1 - Baru Tapi Tak Asing

1095 Words
"Coba matanya dibuka pelan-pelan," Dengan perlahan aku membuka mataku, terasa sangat asing seolah ini pertama kalinya aku melihat dunia. Sinar matahari yang begitu terang menyorot langsung dari luar, disengaja? "Bagaimana? Bisa melihat dengan jelas?" aku menoleh kesamping, laki-laki bermata sipit dengan kacamata membingkai matanya. "Iya, dan aku siapa?" Pertanyaan itu membuat dokter itu menarik napas cepat, apa yang salah? Aku memang tidak memahami apa yang sedang terjadi disini. Siapa aku? Memori dalam ingatanku tidak ada sama sekali, kosong. "Aku tidak percaya kalau kejadiannya akan separah ini, untuk 2 hari kedepan kamu akan tetap menjadi pengawasan utama tim dokter. Setelahnya akan dipindahkan ke klinik dekat dermaga untuk perawatan intensif. Jangan terlalu memaksakan pikiranmu, istirahatlah." Ku tatap kepergian dokter itu dengan kebingungan yang begitu besar, disini. Aku seolah lahir tanpa bekas ingatan apapun, ada banyak hal yang harusnya ada tapi tiada. Dalam hati, disini sesak tak tertahankan, apa ini dan siapa aku? *** "Apa keluarganya tidak akan mencarinya dokter?" "Setelah melihatnya seperti kemarin kamu masih mengatakan hal seperti itu?" "Kasihan sekali dia, andaikan aku jadi dia maka aku lebih memilih kematian daripada hidup mengerikan." Dokter itu terdiam, siapa peduli dengan kematian selagi masih diberi kesempatan maka manusia akan terus menerus mengejar obsesi mereka dan tidak akan peduli dengan konsekuensinya di masa depan. "Tuhan seakan ingin dia hidup dengan jati diri yang baru, Dok. Walaupun hanyalah amnesia sementara tetapi tetap saja itu bukan jaminan untuk membuatnya bertahan hidup." Suster itu berlalu, meninggalkan dokter bername tag Arfan itu termenung, begitu kah arus kehidupan? Dokter Arfan membereskan barangnya kemudian berjalan keluar ruangan, berhenti melangkah saat perempuan yang baru saja di operasinya kemarin sedang termenung menatap sinar matahari, apakah perempuan itu sadar atau sudah mengingat sesuatu tentang kejadian mengerikan itu? "Bagaimana keadaanmu?" tanyanya setelah berdiri di samping bankar. *** "Bagaimana keadaanmu?" aku menoleh, dokter ini lagi? "Dokter?" "Iya?" "Kenapa aku merasa kalau sebenarnya saat ini aku baru saja keluar dari kegelapan? Aku merasa ini pertama kalinya aku menatap sinar matahari yang begitu terang, bukankah ini ambigu?" Tidak ada jawaban, aku menoleh dan dokter itu malah termenung. "Maafkan aku, permisi." Dia pergi dan aku tersenyum tipis. Kenapa dia harus meminta maaf padaku sedang saat ini kami baru saja bertemu? Aku kembali menatap jendela dengan pandangan gamang, ini sangat asing untukku. Siapa aku? Darimana aku berasal? Mengapa aku tidak punya ingatan apapun tentang kehidupanku yang sebenarnya? "Ini obatnya, segera di minum." "Suster," "Ya?" "Kenapa bisa aku disini? Maksudku kenapa aku bisa terluka dan siapa aku?" Bukannya mendapatkan jawaban yang ingin kudengar, suster itu malah menatapku aneh dan tanpa mengatakan apapun ia berlalu setelah sebelumnya menyimpan nampan berisi obat-obatan di nakas dekat bankar. Aku menatap jendela kembali, melihat pantulan wajahku sendiri. Rambut panjang sampai siku, bibir pucat dan mata sipit yang sangat terlihat menyedihkan. Rambut tidak tertata rapi seolah sudah berbulan-bulan tidak di rawat dengan baik. Aku menatap jemariku, tidak lembut seperti tangan perempuan pada umumnya. Berwarna sedikit gelap, kuku yang sudah memanjang, dan permukaannya sedikit kasar, apa yang terjadi denganku? "Kudengar sebulan lalu para tersangka sudah tertangkap, para korban benar-benar memprihatinkan dan kata para suster kalau aku tidak salah denger, salah satu korbannya ada disini." Mataku menatap nanar dua orang yang baru saja berlalu dengan segala bicaranya, pintu memang dibiarkan terbuka dan jangan membayangkan kamar ini luas nyatanya benar-benar sempit. Hanya terdiri satu ranjang saja didalamnya, tidak ada kulkas, TV dan AC. Hanya kipas kecil di atas nakas itupun anginnya tidak terasa sama sekali. Jika aku menatap jendela maka yang terlihat hanyalah pagar rumah sakit bukan tanaman Indah seperti pada umumnya, aku tidak tau sedang berada dimana ataupun kenapa berakhir dititik ini, Dengan gerakan sangat pelan dan rapuh, aku meraih obat yang suster bawa tadi. Meminumnya dengan cepat agar lekas pulih dan keluar dari sini. "Jangan terlalu percaya diri dengan apa yang kamu lakukan, dunia bisa mengambilnya dalam satu proses menjatuhkan." Kepalaku tiba-tiba terasa sangat sakit, potongan kalimat apa itu? Kenapa suaranya terasa tidak asing untukku? Terasa semakin sakit saja, aku mengulurkan tangan memencet tombol berwarna kuning yang ada didekat bankar, semenit setelahnya semuanya gelap. "Kenapa kita harus mempedulikan perempuan buta sepertinya? Sudahlah, akan lebih baik kalau dia dibunuh saja maka beban kita akan ringan." "Engga, dia itu berguna. Cucian dia yang urus, masakan dia yang masak dan sudah bertahun-tahun kita mengakui rasanya. Dia memang buta tapi keahliannya sangat luar biasa." "Terserah, dan kurasa ada perasaan yang harusnya tidak hadir." "Bagaimana dokter? Aku benar-benar panik saat masuk ke kamarnya malah menemukan dia pingsan." mataku mengerjap pelan, dan sinar matahari langsung menghalau mataku. Ingatan apa tadi? Siapa mereka? Aku menatap dokter dan suster disamping bankar, terlihat khawatir? "Sudah kukatakan, jangan lengah dan terus awasi. Saat ini masih ada beberapa tersangka yang belum ditemukan, bagaimana kalau saat ini mereka masih mengincarnya dan membawanya kedalam gelap itu lagi?" Aku tercengang, suster itu terlihat menunduk dan merasa sangat bersalah. "Dokter." panggilku, keduanya menoleh. Dokter itu dengan sigap memeriksaku seolah aku adalah berlian untuknya. "Kalau begitu saya permisi dokter," dokter itu hanya mengangguk, aku menatapnya seakan menunggu jawaban. "Pulihkan dulu keadaanmu, setelahnya kita akan membahas yang ingin kamu ketahui." Ujarnya, seakan mengerti arti tatapanku. "Namaku... Siapa namaku? Kenapa aku tidak tau?" pergerakan Dokter itu berhenti,padahal tadinya ingin memeriksa suhu badanku. "Qeila, namamu adalah Qeila. Hanya itu yang aku tau," jawabnya, kembali melanjutkan kegiatannya. Qeila? Tapi kenapa aku merasa kalau itu terasa asing, feeling-ku mengatakan kalau itu bukanlah namaku. "Apa sebelumnya aku buta, Dokter?" dia mematung kembali, "Apa itu benar?" tanyaku kembali, "Ada baiknya kamu memulai hidupmu dengan baik, Qeila. Jangan berusaha mengingat apa yang seharusnya kamu tau, dunia kamu sebelumnya tidak tertolong jadi berhenti mencari tau atau kamu sendiri akan hancur akan kebenarannya." Berhenti mencari tau atau kamu sendiri akan hancur akan kebenarannya? "Apa semengerikan itu, Dokter?" tanyaku pelan, sangat pelan lebih mirip bisikan. Tapi karena dokter itu berdiri di dekatku makanya dapat ia dengar dengan jelas. "Tidak ada masa lalu Indah, semua masa lalu pastinya mengerikan makanya sebagian orang memilih melenyapkannya dengan paksa. Berlakukan hal itu padamu juga daripada kamu menemukan nereka keduamu." "Kenapa aku merasa kalau dokter itu bukan orang asing? Apakah sebelumnya kita pernah dekat atau satu keluarga? Oh iya, nama dokter siapa?" "Arfan, dokter Arfan." Aku sedikit mendongak menatap dokter yang sejak aku membuka mata dialah yang selalu berkeliaran di sekitarku, dia tampan dalam versiku sendiri, cukup nyaman dipandang dan cara berbicaranya cukup sopan. Tapi sayangnya aku seperti melihat sorot luka yang begitu besar dalam matanya setiap mata kami saling bertubrukan. "Jangan membawa pikiranmu berpikir berat, Qeila." "Dokter," "Ya?" "Dimana keluargaku, kenapa mereka tidak disini?" Dan aku semakin yakin, dokter Arfan kunci dari semua pertanyaanku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD