sang mama yang hanya memasang ekspresi datar. Sepertinya ia sudah benar-benar kebal dengan tingkah putranya itu. “Sayangnya, Mama tidak ingin membukakan pintu untuk anak sepertimu, Darka,” ucap sang mama yang tak lain adalah Puti. Ya, Darka adalah putra dari Puti dan Nazhan. Pasangan pengusaha yang dari muda hingga kini menjadi pasangan yang kemesraannya menjadi contoh pasangan lainnya. Siapa pun yang melihat pasangan Puti dan Nazhan, pasti merasa iri sekaligus berharap ingin memiliki pasangan sehidup semati yang saling mengerti seperti mereka. Darka mengernyit, ia tentu mengenali sifat mamanya. Jika sudah bertindak seperti ini, maka bisa ditebak bahwa sang mama memang benar-benar marah padanya. Namun, Darka tidak bisa menyerah begitu saja. Karena jika sampai Puti tidak membukakan pintu, maka Darka akan benar-benar tidur di luar bahkan jalanan. Sebelum datang ke sini, Darka sudah pulang ke apartemen pribadinya, tetapi ternyata Puti sudah lebih dulu datang dan mengubah semua password pintu apartemen yang dimiliki oleh Darka. Hal yang lebih menjengkelkan adalah, Puti juga membuat semua hotel dan semua pihak yang menyediakan tempat menginap, tidak menerima Darka. Bayangkan saja, tadi Darka sudah berusaha untuk datang ke beberapa hotel yang memang sering ia kunjungi. Namun ternyata, Darka bahkan tidak bisa mendapatkan kamar termurah yang sebelumnya tidak pernah ia lirik. Baru saja menginjakkan kakinya di tempat itu, Darka sudah diminta untuk meninggalkan tempat tersebut. Tentunya, Darka jengkel. Sayangnya, Darka tidak bisa meluapkan kemarahannya di tempat manapun. Karena ia sudah mendengar konfirmasi, jika Puti dan Nazhan yang membuat semua hotel harus menolak kedatangan Darka, meskipun Darka memang sudah terbiasa datang dan menjadi pelanggan tetap di hotel mereka. I Jika sudah ditolak oleh semua hotel bahkan apartemen, Darka tidak memiliki pilihan selain kembali ke kediaman Risaldi. Ayolah, Darka tidak mungkin menginap di club malam atau bahkan di sebuah kontrakan kecil yang berada di lingkungan kumuh. Darka tidak pernah membayangkan hal tersebut, dan sama sekali tidak ingin melakukan hal seperti itu. Sebenarnya, Darka bisa kembali ke kantor untuk tidur semalam saja di ruang istirahat yang terhubung dengan ruang kerjanya. Sayangnya, ruangan tersebut juga tengah dalam renovasi karena Darka ingin ruang istirahatnya lebih luas dan nyaman. Tentunya, Darka ingin waktu istirahatnya dengan para wanita yang datang untuk memuaskan hasratnya semakin nyaman. Karena itulah, Darka memilih untuk merenovasi ruangannya. Sayangnya, ternyata keputusannya itu tidak tepat. Darka pun harus kembali ke rumah dan menghadapi kemarahan mamanya yang mengerikan. “Ayolah, Ma. Memangnya kesalahan apalagi yang sudah aku lakukan sampai Mama marah seperti ini? Jika Mama tidak membukakan pintu untukku, aku harus tidur di mana, sementara Mama sudah mengubah semua password apartemen, dan membuat semua hotel menolakku?” tanya Darka dengan nada memelas. Namun, Puti tidak tergerak dengan nada dan ekspresi memelas yang ditunjukkan oleh putranya tersebut. Puti sudah mengandung, melahirkan, bahkan merawat Darka hingga sebesar ini. Puti tahu seberapa bulus putranya ini. Jadilah, Puti menopang dagunya dengan tidak peduli. Melihat hal itu, Darka tidak bisa menahan diri untuk merengek, “Ah, Mama.” Saat itulah Nazhan muncul dan mencibir sikap yang ditunjukkan oleh putranya tidak mencerminkan namanya. Ya, Nazhan dan Puti menamai putra mereka sebagai Darka Parama Al Kharafi, dengan harapan jika putra mereka bisa tumbuh sebagai pria yang cinta damai yang bisa bertanggung jawab dan bijak sana. Hanya saja, Darka tumbuh jauh dari harapan Puti dan Nazhan. Bukan berarti Darka tidak tumbuh sebagai pribadi yang unggul seperti ibu dan ayahnya, Darka terlahir dengan kecerdasaan di atas rata-rata dan memiliki banyak kemampuan seperti kedua orang tuanya. Hanya saja, setiap hari Darka selalu membuat ulah yang membuat siapa pun menggeleng karena tingkahnya itu. Puti dan Nazhan bahkan sudah kehabisan cara untuk membuat Darka berhenti membuat ulah. Jangan bayangkan Darka membuat ulah seperti tauran atau semacamnya. Darka sudah terlalu tua untuk melakukan hal tersebut. Darka membuat ulah dengan para wanita. Ya, Darka adalah seorang pemain handal dalam masalah wanita. Tidak terhitung lagi sudah berapa wanita yang sudah terkena jeratannya dan berakhir menghabiskan malam yang panas di atas ranjang bersamanya. Tentu saja, sebagai seorang ibu, Puti tidak ingin hal ini terus berlarut-larut. Puti harus bertindak tegas dan membuat Darka jera. Sebagai seorang ibu, Puti rasa ini adalah keputusan dan tindakan paling tepat yang bisa ia lakukan. Sudah cukup selama ini Puti membiarkan Darka melakukan semua hal sesuai dengan apa yang ia inginkan. Karena itulah, Puti melakukan ini. “Bukankah kamu sendiri yang berjanji pada Papa dan Mama untuk tidak lagi bertindak seperti b******n yang selalu bermain wanita? Kamu juga yang berjanji, jika kamu sampai mengingkari janjimu, kamu akan tidur di kursi taman,” ucap Nazhan sembari merangkul pinggang Puti dan membubuhkan sebuah kecupan pada puncak kepala istrinya. “Ei, memangnya apa yang Darka lakukan sampai Papa dan Mama mengategorikan hal tersebut sebagai pengingkaran janji?” tanya bali Darka seakan-akan dirinya tidak mengerti dengan apa yang tengah dibicarakan oleh Nazhan dan Puti. Namun, Nazhan dan Puti bukan orang yang bodoh. Keduanya juga mengerti dengan sikap serta karakter putra mereka ini. Karena itulah Puti pun berkata, “Tidak perlu berpura-pura bodoh. Memangnya kamu pikir Mama dan Papa tidak akan mengetahui jika kamu kembali bermain dengan wanita-wanita tidak jelas itu? Mama masih tidak habis pikir, sebenarnya apa yang kamu cari dan dapatkan dari para wanita itu, selain kepuasan sesaat? Terlepas dari hal itu, Mama tidak akan melupakan janji yang sudah kamu katakan. Karena kamu sudah melanggarnya, maka Mama dan Papa tidak akan sungkan untuk memberikan hukuman padamu. Malam ini, silakan nikmati malam di bangku taman.” “Ah, Mama kenapa Mama sangat tega padaku?” tanya Darka. “Jangan merengek pada Mama, merengeklah pada wanita yang seminggu ini selalu datang dan menghabiskan waktu istirahat makan siang di kantormu. Ah, atau temui saja wanita yang selalu menginap di apartemenmu selama tiga hari kebelakang,” jawab Puti melemparkan serangan tajam pada Darka. Saat itu juga, Darka bungkam. Darkan tidak menyangka Puti bisa mengetahui sedetail itu. Padahal, selama ini Darka dengan sengaja tidak memasang kamera cctv di lantai apartemennya, dan di lantai di mana ruang kerjanya berada. Namun, rupanya hal itu tidak cukup memblokir sang mama untuk mengetahui setiap tingkahnya. “Kenapa Mama bisa tau sedetail itu? Mama menempatkan mata-mata di sekitarku? Ah, Mama, aku bukan lagi anak kecil. Mama tidak perlu melakukan hal seperti itu,” protes Darka. Puti mengernyitkan keningnya. Namun, Puti tidak berniat untuk berkomentar dan membiarkan Nazhan mengambil alih pembicaraan tersebut. “Dengan tingkahmu ini, kamu masih berani menyebut dirimu bukan anak kecil?” Nazhan mencibir tingkah Darka yang masih saja merengek tidak jelas. Darka seketika sadar jika dirinya bertingkah seperti bayi. Saat itulah, Darka berdiri dengan tegap dan berdeham untuk menutupi rasa malunya. Nazhan yang melihat hal tersebut kembali mengejek Darka. Hal tersebut tentu saja tertangkap dengan mudah oleh pandangan Darka, tetapi dirinya tidak bisa melakukan apa-apa. Saat ini, Darka harus bisa mengambil hati papa dan mamanya. Darka masih menatap Nazhan dan Puti dengan memelas dan berkata, “Aku mengaku salah, aku memita maaf. Tapi, jangan larang aku masuk ke dalam rumah. Masa Mama dan Papa tega membuatku tidur di bangku taman?” “Sayangnya, Mama dan Papa memang akan bertindak tega padamu. Sekarang, pergi dan tidur di bangku taman!” seru Puti dengan senyuman manis yang membuat Darka ingin mengerang kesal saat itu juga. Tentu saja Nazhan yang melihat Darka menahan diri untuk tidak menunjukkan kekesalannya, tidak bisa menahan diri untuk terkekeh dengan senangnya. Setelah mengatakan hal tersebut, Puti pun menarik suaminya untuk masuk ke dalam kamar mereka dan mengabaikan teriakan penuh dengan rengekan serta keluhan yang dilontarkan oleh putra mereka, Darka. “Ah, Mama jangan seperti ini!” seru Darka keras membuat semua pekerja yang memang diperintahkan untuk bersembunyi dari Darka merinding bukan main. Tentu saja, mereka semua kembali berusaha untuk menyembunyikan diri sebaik mungkin dan berdoa agar tuan muda mereka itu sama sekali tidak melihat keberedaan mereka. Karena jika hal itu terjadi, sudah dipastikan jika mereka akan menjadi bulan-bulanan dari kemarahan Darka. Yakinlah, hal itu sama sekali tidak akan berujung baik. Sebab Darka, adalah keturunan Puti, si iblis cantik. Jadi, tentu saja Darka adalah si iblis tampan yang siap membuat siapa pun targetnya bertemu dengan penderitaan yang paling mengerikan dalam hidupnya.         ***       Nazhan yang sangat mencintai istrinya, tidak membiarkan istrinya itu pergi sendiri ke panti asuhan. Karena itulah, Nazhan meluangkan waktunya selapang mungkin untuk menemani Puti yang memiliki rencana untuk mengunjungi panti asuhan yang berada di bawah naungan yayasan AR. Karena Nazhan dan Puti sudah menikah dan harta serta keluarga mereka sudah bersatu, keduanya sepakat untuk membuat merek baru dengan menyatukan nama keluarga mereka menjadi AR. Al Kharafi dan Risaldi. Kini, semua perusahaan dan merek dagang mereka dilabeli dengan merek baru tersebut. Dengan lembut dan penuh kasih, Nazhan menggandeng istrinya untuk memasuki area panti asuhan yang memang dibangun dan didanai secara pribadi oleh Puti dan Nazhan. Panti asuhan inilah yang juga membuktikan jika masalah anti sosial dan anti empati yang diidap oleh Puti sudah jauh membaik. Puti membuktikan, jika dirinya sudah sedikit demi sedikit mendapatkan penawarnya. Nazhan melirik Puti yang melangkah dengan anggun di sisinya. “Sayang, apa kamu yakin dengan apa yang kamu putuskan ini?” Puti yang mendengar pertanyaan tersebut menyunggingkan senyuman manis. Ia mendongak menatap wajah suaminya yang masih saja sedap dipandang di usianya yang sudah tidak lagi muda. “Entah kenapa, aku sangat senang saat kamu memanggilku seperti itu,” ucap Puti membuat Nazhan menghela napas. Puti memang selalu saja mengalihkan topic pembicaraan saat dirinya memang tidak ingin melanjutkan pembicaraan. Namun, Nazhan tidak mau melepaskan Puti begitu saja.  “Aku akan selalu memanggilmu seperti itu, tanpa absen. Tapi, tolong jawab pertanyaanku. Apa kamu serius dan yakin dengan keputusanmu ini?” tanya Nazhan dan memberikan kode pada Puti untuk hati-hati saat akan menuruni anak tangga. Puti menunduk memperhatikan langkahnya sebelum menjawab, “Memangnya apa yang bisa membuatku tidak yakin? Jangan cemas. Aku yakin, ini adalah keputusan terbaik untuk Darka.” Nazhan menahan diri untuk menghela napas panjang. Jika Puti sudah berkata seperti ini, apa yang bisa ia lakukan? Saat ini, Nazhan hanya bisa yakin jika keputusan Puti yang sudah ia dukung, bisa membawa kabar baik bagi keluarganya. Nazhan pun membukakan sebuah pintu dan membawa Puti ke dalam ruangan. Di dalam sana, seorang perempuan paruh baya sudah menunggu dan memasang sebuah senyum lembut khas senyum seorang ibu. Perempuan tersebut lalu menyambut Puti dan Nazhan dengan ramah. “Bagaimana kabar Tuan dan Nyonya?” tanya perempuan paruh baya tersebut dengan nada ramah yang terdengar begitu tulus. Nazhan dan Puti jelas bisa merasakan ketulusan tersebut. Puti dan Nazhan dengan kompak menyunggingkan senyuman tipis. Nazhan menjawab, “Kabar baik. Lalu bagaimana dengan kabarmu, Sekar?” Perempuan paruh baya bernama Sekar tersebut mengangguk. “Kabar baik juga bagi saya, Tuan,” ucap Sekar lalu beranjak untuk menyajikan jamuan sederhana bagi pemilik yayasan panti tersebut. Sekar sendiri adalah seorang kepala panti. Ia sudah bekerja di sana sejak panti tersebut berdiri. Sekar sudah menunjukkan betapa dirinya bertanggung jawab dan setia dalam menjalankan semua tugasnya. Jadi, tidak perlu ditanyakan lagi seberapa Sekar sangat dipercaya oleh Nazhan dan Puti. “Silakan dinikmati,” ucap Sekar setelah selesai menyajikan teh hangat yang menguarkan aroma manis dan pahit yang sangat khas. Sekar tahu, jika ini adalah teh yang paling disukai oleh Puti. Karena itulah, Sekar sengaja mempersiapkan daun teh ini di ruangannya, untuk persediaan sewaktu-waktu saat Puti dan Nazhan berkunjung ke panti. Tentu saja Sekar harus menyajikan sesuatu yang bisa membuat Puti dan Nazhan senang dengan kunjungan mereka ke panti. “Apa kamu sudah menyiapkan apa yang kami minta?” tanya Puti tanpa basa-basi. Sekar tidak terkejut atau merasa tersinggung dengan apa yang dilakukan oleh Puti. Ia sudah lebih dari kata mengenal sikap Puti. Tentu saja, ia tahu jika Puti tidak senang basa-basi atau bahkan senang membuat lawan bicaranya senang dengan kata-kata manis yang penuh dengan kepura-puraan. Puti memiliki sudut pandang dan pemikiran unik yang tidak pernah bisa dimengerti oleh siapa pun, termasuk oleh suaminya sendiri. Namun, hal itulah yang membuat Nazhan makin hari, makin mencintai istrinya. Sebab setiap harinya, ada saja sisi lain Puti yang membuatnya terkejut dan terpukau dengan mudahnya. Sekar mengangguk dan menyerahkan sebuah berkas pada Puti. Sekar sudah menyiapkan apa yang diminta oleh Puti, tepat setelah Puti menghubunginya dan menyampaikan apa yang ia inginkan. Itu adalah sikap Sekar yang sangat disukai oleh Puti, dan membuat Sekar bertahan begitu ama di panti sebagai kepala pengurus yang sangat dipercaya oleh Puti. Tentu saja Puti menerimanya dan membukanya tanpa banyak kata. “Ada sepuluh orang yang memenuhi syarat usia dan syarat yang Nyonya dan Tuan ajukan. Nyonya bisa memeriksanya sendiri dari semua data yang sudah saya siapkan. Apa sekarang Nyonya dan Tuan ingin bertemu serta berkenalan secara langsung dengan mereka?” tanya Sekar saat melihat Puti memeriksa informasi yang sudah ia siapkan dengan seksama. Puti mengangkat pandangannya dan mengangguk. “Panggilkan mereka, aku ingin melihat mereka secara langsung,” ucap Puti pada Sekar. Meskipun terdengar tenang dan tidak ada kesan memerintah selayaknya seorang atasan, tetapi Sekar bisa merasakan betapa kharisma Puti bisa dengan mudah mengendalikan seseorang. Mendengar instruksi tersebut, Sekar pun memanggil sepuluh orang yang ingin ditemui oleh Puti dan Nazhan. Saat Sekar pergi, Puti pun memberikan berkas yang diberikan oleh Sekar, kepada Nazhan. Tentu saja, Puti ingin suaminya itu juga mengetahui siapa saja orang yang akan mereka temui, dan apa saja kemampuan mereka. Tak butuh waktu lama, kini Sekar kembali datang diikuti oleh sepuluh gadis dengan rentang usia 20-25 tahun. Kesepuluh gadis tersebut segera menyapa Puti dan Nazhan dengan sopan. Tentu saja, Sekar sudah lebih dulu memberitahukan pada kesepuluh orang gadis tersebut jika mereka dipanggil oleh pemilik yayasan. Namun, Sekar tidak menyebutkan atas alasan apa Puti dan Nazhan ingin menemui mereka. Nazhan selesai membaca semua data tersebut dan mengangkat pandangannya pada kesepuluh gadis di hadapannya. Semua gadis tentu saja cantik dengan pesona mereka masing-masing, Nazhan menyunggingkan senyuman tipis dan mengangguk sebagai tanda jika dirinya menerima salam mereka. Sementara itu, Puti meminta berkas yang sebelumnya diberikan pada Nazhan. Puti membaca sekilas data dari seorang gadis yang sejak tadi mencuri perhatiannya. “Nyonya dan Tuan Al Kharafi, ini adalah kesepuluh gadis yang saya sebutkan tadi. Mereka berusia sekitar dua puluh hingga dua puluh lima tahun. Mereka cukup cerdas dan cekatan dalam mengurus pekerjaan rumah tangga, karena mereka memang adalah pekerja tetap di panti asuhan ini. Ah, hanya Tiara yang memang adalah anak panti di sini, dan memilih tinggal untuk membantu mengurus adik-adiknya,” ucap Sekar. Puti yang mendengarnya mengangguk dan meletakkan berkas sebelum bangkit. Ia mendekati gadis yang sejak tadi mencuri perhatiannya. Gadis tersebut berperawakan mungil, bahkan lebih mungil daripada tubuh Puti yang sudah tergolong mungil untuk ukuran seorang perempuan. Puti berdiri di hadapan gadis yang kini tampak gugup. Melihat reaksinya itu, Puti tidak bisa menahan diri untuk mengulum senyum. Gadis ini sangat manis, pikir Puti. Jujur saja, Puti tidak pernah menilai seorang gadis seperti ini. Namun, Puti tidak bisa memungkiri jika dirinya memang sangat menyukai gadis ini. Puti memiliki penilaian tinggi untuknya. “Namamu, Tiara Alvira?” tanya Puti dengan nada lembut yang sama sekali tidak dibuat-buat. Mendengar pertanyaan tersebut, gadis mungil yang memang bernama Tiara Alvira tersebut tidak bisa menahan diri untuk mengangkat pandangannya. Netra indahnya yang berkilau saat tersorot cahaya matahari tampak bertemu tatap dengan netra indah Puti. “I-iya, itu nama saya, Nyonya,” jawab Tiara gugup. Bagaimana mungkin Tiara tidak gugup saat dirinya kini berhadapan dengan sang Nyonya Al Kharafi yang terkenal sangat dermawan dan cerdas. Tiara sudah sangat lama mendengar nama Puti, tetapi ini kali pertama dirinya bisa bersitatap sedekat ini dengan Puti, yang tak lain adalah idolanya. Ya, Tiara mengidolakan Puti. Tiara ingin dirinya tumbuh menjadi perempuan yang hebat seperti Puti. Selain menjadi perempuan cerdas yang memiliki pemikiran tajam, Puti juga sangat dermawan. Ditambah dengan suami yang sangat menyayanginya, tentunya hal itu semakin menambah kesempurnaan hidup Puti. Tentu saja hidup Puti terasa sangat seimbang, dan menjadi dambaan semua perempuan di dunia. Puti tersenyum manis dan menggeleng. Ia mengulurkan kedua tangannya dan menggenggam telapak tangan Tiara yang dihiasi beberapa kapalan, tanda jika kehidupannya selama ini sama sekali tidak mudah. Tiara jelas terkejut dan malu, karena Puti pasti bisa merasakan kapalan tersebut dengan jelas. Namun, Puti sama sekali tidak terganggu dengan kapalan Tiara. Puti malah menggenggam tangan Tiara dengan lebih erat dan berkata, “Jangan panggil aku Nyonya, panggil aku … Mama.” Tiara semakin dibuat terkejut dengan apa yang ia dengar. “Ma-Mama?” beo Tiara. Tentu saja ia merasa tidak yakin apa yang ia dengar tersebut benar. Bagaimana mungkin Puti memintanya memanggil dengan panggilan Mama. Apa mungkin, Puti ingin mengangkatnya sebagai anak? Namun kenapa? Bukankah saat ini Tiara sudah terlalu dewasa untuk diangkat menjadi seorang anak? Melihat kebingungan dan keterkejutan yang dirasakan oleh semua orang dalam ruangan tersebut, Puti pun tidak bisa menahan diri untuk tersenyum semakin lebar saja. Puti menatap Tiara dengan penuh keseriusan dan mengangguk tegas. “Ya. Mulai saat ini kamu harus berlatih untuk memanggilku, Mama. Mengerti?” Tiara dengan polos menggeleng. “Saya tidak mengerti. Kenapa saya harus memanggil Nyonya dengan panggilan mama?” tanya Tiara meminta kejelasan. Puti hampir saja terkekeh sebelum memberi jawaban, “Ayolah, tidak ada menantu yang memanggil ibu mertuanya dengan panggilan Nyonya, bukan?” Tiara yang mendengarnya mengangguk. “Itu benar … tunggu, apa?! Menantu?!” Melihat keterkejutan Tiara, Puti sama sekali tidak bisa menahan diri untuk terkekeh. “Ah, rasanya pasti akan sangat menyenangkan saat memiliki menantu semenggemaskan dirimu. Tidak perlu terkejut. Hari ini, aku resmi memilihmu menjadi menantuku. Bersiaplah, kamu akan menikahi putraku, Darka.”   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD