Vaye lagi-lagi membuka matanya saat mentari telah tenggelam di ufuk barat. Dia terduduk sambil menutupi wajahnya, malu, karena baru saja menangis layaknya anak kecil pada seseorang yang bahkan belum pernah dia kenal benar sebelumnya.
Tidak ada siapa pun di kamarnya kali ini. Dan setelah beberapa waktu melakukan ritual gelisah akibat tindakan yang menurutnya sangat bodoh, Vaye memutuskan untuk keluar kamar dan kembali ke kediamannya mengingat Jay mungkin saja khawatir akan keberadaannya.
Dan seperti yang Vaye duga, rumah keluarga Tritas bahkan tidak bisa dibandingkan dengan rumah milik keluarganya dulu. Desain interior rumah bergaya Eropa, penuh ukiran artistik dengan lorong-lorong panjang berkaca. Lampu-lampunya saja diukir indah dan berjejer di sepanjang lorong, di mana Vaye bisa melihat foto-foto keluarga Tritas di sini.
Vaye berhenti di depan sebuah foto dengan tulisan -Lussac Garlos Tritas, 1 tahun- , foto milik Lussac saat dirinya masih bayi dan dibalut pakaian bergaya Eropa dengan wajahnya yang tenang di kasur bayi miliknya. Ingin rasanya Vaye tertawa, melihat wajah bayi Lussac yang kemerahan terlihat sangat lucu dibandingkan fotonya saat sudah dewasa yang bagi Vaye terlihat sangat sombong.
Vaye beralih pada foto Lussac saat dia berumur 5 tahun. Di foto itu terpotret saat Lussac dengan balutan jas hitamnya difoto di depan masion mewah sambil menggendong tas kecil. Mungkin itu saat dia pertama masuk sekolah, lagi-lagi tidak pantas dengan wajahnya yang merah mungkin karena malu.
Tawa kecil Vaye berubah menjadi kesedihan saat ia ingat bahwa seumur hidupnya, belum pernah ayah dan ibunya memfoto dirinya seperti itu. Vaye dianggap sebagai aib bagi keluarganya, tidak diijinkan keluar dan diabaikan begitu saja.
Satu air mata yang menetes dari matanya Vaye usap dengan kasar. Ah.... Sejak kapan ia menjadi secengeng ini? Padahal dulu, ia bahkan biasa saja melihat foto bahagia keluarganya tanpa Vaye di dalamnya.
“Aku tahu aku ini tampan. Tapi perlukah kamu terharu ketika melihat fotoku sampai menangis begitu?”
Suara yang begitu Vaye kenal mendekat dari arah sampingnya. Mood Vaye yang semula melow berubah menjadi kesal begitu saja saat dirinya dihadapkan dengan wajah sombong khas Lussac dan gaya bicaranya yang narsis. Vaye berdecih kecil, berusaha meledek Alpha menyebalkan itu dengan pemikirannya sendiri.
“Aku menangis membayangkan betapa sedih ibumu yang harus memiliki anak berwajah konyol sepertimu. Ah, padahal ibumu cantik sekali,” desah Vaye pura-pura kecewa. Lussac tidak marah kali ini, matanya yang tajam dapat dengan jelas melihat kesedihan mendalam dalam sorot mata Vaye. Lussac tidak ada keinginan untuk memperburuk suasana hati Vaye, setidaknya. Jadi dia berlalu begitu saja dan memberi tanda agar Vaye mengikutinya.
Tidak ingin tersesat di masion besar ini, Vaye memilih untuk menjadi anak penurut sambil menata moodnya yang sedang labil saat ini. Matanya teralih saat mereka baru saja melewati foto besar yang terletak di akhir lorong. Potret seorang Omega yang begitu manis tercetak di sana, tengah tersenyum lebar seperti sedang memainkan kamera yang memfotonya. Foto itu terlihat begitu indah dan menyihir. Membuat Vaye bertanya-tanya apakah foto itu merupakan potret adik yang selama ini selalu Lussac singgung.
“Apa yang pikirkan? Jalanlah dengan benar, nanti kamu jatuh lagi,” ujar Lussac yang mengembalikan kesadarannya kembali.
Ah, mungkin dia akan bertanya nanti saja. Perut Vaye sudah kembali berdemo minta diisi saat ini.
*****
“Ah, Vaye kamu sudah baikan? Mommy telah membuatkanmu makan malam, kemarilah dan makan bersama kami.”
Sesampainya di ruang makan, Vaye segera disambut Gena yang segera menghampirinya untuk memegang hangat tangannya. Vaye lagi-lagi merasa terharu, setelah sekian lama berharap untuk mendapatkan kasih sayang seperti ini.
Beruntung Vaye bisa menahan tangisnya. Dia tidak boleh terlihat lemah untuk kali kedua didepan Omega manis ini.
Gena menuntunnya untuk duduk disebelahnya, sementara Lussac duduk berhadapan dengan Gena dan Ryan duduk menghadap ke arah mereka semua.
Vaye yang menyadari keberadaan Ryan menunduk hormat. Setidaknya dia masih tahu tatakrama pada keluarga yang telah begitu baik kepadanya walaupun anaknya memiliki kelakuan yang menyebalkan menurut Vaye.
Ryan tersenyum lembut, tangannya terulur untuk mengusap rambut Vaye pelan membuat tubuh kecil itu sedikit tersentak. Inikah rasanya sentuhan dari tangan besar dan hangat milik seorang ayah?
“Kamu tidak lagi sepucat saat Lussac pertama kali membawamu. Makanlah, tubuhmu pasti butuh banyak energi saat ini.”
Vaye mengangguk mendengar ucapan Ryan, menjalani makan malam dengan hati-hati takut jika saja dia membuat kesalahan. Gena sadar akan kegugupan Vaye, jadi dengan lembut dia pegang tangan Vaye yang gemetaran untuk menenangkannya, memberi seulas senyuman lembut saat Vaye melihatnya terkejut.
“Tidak perlu gugup. Tidak akan ada yang akan menilaimu di sini.”
Gena tahu apa yang terjadi pada Vaye setelah Lusaac menceritakan segalanya. Hidup sebagai Omega elit memang menyulitkan untuk siapa pun juga. Apalagi dalam kasus Vaye, orang tuanya tidak mau menerima keadaan Vaye yang terlahir sebagai seorang Omega.
Setidaknya, Gena ingin membagi sedikit kebahagiaannya pada anak ini. Hanya itu yang Gena pikir saat pertama kali melihat Vaye yang dibawa Lussac dalam keadaan babak belur.
Lagi-lagi bibir Vaye bergetar. Bisakah, bisakah dia sedikit berharap bahwa ia bisa memiliki keluarga hangat seperti ini?
Vaye berusaha untuk lebih rileks setelahnya. Makan malam kembali berlanjut, dengan candaan lecil Ryan pada Lusaac untuk mencairkan suasana yang ada.
*****
“Terima kasih atas semua kebaikan kalian Tua-”
“Mommy dan Daddy. Kamu bisa memanggil kami begitu Vaye. Aku dan Ryan sudah menganggapmu sebagai anak kami sendiri sekarang,” potong Gena lembut. Vaye dulu bahkan tidak diijinkan untuk menyebut orang tuanya dengan panggilan manja tersebut. Bagaimana bisa kini orang lain dengan hangat menawarinya sebuah panggilan seperti itu?
“Vaye....” desak Gena lucu. Well, mungkin sifat keras kepala Al berasal dari darah Omega beranak tiga ini.
“Eh iya….. Mom, Dad,” ralat Vaye canggung. Ada sedikit perasaan senang saat akhirnya bisa mengucapkan kalimat tersebut. Membuatnya tanpa sadar melengkungkan bibirnya untuk membentuk sebuah senyuman kecil.
Setelah makan malam kemarin, Gena memaksa Vaye untuk menginap dengan alasan bahwa Lussac sudah menghubungi Jay bahwa Vaye akan menginap rumah mereka. Itu semua merupakan usulan dari Gena tentu saja, dan tugas Lussac lah untuk memenuhi semua keinginan sang mom tersebut.
Gena tersenyum bangga, sementara Ryan mengusap kepala Vaye lagi-lagi seperti yang biasa dia lakukan untuk anak bungsunya, Al. Keduanya merasa bahwa Vaye sebenarnya anak yang baik, terlepas dari tindikan dan gaya pakaiannya yang seperti preman.
“Baiklah, Mom ingin kamu sering-sering main kesini ya.. Rumah ini terlalu sepi untuk orang seperti kami. Lussac, kamu antar Vaye dengan selamat ya,” pinta Gena yang dibalas anggukan patuh dari anak tertua keluarga tersebut.
Dalam perjalanan hanya keheninganlah yang menyambut mereka, karena baik Lussac dan Vaye tidak tertarik untuk bicara sebelum Lussac akhirnya menutuskan untuk mengeluarkan apa yang dia ingin tanyakan sejak kemarin.
“Para Alpha itu, sebenarnya apa masalah mereka?” tanya Lussac hati-hati. Ini adalah kali pertamanya Lussac penasaran pada seseorang yang jelas tidak memiliki ikatan darah dengannya. Namun bagaimana pun Lussac penasaran, sangat penasaran malah.
Vaye meliriknya sekilas. Mungkin.... Tidak apa memberitahu Lussac setelah apa yang telah lelaki itu lakukan untuknya selama dua hari ini.
“Mereka teman sekolahku saat aku masih sekolah dasar dulu. Mereka tidak terima aku seorang Omega berada yang bersekolah dalam sekolah Alpha. Dan aku benci direndahkan hanya karena aku seorang Omega,” jelas Vaye singkat. Lussac tetap fokus pada jalanan, walaupun ucapan Vaye cukup membuatnya kaget.
“Kata-katamu sama seperti yang adikku ucapkan saat memaksa ingin sekolah reguler dulu,” ujar Lussac lirih. Entah kenapa Vaye selalu saja bisa mengingatkan Lussac pada Al, yang sama-sama merasa bahwa perbedaan kasta ini telah mendiskriminasi orang-orang seperti mereka.
“Adikmu?” tanya Vaye heran. Apa dia lelaki menawan yang sebelumnya Vaye lihat potretnya di ujung koridor? Dia tidak melihatnya di mana pun selama dua hari Vaye berada di masion Tritas.
Lussac mengangguk. “Adik bungsuku. Dia juga benci diskriminasi antara kaum Alpha dan Omega. Coklat yang kubeli waktu itu merupakan hadiah yang biasa kubelikan untuk dirinya,” jelas Lussac. Vaye mengangguk mengerti. Anak terlahir keluarga Tritas seharusnya masih muda bukan?
“Apa.... Dia ada di sekolah sekarang?” tanya Vaye menebak. Perasaan Vaye mendadak tidak enak saat melihat wajah Lussac berubah menjadi kompleks. Lelaki Alpha itu meremas stir mobilnya kuat, tatapannya berubah antara sendu dan juga dendam.
“Dia sudah menikah, dengan mate pilihannya,” jawab Lussac singkat.
Vaye tidak tahu harus membalasnya bagaimana kali ini. Lussac...... Tampaknya tidak terlalu suka dengan pertanyaannya.
Untung saja, mobil Lussac telah sampai didepan rumah yang merangkap sebagai bar milik Jay. Vaye ingin segera turun, apalagi perasaanya sudah tidak enak ketika melihat wajah Lussac semakin menggelap saja kini.
“Te-terima kasih atas tumpangannya,” ucapnya sopan. Vaye baru saja ingin membuka pintu sebelum tangan Lussac tiba-tiba menahan tangannya cepat.
“Maaf jika aku menakutimu sebelumnya. Aku pasti telah membuatmu tidak nyaman, dengan mengeluarkan aura seperti itu. Dan jangan bekerja di bar lagi, itu tidak baik untukmu,” titah Lussac. Vaye merenggut tidak terima, lalu melepaskan tangan itu dan keluar dari mobil begitu saja. Lama berada semobil dengan Alpha akan membuat nafasnya sesak, apalagi jika ditatap serius seperti Lussac menatapnya tadi.
Matanya tidak sengaja berpapasan dengan Lussac yang masih saja memperhatikannya dari dalam mobil. Malas berpikir yang tidak-tidak, Vaye segera masuk tanpa menoleh kebelakang untuk kedua kalinya.
Terserahlah. Dia mungkin hanya sedang memikirkan sesuatu. Pikir Vaye positif.
To be continued