PROMISE - BAB 2

1718 Words
Aku masih berada di Budapest bersama suamiku. Tugas dia di sini belum selesai. Jadi, mau tidak mau aku harus mengikuti dia tinggal di Budapest. Pagi ini, aku akan menemani suamiku ke rumah sakit. Dia adalah dokter anak yang sangat humoris dan menyenangkan, semua pasien yang ia tangani pasti bahagia dan senang. Habibi orang yang humoris dan mudah akrab dengan anak-anak, karena sifatnya yang humoris dan menyenangkan, dia cocok sekali menyandang profesinya sebagai Dokter Anak.   Habibi memegang tanganku, lebih tepatnya menggandeng tanganku. Dia tidak pernah melepaskan tanganku ketika kami sedang berada di luar dan jalan bersama. Dia sungguh romantis, tapi aku belum bisa memberikan kewajibanku sebagai istri padanya. Aku sangat mencintainya. Namun, masa laluku yang terus menghantuiku. Bagi Habibi, aku bukan hanya seorang istri yang harus hanya berporos untuk kegiatan ranjang saja. Baginya aku adalah partner hidupnya. Aku pun sebaliknya. Dia menyayangi aku lebih dari menyayangi dirinya sendiri. Kadang aku merasa sangat berdosa sekali, tidak mau melayaninya saat dia ingin sekali menyalurkan hasratnya.   Aku sadar, di luar sana banyak sekali wanita yang berlomba-lomba untuk mendapatkan hati suamiku. Dan, aku adalah pemenangnya. Ya, mungkin bagi mereka aku adalah pemenangnya. Namun, bagiku aku belum menjadi pemenang yang sempurna selama hidup dengan Habibi. Aku belum bisa menjadi istri yang sempurna untuk Habibi. Padaha Habibi sudah sempurna sekali mencintaiku.   Aku teringat kala itu, saat pertama kita bertemu. Pertemuan singkat yang sedikit berkesan dan lucu itu. Jika teringat aku hanya bisa senyum-senyum sendiri. Bahkan, aku tidak menyangka dia akan menjadi suamiku. Dan, kata-katanya menjadi doa. Dia selalu berkata kalau aku adalah jodohnya. Ainun adalah milik Habibi, dan Ainun adalah jodoh Habibi. Itu yang sering ia katakan, sejak pertama bertemu hingga pertemuan berikutnya dan seterusnya sebelum kami menikah.   Aku duduk di depan Habibi. Habibi sedang sibuk dengan mengecek pekerjaannya sebelum visite ke ruang perawatan pasiennya. Aku selalu menemaninya bekerja. Aku juga selalu mendampinginya saat dia akan pergi seminar. Dia tidak pernah meninggalkanku sendirian di rumah. Dia ingin aku tahu apa saja yang ia kerjakan. Aku duduk memandangi wajahnya yang tampan sekali. Sungguh aku mencintai suamiku. Aku benci dengan diriku sendiri, karena aku belum bisa melakukannya dengan dia. Aku mengingat kembali saat pertama kali bertemu dengannya.   #Flashback On#   Saat itu hatiku sedang bimbang, karena hubunganku dengan Dio semakin rumit. Karena Aku dan Dio sudah berani menjurus ke hal-hal negatif. Yang membuat aku melayang menikmati sentuhan dari Dio kala itu. Ya, kami sering melakukan itu. Hingga aku merasa cemas sendiri. Dan aku memilih pergi menepi setelah bertemu dengan Dio malam itu.   Dio menemui ku, untuk memberi kejutan, karena malam itu aku  berulang tahun. Dio memberikan aku cincin sebagai hadiah ulang tahunku, dan cincin yang Dio berikan padaku malam itu, masih aku simpan hingga sekarang. Habibi tahu, itu cincin pemberian dari Dio. Karena aku bercerita dengan dia sebelum aku menikah dengannya. Setelah Dio memberiku kejutan di Rooftop kantor Dio, aku dan Dio kembali pulang. Sebelum Dio turun dari mobilku, kami melakukan hal yang tak seharusnya kamu lakukan. Ya, meskipun hanya sebatas bagian atas tubuhku yang terjamah Dio. Tapi, seharusnya itu tak ku berikan padanya.   Aku yang cemas kala itu akhirnya menepikan mobilku di depan Mini Market. Aku membeli kopi panas yang dan meminumnya di depan mini market untuk menetralkan  pikiranku. Aku tidak langsung pulang, padahal sudah hampir jam 12 malam, dan saat itu adalah hari pernikahan Shifa.   Aku duduk di depan mini market yang dekat dengan Rumah Sakit, yang buka 24 jam. Aku meneguk kopi yang aku pesan tadi. Aku semakin takut pada hubunganku dengan Dio. Dio yang semakin menjerat ku ke dalam cintanya, sedang nasib percintaan ku belum tentu di restui oleh orang tuaku.   "Maaf mba, boleh duduk di sini?" tanya seorang pria dengan membawa teh hijau yang ia pesan dari dalam mini market padaku.   "Iya, silakan," ucapku yang masih saja memandangi ponselku yang sengaja aku matikan.   "Mba sedang menunggui pasien di sini?" tanya Pria tersebut.   "Tidak, tadi baru pulang dari rumah saudara, mampir di sini dulu." Aku semakin risih dengan pria itu, tapi aku masih nyaman duduk depan pria itu dan menikmati kopi hitam kesukaanku.   "Mba, pecinta kopi hitam?" tanya Pria itu.   "Emm..iya," jawabku   "Perempuan jangan sering minum kopi, mba," ucap pria itu.   "Ya, memang suka, mau bagaimana lagi," ucapku dengan agak ketus.   "Huh, dasar orang aneh. Mau aku minum apa bukan urusan kamu, kali," gumamku   Aku memandangi ponselku lagi, ingin sekali aku menghidupkan ponselku. Namun, aku benar-benar ingin menenangkan pikiranku dengan menikmati kopi hitam. Aku tidak ingin pulang, karena mataku masih agak sembab karena aku menangis, meratapi nasib percintaanku dengan Dio.   Pria di depanku masih menikmati teh hijaunya. Aku menatap intens pria itu. Pria berkulit putih, hidung mancung, dan berjambang tipis. Aku melihat pria itu mirip dengan abah yang juga memilik jambang. Entah karena aku sedang menyesali perbuatannya tadi dan merasa berdosa sekali pada abah, jadi aku melihat pria itu mirip dengan Abah.   "Jangan melihat, mba, nanti jatuh cinta," ucap pria itu yang dari tadi juga mencuri pandang padaku.   "Ehh…siapa yang melihat anda. Jangan kepedean, mas," ucapku dengan kesal.   "Jangan jutek gitu, nona," ucap pria itu.   Aku hanya diam saja, melanjutkan menikmati kopi hitamku. Banyak sekali para suster yang shift malam yang keluar masuk mini market. Ya, karena mini market ini berada di depan Rumah Sakit, dan banyak sekali orang yang berdagang di depan mini market.   "Malam, Dok," sapa seorang suster pada pria di depanku   "Malam, sus," jawab pria itu.   "Hah, Dokter? Pria di depanku seorang Dokter?" gumamku dengan menatap pria itu lagi.   Aku meneguk kopiku kembali dan menikmatinya setiap tegukan yang berhasil menenangkan pikiranku.   "Dok, mari duluan," ucap Suster itu   "Iya, sus," jawab pria itu.   "Dok, ini calon istrinya?" tanya suster itu dan menunjuk ke arahku   "Ahh…buk…." ucapanku berhenti karena pria itu langsung menukasnya.   "Iya, sus. Insya Allah," tukas pria itu saat aku mau berbicara.   "Gila, Dokter gila!" umpatku dalam hatinya.   Pria itu tersenyum puas dan melirikku, lalu para suster cantik tadi meninggalkan mini market.   "Ehh...kamu apaan, sih? Sial banget malam ini ketemu kamu, ngaku-ngakuin aku calon istrimu lagi," ucapku dengan kesal.   "Mereka para suster yang menakutkan soalnya, kalau aku jawab bukan, mereka masih mengejarku," ucapnya   "Alah, sok ganteng, kamu! Sial hidupku ketemu kamu!" Aku beranjak dari tempat duduknya. Dan akan kembali pulang.   "Eh, mba, jangan marah. Maaf ya, mba. Tapi terima kasih, lho. Mba benar-benar menyelamatkanku," ucap pria itu lagi.   "Terserah!" tukasku dengan kesal dan mengambil kunci mobilku.   "Ehh nama mba siapa? Kita belum kenal," tanya pria itu, dan seketika aku menghentikan langkahku lalu membalikan badannya menatap pria itu.   "Ainun, namaku," ucapku   "Aku Habibi," ucap pria itu.   "Aku tidak tanya," tukasku   "Eh, nama kita cocok ya? Habibi - Ainun, jodoh kita, mba," ucap Habibi, dan aku masih menatap pria itu dengan kesal.   "Jodoh? Mimpi kamu!" ucapku dengan ketus dan sambil berlalu meninggalkan Habibi.   Aku segera masuk ke dalam mobil dan meninnggalkan pria itu. Sebelum melajukan mobilku,  alu melihat lagi pria yang bernama Habibi itu.   "Huh, mau Habibi, kek. Habibah, kek. Bodo amat!" Aku melajukan mobilnya untuk pulang ke rumahnya.   #Falshback Off#   Habibi menyentuh pipiku, saat aku menatapnya dengan lekat di depan dia. Aku memang sedang membayangkan pria yang ada di depanku. Pria yang baik dan tampan, dia adalah suamiku yang sangat mencintaiku. Ya, aku sedang membayangkan pertemuan pertamaku dengan dia. Habibi menyentuh kepalaku dan mencium keningku. Aku merasakan embusan napasnya yang halus di wajahku saat mencium keningku. Dan ini benar-benar membuatku nyaman. Aku selalu di buat nyaman olehnya. Dia benar-benar suami yang sempurna dunia akhirat.   "Kamu melamun apa? Melamun Dio lagi?" tanya Habibi.   "Kok gitu tanyanya? Tidak, aku tidak memikirkan dia," jawabku. Karena memang aku sedang mengingat pertama kali aku bertemu dengannya.   "Lalu?" tanya dia lagi sambil jari-jemarinya menyentuh pipiku lagi.   "Aku sedang mengingat saat pertama kita bertemu saja, Habibi," jawabku sambil menggenggam tangannya dan aku mencium tangan Habibi.   "Ehh nama mba siapa? Kita belum kenal," ucap Habibi di depanku dengan senyuman yang mematikan syaraf otakku. Sungguh senyumannya sangat manis sekali.   "Ainun, namaku," ucapku dengan mengembangkan senyum di depan Habibi. Dia manarik hidungku saat aku berkata seperti itu dan mendekatkan wajahnya ke wajahku. Dia menempelkan keningnya pada keningku, dan hidung kita saling menempel juga. Aku masih merasakan embusak napasnya yang lembut.   "Aku Habibi," ucap Habibi, yang lagi-lagi dia menyimpulkan senyum manisnya di hadapanku lalu mengecup kilas bibirku.   "Aku tidak tanya," ucapku, dengan menyentuh pipi Habibi dengan lembut dan menciumnya.   "Eh, nama kita cocok ya? Habibi - Ainun, jodoh kita, mba," ucap Habibi, dan aku masih terhipnotis senyumannya yang benar-benar mematikan syaraf otakku.   "Jodoh? Mimpi kamu!" ucapku dengan tertawa kala mengingat itu.   "Tapi kita sudah berjodoh Ainun," ucap Habibi dengan memelukku erat.   "Maafkan aku Habibi, aku belum bisa melakukannya, tapi aku nyaman berada di sampingmu, Habibi," ucapku dengan berlinang air mata saat Habibi memeluku dengan sayang.   "Sudah jangan menangis, kamu mau mendongeng dengan anak-anakku, jangan tampakkan wajah sendumu, sayang. Aku tidak apa-apa. Karena kamu masih berada di sisiku. Aku akan menunggumu hingga siap, sudah jangan menangis." Habibi berkata dengan mengusap air mataku dan mencium kelopak mataku.   Aku benar-benar merasa berdosa sekali. Tapi aku takut, karena aku tidak seutuhnya memberikan ragaku ini untuk Habibi. Ya, Dio lah yang pertama menjamah tubuhku. Dan, saat aku akan melakukannya dengan Habibi, ingatan saat aku hampir bercinta dengan Dio itu selalu muncul, dan membayangiku. Bayang-bayang dosa masa lalu saat bersama Dio kembali muncul di depanku.   Bayang-bayang saat aku akan melakukannya dengan Dio. Saat Dio menjamah bagian atas tubuhku, dan aku sangat menikmatinya, hingga aku polos di depan Dio, Dio juga polos di depanku saat itu. Ya, meskipun aku masih perawan, dan hingga saat ini. Tapi, perbuatan itu sudah melampaui batas. Dio sudah menikmati keindahan tubuhku saat itu, dan aku juga sudah menikmati kekarnya tubuh Dio saat itu. Dan, saat itu, Dio sama sekali belum menyentuh Rania yang sudah menjadi istrinya.   Kami sering melakukan itu di belakang Rania. Kami sering bertemu, dan melakukannya. Hanya sebatas foreplay saja tanpa menautkan dua tubuh menjadi satu. Namun, aku malu saat Habibi akan melakukannya. Aku takut, aku merasa kotor dan berdosa sekali. Orang sebaik Habibi mendapatkan aku yang sudah tidak utuh bingkainya. Aku bukan wanita yang suci seutuhnya. Tubuhku pernah terjamah, bagian intimku juga pernah terjamah, walau hanya dengan sentuhan tangan Dio saja. Aku sangat malu, sungguh malu dengan suamiku. Itu yang membuat aku belum bisa melakukannya dengan Habibi. Dan, hingga saat ini aku belum melakukannya karena takut dan malu.   Semua itu aku ceritakan pada Habibi. Dia tahu bagaimana terpukulnya aku dulu, saat semua menyalahkan aku. Namun, Habibi dan keluarganya selalu mensupport ku agar aku tidak larut dalam kesedihan. Hanya keluarga Habibi yang mau menerimaku. Papah Elang dan opa Wisnu lah yang menjadi penyemangatku. Mereka berdua tidak hanya menganggap ku menantu, melainkan aku di anggap seperti anaknya dan cucunya sendiri.   Habibi lelaki terhebatku. Dia mampu meredam hasratnya hingga sekarang. Dia mampu menungguku siap menjalankan kewajibanku. Dia juga sabar menghadapi ku jika aku sedang menangis mengingat masa laluku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD