Bab 5 Kejadian

2384 Words
            Sepanjang jalan menuju Bukit Bintang di Kota Batu dilalui Kayla dan Danin dengan dingin. Tanpa kehangatan cinta mereka. Padahal biasanya perjalanan menuju salah satu tempat indah di Malang itu dilalui mereka dengan suka cita dan canda tawa. Tapi kali ini mereka menyusuri jalanan itu dengan perasaan campur aduk. Bukit Bintang Kota Batu merupakan salah satu objek terindah di kota itu. disebut bukit bintang bukan karena banyak bintang di sana. Tetapi, karena keindahan lampu-lampu kota Batu dari atas bukit di malam hari yang membuatnya berkelip seperti bintang. Bukit Bintang bagaikan mangkok raksasa yang menampung jutaan bintang. Dan Kayla sangat suka itu.             Di sepanjang jalan pegunungan yang berkelok itu, Danin menjelaskan peristiwa yang memulai kesalahpahaman pagi tadi. Dijelaskannya sejak awal pertemuan dengan Isyana sampai selesai. Dijelaskan pula alasan Danin membohongi Kayla. Danin hanya tak mau Kayla salah paham dan terganggu dalam kegiatan sekolah karena tahu kalau Danin akan bertemu dengan Isyana. Lagipula Danin menganggap kalau pertemuannya dengan Isyana itu hanya pertemuan antar sahabat seperti biasa. Tapi, tak dinyana efeknya seperti ini. “Perjalanan cinta kita mirip seperti jalan berkelok di depan itu, Kak. Berkelok tajam, naik turun, basah dan licin karena air hujan. Gelap karena dikelilingi oleh pepohonan rapat. Seram karena berada di antara gugusan pegunungan. Sewaktu-waktu jalan di depan bisa menghantarkan kita celaka ke jurang,” kata Kayla lirih. Dia masih enggan menatap Danin. “Maksudmu apa sih, Dek? kamu gak lagi minta pisah, kan?” tanya Danin takut. “Apa artinya Kayla sampai berani meminta pisah darimu. Mungkin kamu yang akan ninggalin Kayla,” balas Kayla tak kalah rendah. “Kayla, kamu bicara apa sih? Mengapa sih kamu bicara kalimat yang Kakak benci? Stop, Kay! Kakak gak suka. Kakak udah bilang kan kalau hati dan kesetiaanku ini cuma punya Kayla,” Danin berusaha terus meyakinkan kekasih mungilnya. Namun, gadis berkulit putih itu tampaknya sudah tebal telinga. “Kakak tahu gak sih, kita ini ibarat berjalan di tepi jurang yang dalam. Sewaktu-waktu kita bisa jatuh. Apalagi belum ada titik cerah buat kita sama seperti jalan di depan,” ujar Kayla masih saja melantur. Danin makin tak suka mendengar ucapan Kayla. “Kayla, berhenti bicara seperti itu! Bisa gak sih kamu semangatin aku? Aku butuh dukungan moril sekarang. Kamu tahu aku barusan kabur dari satuan. Aku kabur dari Bang Oki karena aku tak kuat dengan perlakuannya. Aku perwira, Kayla. Tapi aku dipermalukan terus tak ubahnya seorang kacung!” kata Danin keras. Lelaki itu sangat emosional karena tekanan demi tekanan yang membuatnya sesak napas. Sesekali dia menggebrak setir mobilnya kuat.             Kayla hanya bisa menangis mendengar suara keras Danin. Tampaknya Danin sudah kehabisan rasa sabar. Dia tak lagi bisa lembut seperti biasanya. Terjawab sudah mengapa kaki Danin pincang. Benar dugaan Kayla, senior kejam itu menyakiti Danin. Tapi, Kayla pikir mungkin itu hukuman yang pantas untuk ketidaksetiaan Danin. Sekalipun hatinya mengaku setia, tapi pelukan pada tubuh Isyana itu tetap saja sebuah penghianatan.             Saat malam merayapi hari yang hujan, keduanya telah sampai di Bukit Bintang. Tempat mereka biasa memaku kenangan-kenangan indah itu terasa hambar dan tak berasa. Kali ini hanya kenangan buruk dan air mata yang hendak dipaku Kayla di situ. Dia menggenggam buket bunga pemberian Danin dan mencopot kuntum bunga satu persatu. Dibuangnya kuntum itu ke bukit curam di depannya. Menurut Kayla, kuntum itu laksana hatinya yang rontok satu persatu. Danin menahan tangan mungil Kayla tanda tak suka. Namun, Kayla tak peduli. Tangan mungilnya tetap membuang satu persatu kelopak dan kuntum bunga mawar merah muda ke tepi lereng. “Kamu kenapa sih, Dek? bisa gak sih kamu dewasa?” cergah Danin keras sambil mengekang kedua pundak Kayla. “Gak! Aku gak akan pernah dewasa, Kak. Aku bisa maafin semua kesalahan Kak Danin kecuali satu, perselingkuhan. Sekuat apapun Kak Danin mencoba menjelaskan, tapi aku gak akan pernah percaya lagi. Kak, kita putus saja. Walau aku tak pantas melakukan ini, tapi aku benar-benar merasa tak pantas untukmu,” ucap Kayla kelu di sela tangis hebatnya. Danin menggeleng keras. “Sampai kapanpun, aku gakkan pernah mau putus sama kamu. Aku gak selingkuh, Kayla. Aku setia sama kamu. Isyana hanya sahabat. SAHABAT! Kamu bisa dengar aku, kan?” Danin berteriak keras. Kayla takut karena Danin seperti itu.             Kayla hanya bisa melemah di pelukan Danin. Dia sedih teramat dalam. Wajar, dia melihat langsung kedua tangan Danin memeluk Isyana, wanita yang jadi duri dalam daging hubungan mereka selama ini. Dalam pelukan Danin, Kayla merasa aneh. Pelukan itu bukan hanya miliknya lagi. tetapi bekas Isyana. “Isyana meminta cinta padaku. Tapi aku tak pernah memberikan itu. dia hanya meminta sebuah pelukan persahabatan sebagai kekuatannya untuk seleksi. Bayangkan posisiku, Kayla. Apa gunaku sebagai sahabat dia? Kalau hanya sebuah pelukan saja tak bisa kuberikan. Lagipula hatiku sudah jadi milikmu,” bisik Danin yang hanya masuk ke telinga kiri dan keluar telinga kanan Kayla. “Aku tak pernah bisa menerima alasan itu, Kak,” batin Kayla. Baginya itu tetap saja sebuah penghianatan. Sebuah tepukan mungkin wajar, tapi pelukan? “Aku tahu kamu cemburu. Tapi jangan pernah kamu ragukan cintaku, Kayla,” tegas Danin lagi. “Kakak tahu apa persamaan hubungan kita dan bukit bintang ini? Apa Kakak tahu kenapa aku suka sekali sama tempat ini?” tanya Kayla datar setelah tangisnya reda. Malam sudah merambati hari ini. “Jelaskan padaku, Kayla. Aku akan dengarkan semua kemarahanmu,” ucap Danin pasrah. “Bukit Bintang ini sama seperti aku dan lampu-lampu itu adalah kamu. Kak Danin bersinar sangat terang dari atas sini, sedangkan Kak Danin tidak bisa melihatku dari bawah sana. Aku sangat ingin bersatu bersamamu di antara kelip cahaya lampu itu. Tapi, kenyataannya aku tak bisa. Sebab aku hanya akan jatuh dan mati dari atas jurang ini. Aku terlalu silau akan cahayamu,” ucap Kayla sendu. “Lantas kenapa kamu tidak memakai tangga atau alat terbang? Atau mungkin kamu susuri jalan pintas di bawah ini?” tanya Danin gamang. “Sebab jalan itu terlalu curam tuk kuturuni, Kak. Sama seperti kedua orang tua Kak Danin yang tak pernah memberi izin pada kita,” ucap Kayla putus asa. “Kayla, jangan putus asa seperti itu. Kita bisa bila bersama. Genggam tanganku, Kayla. Melangkah bersamaku untuk menjemput restu orang tuaku. Aku yakin kita pasti bisa,” ucap Danin sambil menyentuh punggung tangan Kayla. Namun, gadis itu menolak dan melipat kedua tangannya. “Kita? Aku yang gak kuat, Kak. Aku hanya ingin hidup bahagia. Kupikir hidup dengan Kak Danin akan bahagia. Tapi, tidak. Aku tak ingin melangkah bersamamu tanpa restu orang tua karena aku takut. Sebab penderitaan dan masa kelamku juga terjadi karena orang tuaku menikah tanpa restu orang tuanya,” deg! Hati Danin berhenti berdegup. Dia kembali teringat masa kelam Kayla. “Aku tak mau itu terjadi kepada kita. Kak Danin tak tahu rasanya jadi anak tanpa orang tua dan sanak saudara yang mengakui. Aku bagai terlahir dari batu,” ucap Kayla pelan. Tes, setetes air mata menuruni pipi mulus tirusnya. “Kayla, Sayangku. Aku takkan membuat semua itu terjadi. Percaya padaku, kita pasti bahagia,” ucap Danin lagi. Kayla hanya diam dan menunduk. Lisan dan hatinya terlalu lelah. “Kumohon, Kak. Kita berpisah saja. Apa Kak Danin menunggu maut untuk memisahkan kita?” tanya Kayla meracau. “Kayla, kamu bicara apa sih? Kalau kita sudah menikah memang hanya maut yang bisa memisahkan kita. Tapi, nada bicaramu kali ini sangat aneh. Sudah berhenti bicara seperti itu lagi. aku tak suka. Ayo kita pulang. Mungkin kamu butuh istirahat,” ucap Danin keras sambil menarik kasar tangan Kayla. “Ini adalah kali terakhir kita datang ke sini!” ucap Kayla tak kalah keras. “Stop! Diam kamu, Kayla! Diaam!” ancam Danin keras. Emosinya mendidih. Jari telunjuk Danin hingga menunjuk tajam pada mulut mungil Kayla.             Kayla hanya bisa tersengal sambil melelehkan kembali air matanya. Dia tak sanggup mendengar suara keras Danin lagi. Hatinya tersengat duri yang sangat tajam. Telinganya seolah terbakar oleh bentakan Danin. Dia tak menyangka mendapat perlakuan sekasar itu dari Danin yang biasanya sangat lembut. Apa kali ini emosi sudah mengikis rasa cintanya? Hanya itu pertanyaan yang terulang dalam benak Kayla. --- “Aku mau kita putus, Kak,” ucap Kayla lirih ketika keduanya sudah ada dalam perjalanan pulang. Suasana keduanya tak berubah banyak dari sebelumnya. “Kamu tahu aku gakkan pernah kabulkan itu,” ucap Danin tak mau kalah. Dia hanya menyetir dengan tangan satu, sementara tangan satunya menopang kepala dan tertempel ke jendela samping. “Kenapa tidak? Itu kan permintaan yang sangat mudah,” kata Kayla tanpa menatap Danin. Kedua pandangan mereka hanya berfokus pada jalanan depan yang basah dirantau hujan. “Sangat mudah apanya? Kamu kira mudah menghapus namamu dari hatiku? Gak Kayla! Lebih baik aku amnesia atau hilang ingatan selamanya,” kata Danin keras sambil kembali menggebrak setir mobil. “Mudah saja, Kak. Semudah kamu peluk Kak Isyana,” Danin menengok tajam wajah Kayla yang datar. “Gimana sih caranya bikin kamu percaya? Aku bener-bener gak ngerti dengan pemikiranmu! Aku gak selingkuh. Cemburumu salah!” teriak Danin keras. Air mata Kayla kembali luruh. “Kita putus saja, Kak! Nama kita tertulis tidak untuk bersama. Ingatlah tentang restu orang tua Kakak,” ucap Kayla memelas. “Mending kita mati saja. Ayo mati bersama! Aku tak punya keberanian untuk kembali ke asrama. Aku juga tak punya keberanian untuk hidup tanpamu.”             Ajakan Danin tampaknya bukan isapan jempol. Lelaki berusia 23 tahun itu tampak sudah putus asa. Di suatu sisi dia hanya ingin bersikap baik pada Isyana, tetapi ditanggap salah oleh Kayla. Di sisi yang lain, dia juga sedang jadi incaran nomor satu bagi Oki. Danin yakin dirinya takkan selamat jika sampai di asrama nanti. Bagai makan buah simalakama. Lebih baik kabur atau mati bersama saja jika tanpa Kayla, pikir Danindra. Ucapan itu dia buktikan dengan semakin dipacunya laju kendaraan. Danin juga melewati batas tengah jalan raya. Dia sudah mengambil porsi jalan yang berlawanan arah dengan mobilnya. “Kak! Jangan gila!” ucap Kayla kalut karena melihat sebuah sinar terang dari arah depan. Sebuah truk melaju dari arah berlawanan. 15 meter dari mobil yang mereka tumpangi. “Kenapa? Ini adalah jawaban yang bisa kuberikan Kayla. Lebih baik mati bersama daripada harus kehilanganmu!” ucap Danin putus asa. “Jangan Kak!” cergah Kayla keras. Danin tetap mempertahankan laju setir dengan kedua tangan kokohnya. “Tidak Kayla! Setelah ini semua masalah selesai!” Danin tak bergeming. “Tidak, Kak!” teriak Kayla bertambah kalut karena jarak truk semakin dekat. Klakson truk terdengar makin keras dan pekak.             9 meter, 8 meter, 7 meter, 5 meter, Kayla makin kalut apalagi sinar truk makin menusuk kedua mata indah berairnya. Klakson truk makin tak terkendali. Berulang berbunyi. Danin tetap ingin mengajaknya mati bersama, bunuh diri dalam cinta. Kayla tak ingin menambah derita. Iya jika mati, jika dirinya cacat atau apa, makin bertambah daftar kelam dalam hidup Kayla. Dengan sekuat tenaga, dia menarik tangan Danin ke arah kiri. Padahal arah kiri adalah lereng terjal pegunungan. Walau dia kalah tenaga dengan Danin, Kayla tak menyerah. Lebih baik berguling ke samping daripada celaka menakutkan. Kalau memang harus mati ya mati saja. Jangan mengajak orang lain, pengemudi truk maksud Kayla. “Sadarkan pikiranmu, Kak!” teriak Kayla keras sambil menarik tangan Danin. Mengerahkan sisa tenaganya.             Danin hanya menggertakkan gigi geliginya. Tak gentar seperti sedang menghadapi pasukan. Tekadnya bulat untuk mengakhiri hidup. Itu karena tak ada satupun penjelasan yang masuk pada akal dan nalar Kayla. Putus asa adalah jalan terakhir yang Danin tempuh demi meyakinkan cintanya pada Kayla. “Ya Tuhaaaaaan!!!” teriak Kayla ketika tangan mungilnya berhasil menggerakkan tangan Danin.             Mobil itu berbelok cepat ke arah kiri. Berhasil menghindari truk besar yang juga kalut. Kecelakaan mengerikan berhasil dihindari. Namun, Rush milik Danin menukik tajam ke arah lereng gunung. Danin dan Kayla berteriak sebab jurang itu laksana pintu kematian bagi mereka. Beruntungnya si mobil masih tertahan di pepohonan besar. Nahasnya, pintu di samping Kayla terbuka cepat dan membuat gadis cantik itu terpelanting cepat keluar mobil.             Tubuh mungil Kayla bergulung-gulung di tengah rerumputan dan semak belukar. Kulit mulusnya tercabik ganasnya semak belukar. Berdarah-darah. Kepalanya juga berdarah karena terbentur bagian dalam mobil. Sementara itu, Danin masih berusaha sadar ketika kepalanya juga berdarah. Dia menatap Kayla dari dalam mobil. Tubuh kekasihnya itu berguling cepat ke arah bawah lereng yang berbatasan langsung dengan sungai deras. Hati Danin langsung tergerak untuk menolong Kayla. Dengan penuh kesakitan, dia meluncur bebas menyusul Kayla. Terlambat, Kayla terlanjur bergelantungan di sisi bukit terjal di atas sungai deras. “Berikan tanganmu padaku, Kayla!” suruh Danin parau. Dia berhasil meletakkan tumpuan badannya di tepi bukit sambil mengulurkan tangan. Kayla hanya menatapnya lemah. Kedua tangan mungilnya masih berpegangan pada tanah di tepi bukit. “Kamu terluka, Kak,” jawab Kayla lemah. Darah segar sudah menutupi sebagian mata indahnya. “Tidak Sayang, kemarikan tanganmu! Kupegangi kamu!” suruh Danin lagi. Kayla menggeleng lemah. Dia tahu, hanya ada dua kemungkinan jika dirinya memberikan tangan itu pada Danin. Pertama, dia tak kuat bertahan dan jatuh ke sungai deras. Kedua, Danin tak kuat menahan tubuh mereka dan jatuh bersama. Kayla tak ingin Danin celaka karena dirinya. “Jangan, jangan lepas tanganku, Kayla,” ucap Danin ketika dia berhasil menangkap kedua tangan Kayla yang dingin. Padahal tubuh Danin sudah merasa berat sebab posisinya tak terlalu baik. “Tidak, Kak. Aku gak mau Kak Danin celaka. Ingatlah tentang aku. Hanya sebagai Kayla. Bukan kekasih Kak Danin. Hiduplah dengan bahagia. Janji ya?” kata-kata Kayla penuh dengan putus asa. “Jangan bicara seperti itu, Sayang. Ingat, kita selalu bersama. Kalaupun harus mati, ayo bersama,” ajak Danin kalut dengan tangisnya. Kayla menggeleng lemah.             Kayla tahu waktunya tak banyak lagi. Pegangan Danin semakin mengendur karena lelaki itu mulai kesakitan. Kelelahan juga mulai mendera Danin setelah kecelakaan mengerikan. Gadis cantik itu tak ingin Danin hidup menderita karena dirinya lagi. Dia tahu masa depan Danin indah tanpanya. Dia tahu Danin pasti bisa bahagia dengan Isyana. Kayla hanyalah batu sandungan bagi Danindra. “Aku cinta sama Kak Danin, selamanya,” ucap Kayla lemah sambil melepas kedua tangan Danin yang sedang memegangnya sekuat tenaga.             Tubuh Kayla terjatuh ke dalam air dengan cepat. Danin berteriak memanggil Kayla. Suaranya yang parah tak dihiraukan lagi. Dia tak menyangka Kayla berkorban seperti itu. Dia tak menyangka Kayla melepas tangan Danin yang ingin menahannya. Danin hanya bisa berteriak sekuat tenaga ketika tubuh Kayla semakin jauh terseret arus air sungai yang deras. Di depan kedua matanya, Kayla pergi untuk selamanya. Berkorban demi kebahagiaan dan masa depan Danin. “Kaylaaaaa!!!” teriak Danin parau hingga kesakitan menutup kedua mata beratnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD