Chapter 25

3026 Words
Tatapan tajam itu kembali Arra layangkan pada Bianca saat ia melihat Bianca yang tengah melamun di sisi ranjang Daisy, saat mendengar pintu yang terbuka, Bianca langsung berdiri dan menatap Arra takut-takut, tanpa kata Arra langsung menarik tangan Bianca untuk keluar dan menuju taman rumah sakit, ia tidak ingin Daisy tahu apa yang baru saja Bianca lakukan yang pasti akan membuat wanita itu memikirkannya.                “Sejak kapan kau bekerja di sana Bianca?!.” Arra berusaha meredam amarahnya, sedangkan Bianca hanya menundukkan kepalanya. “Apa yang kau pikirkan dengan bekerja di sana?! Sekali pun kau hanya berniat menjadi pelayan di sana, tetap saja lingkungan setan itu akan menjerumuskanmu dalam masalah, tempatmu bekerja adalah tempat yang akan menentukan hidupmu juga! Kau tau, Bee?!” kini Arra tidak bisa lagi menahan amarahnya, ia berteriak di taman rumah sakit yang beruntung sepi itu, sedangkan Bianca masih menundukkan kepalanya, hingga tangan Arra lah yang mengangkat wajah itu agar menatapnya.                “Aku mengijinkanmu bekerja namun bukan di tempat itu, apapun alasannya aku tidak akan menerimanya, kau salah! Kau membuatku semakin buruk menjadi seorang kakak setelah aku merasa buruk tidak bisa menjaga Mommy,” nada suara Arra yang melirih di akhir membuat Bianca menggelengkan kepalanya bersamaan dengan air matanya yang menetes, ia menggenggam erat tangan Arra dan menatap kakaknya itu penuh rasa bersalah.                “Maafkan aku , maafkan aku, aku ... aku hanya berusaha membantumu untuk mencari biaya operasi Mommy,” tubuh Bianca kini meluruh di rerumputan membuat Arra menatap adiknya itu penuh kesakitan, “Aku, aku mendengar percakapanmu dengan pihak administrasi dan juga waktu yang diberikan dokter, aku... aku hanya ingin membantumu, kupikir dengan bekerja di bar aku bisa lebih cepat mengumpulkan uang karena gaji di sana lebih besar, walau aku tahu mencari uang sebanyak itu dalam waktu tiga hari sangat tidak mungkin tapi aku tetap ingin membantumu , aku juga anak Mommy, tapi kau justru menyembunyikan ini dariku dan menanggungnya seorang diri lagi dan lagi seperti biasanya.”                Arra ikut menjatuhkan tubuhnya di rerumputan, dan langsung membawa Bianca dalam rengkuhannya, keduanya menangis pilu di taman yang cukup sepi itu, berusaha meredam rasa sakit di hati masing-masing tentang pahitnya kehidupan yang harus mereka rasakan.                “Maaf, maafkan aku Bianca, aku hanya tidak ingin kau memikirkannya,” Arra berkata dengan suara sengaunya, memeluk Bianca semakin erat. “Tapi kemarin kau tidak apa-apa kan?” Arra langsung melepaskan pelukannya saat teringat terakhir kali ia ingin mengajak Bianca keluar dari club itu justru dirinya terbangun di hotel seorang diri.                “Ya, aku baik-baik saja, semalam aku merasa seseorang memukul tengkukku dan saat aku terbangun aku sudah ada di taman rumah sakit ini,”                “Kau yakin tidak ada yang terjadi selain itu? Apa yang kau rasakan dengan tubuhmu?”                “Tidak ada, selain pegal karena aku tidur di kursi taman, ahh iya sebelum kesadaranku benar-benar hilang aku juga melihatmu yang tak sadarkan diri di pelukan seorang pria,” ucapan Bianca itu membuat tubuh Arra menegang, ia pingsan di pelukan seorang pria? Dan tadi pagi ia terbangun seorang diri di kamar hotel? Oh apa yang sebenarnya terjadi? Arra menerka-nerka, jika sesuatu terjadi semacam ia diperkosa seharusnya ia merasakan sakit pada tubuhnya, namun tadi saat ia bangun bahkan ia melihat penampilannya masih sama seperti terakhir kali yang ia kenakan, jadi tidak terjadi apa-apa kan?                “Kak, tidak terjadi apa-apa denganmu kan?” Bianca mengguncang bahu Arra saat melihat Arra justru melamun.                “Ahh ya, aku tidak apa-apa, sebaiknya kita kembali ke kamar Mommy,” Arra beranjak diikuti Bianca, dan keduanya menuju ruang rawat Daisy.                “Kak, bagaimana dengan biaya operasi itu? Bukankah hari ini sudah seharusnya Mommy di operasi?” Tanya Bianca menatap Arra cemas, Arra hanya tersenyum menenangkan dan mengusap puncak kepala Bianca.                “Biar aku yang mengurus itu,”                “Ya, tentu saja Mommy-mu akan dioperasi hari ini Bianca, kakakmu sudah mendapatkan uangnya, ia melakukan yang terbaik untuk mendapatkan uang itu.” Suara asing yang tiba-tiba masuk dalam obrolan Arra dan Bianca itu membuat Bianca mengernyit, seorang wanita paruh baya dengan senyum kemenangannya menghampiri Arra dan Bianca.                “Kau kembalilah ke kamar Mommy terlebih dahulu,” perintah Arra membuat Bianca hanya bisa mengangguk, walau ia begitu penasaran dengan wanita yang tiba-tiba datang dan mengatakan hal tidak masuk akal itu.                Arra menatap jengah pada Katty setelah kepergian Bianca, “Apa yang baru saja anda ucapkan?”              “Seperti yang kukatakan tadi, jika ibumu akan segera di operasi, aku sudah mendapatkan hasil pemeriksaanmu,” Katty mengangkat amplop berlogo rumah sakit itu di tangan kanannya, wajahnya menyiratkan kepuasan menatap Arra.                “Seperti yang kukatakan kemarin, jika ginjalmu cocok 99% dengan anakku,” Arra langsung merebut amplop di tangan Katty, membukanya dengan tangan bergetar, membaca setiap kata yang tertera di amplop itu, dan saat melihat kesimpulan dari semua pemeriksaan yang kemarin ia lakukan, jantungnya bertalu keras, ia tidak tahu bagaimana dengan perasaannya di satu sisi ia bahagia bisa mendapatkan uang untuk biaya operasi Daisy, namun rasa takut itu juga mendominasi hatinya, tentang bagaimana hidupnya ke depan hanya dengan mengandalkan satu ginjal, yang Arra tahu jika seseorang yang mempunyai satu ginjal akan rawan terkena gagal ginjal, dan jika sudah terkena penyakit mematikan itu Arra tidak tahu harus bagaimana.                ‘Baiklah sekarang yang terpenting kesehatan Mommy dulu,’ Arra membatin dalam hati, memejamkan matanya untuk memantapkan hatinya jika itu adalah keputusan terbaik.                “150.000 USD sudah ada di rekeningmu, dan kau akan menjalani operasi transplantasi ginjal itu tiga hari lagi, setelah operasi ibumu, kau harus di rawat intensif untuk menjalankan prosedur pra-operasi,” Katty berkata dengan tatapan tajamnya, sebelum benar-benar meninggalkan Arra yang masih mematung di tempatnya.   ~*~                Seperti yang dikatakan Dean kemarin, kini seperti biasanya Arra akan menemui Dean di kafe Mike saat jam makan siang.                Arra sudah menunggu sejak lima belas menit yang lalu, pikirannya menerawang jauh tentang semuanya, bahkan ia tidak menyadari Dean yang sudah berdiri di depannya dan menatap sendu ke arah Arra, melihat bagaimana Arra menutup wajahnya dengan kedua tangannya dan setelahnya mengusap kasar wajah itu, helaan napas panjang juga terdengar begitu menyedihkan bagi Dean.                “Arra,” ini ketiga kalinya Dean memanggil gadisnya, namun Arra seolah masih larut dalam dunianya, hingga tepukan yang cukup keras dari Dean pada bahu gadis itu berhasil menyadarkannya.                “Ooh, Dean, kau sudah datang?” Arra gelagapan, menyisir rambutnya dengan jemarinya ke belakang. Dean tidak menjawab, justru menatap gadis itu intens.                           “Apa yang kau pikirkan hingga melamun selarut itu? Bahkan aku sudah berdiri di depanmu sejak lima menit yang lalu dan sudah memanggilmu berulang kali,” Dean duduk di depan gadis itu dan menggenggam lembut tangan Arra.                “Bukan apa-apa, aku... aku hanya ingin mengatakan jika aku akan ke Woodland tiga hari ke depan, aku mendapat panggilan wawancara di sana, sebuah perusahaan rekaman.” Ujar Arra menundukkan kepalanya, lagi-lagi harus berbohong kepada Dean.                “Harus di sana? Kenapa harus tiga hari?” Dean mendesah frustasi.                “Ini hanya tiga hari Dean, tidak lama, ada serangkaian tes selain wawancara yang harus aku jalani.” Arra menatap Dean dengan tatapan sendu, meminta maaf dalam hati karena lagi-lagi membohongi pria itu.                “Baiklah, jika itu untuk karirmu aku tidak bisa menghentikannya, aku akan menelponmu setiap hari.” Ujar Dean final, membuat Arra menghembuskan napas lega. Setidaknya satu masalahnya terselesaikan.                “Ooh ada Dean dan Arra di sini,” Mike menghampiri pasangan itu dengan membawa buku menunya dan menyerahkan pada keduanya, “Apa yang ingin kalian pesan untuk makan siang kali ini? Ahh iya aku juga ingin mengatakan jika kafeku kini juga menyediakan menu makanan berat untuk makan siang,” Mike tersenyum begitu manis membuat Dean mendengus pada Mike dengan tatapan yang seolah mengatakan, ‘senyummu benar-benar menjijikan,’                Arra tersenyum melihat perkembangan kafe Mike, rasanya ia sudah tidak masuk lima hari, tiga hari saat dirinya di Jeju dan dua hari saat dirinya harus merawat Daisy, tapi kafe Mike sudah begitu banyak mengalami perubahan.                “Aku mau tenderloin steak saja ,”                “Ahh samakan juga pesananku dengan Arra,”                “Oke. Pesanan kalian akan datang dalam lima belas menit,” Mike tersenyum, menarik kembali daftar menunya dan meninggalkan pasangan yang menurutnya selalu manis di mana pun itu.                “Wajahmu sejak kemarin terlihat pucat, sayang. Kau yakin baik-baik saja? Apa saja yang sebenarnya kau kerjakan hingga memforsir tubuhmu seperti ini?!” Dean bertanya dengan nada kesal, sedangkan Arra hanya meraba wajahnya, yang diikuti oleh Dean, menangkup tangan gadis itu dan langsung merasakan hangat suhu tubuh gadis itu.                “Kau demam Arra,” wajah Dean berubah cemas, sedangkan Arra segera menurunkan tangan Dean di wajahnya.                “Aku baik-baik saja, jangan berlebihan seperti itu,” Arra mencoba tersenyum, menyembunyikan apa yang sebenarnya ia rasakan, “Aku ke toilet dulu,” Arra beranjak dari duduknya dan seketika pening menyerang kepalanya, membuat tangannya reflek memegang pinggiran meja.                “Arra,” Dean langsung beranjak dari duduknya saat melihat Arra hampir saja terjatuh, dan tepat saat ia akan menyentuh bahu gadis itu untuk menyuruhnya duduk kembali, justru tubuh Arra yang jatuh dalam dekapannya, membuat rasa takut seketika menyerang Dean.                “Yakk! Arrabela, jangan bercanda!!.” Dean menepuk-nepuk wajah Arra yang semakin menghangat, wajah Arra yang lebih pucat dari sebelumnya dan keringat dingin yang membasahi kening gadis itu membuat Dean semakin kalut.                “Ada apa ini Dean?” Mike datang saat melihat dari counter kasir Arra yang berada dalam pangkuan Dean, “Cepat bawa ke lantai atas,” perintah Mike saat melihat Arra yang sudah tak sadarkan diri, Dean langsung membopong gadis itu menuju lantai atas tempat di mana kantor sekaligus apartement Mike.                “Kenapa kau seperti ini heum? Kenapa selalu membuatku khawatir?” Dean membelai wajah gadis itu saat Arra sudah terbaring di ranjang milik Mike, satu tangannya tidak pernah lepas menggenggam tangan Arra yang terasa hangat, sedangkan Mike berusaha menghubungi dokter kenalannya untuk memeriksa Arra, ia juga begitu khawatir yang melihat Arra tiba-tiba pingsan, gadis itu tidak memberikan alasan kenapa ia mengajukan cuti tiga hari lagi setelah kepulangannya dari Jeju, dan saat menanyakan alasannya Arra hanya tersenyum, mengatakan jika ada hal yang harus ia selesaikan, gadis itu hanya akan ke kafe saat makan siang untuk bertemu Dean.                “Tenanglah Dean, aku yakin Arra baik-baik saja,” Mike menepuk bahu Dean, menuju pantry dan mengambilkan air minum untuk Arra.                “Apa akhir-akhir ini pekerjaannya sangat berat, Mike? Kenapa dia sampai pingsan seperti ini?” Tanya Dean menatap Mike yang masih berada di pantry dapur.                “Tidak Dean, justru sejak kalian kembali dari Jeju, Arra belum bekerja lagi, ia hanya ke kafe untuk menemuimu,” ucapan Mike membuat Dean mengernyit, Arra tidak mengatakan apapun padanya, kemarin saat menelponnya gadis itu mengatakan jika kafe sangat ramai, lalu untuk apa Arra membohonginya dengan mengatakan jika ia bekerja jika pada kenyataannya tidak, dan hal ini semakin membuatnya curiga dengan sesuatu yang memang disembunyikan oleh gadisnya.                “Apa lagi yang mengganggumu hingga kau sakit begini sayang? Apa sangat sulit untuk membagi bebanmu heum?” Dean mengusap lembut puncak kepala gadis itu, mencium kening Arra dengan penuh cinta, ia sedikit kecewa dengan Arra yang lagi-lagi menyembunyikan masalahnya, namun perasaan menyesal itu lebih mendominasi hatinya, ia merasa menyesal dan gagal karena tidak bisa menjadi tempat berkeluh kesah Arra, Dean yakin Arra memendamnya karena dirinya juga ada masalah, dan Dean yakin Arra tidak ingin memberatkan Dean dengan menceritakan masalahnya juga.                Deringan ponsel Dean membuat pria itu menghentikan aktivitasnya yang masih menunggu Arra sadar, ia mengangkat dengan kesal dan menjawab dengan ketus pada seseorang yang mengganggu waktunya.                “Halo,” Ujar Dean dengan nada ketus.                “Dean, ini Daddy, kenapa nada suaramu seperti itu? Jangan lupa kita ada tender setengah jam lagi, tender ini yang menentukan nasib perusahaan kelak, jadi Daddy ingin kau berusaha semaksimal mungkin,”                “Baiklah Daddy, aku akan sampai dalam lima belas menit.”                Dean mendesah frustasi begitu sambungan teleponnya terputus, ia lupa jika hari ini ia memiliki hal penting menyangkut nasib perusahaan, dengan enggan ia menatap Arra, begitu berat rasanya meninggalkan gadis itu yang bahkan belum sadar dari pingsannya, tapi nasib perusahaan dan ribuan karyawan bergantung padanya kali ini, membuat ia mau tidak mau harus menekan perasaannya yang ingin berada di sisi Arra untuk saat ini.                “Maaf, maafkan aku sayang, karena harus meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini, aku akan menjemputmu nanti setelah rapat itu selesai,” Dean mencium kening Arra lama, menyalurkan perasaannya jika ia begitu mencintai Arra.                “Mike, aku harus pergi, aku titip Arra, kumohon jaga dia,” Dean menatap Mike dengan tatapan memohon, belum pernah ia melakukan hal seperti ini sebelumnya, namun kini ia tak berdaya dan hanya pada Mike ia bisa meminta bantuan.                “Ya. kau tenang saja, tanpa kau minta pun aku akan menjaganya, dia juga adikku Dean,” Mike menepuk bahu pria itu dan memberikan senyum meyakinkan, membuat Dean menganggukkan kepalanya dan mengucapkan terima kasih sebelum benar-benar meninggalkan gadisnya.   ~*~                “Kau sudah sadar?”                Itu suara pertama yang Arra dengar saat berhasil membuka mata, suara milik Mike, ia mengerjapkan matanya lagi, berharap pengelihatannya bisa lebih jelas, dan benar saja ia bisa melihat Mike yang menatap cemas ke arahnya. Arra berusaha bangun, dan dengan sigap Mike membantunya, memasang bantal menjadi posisi vertikal yang bersandar pada kepala ranjang.                “Apa yang terjadi?”                “Kau pingsan dan Dean membawamu ke sini,” Mike menyerahkan segelas air putih yang langsung disambut baik oleh Arra.                “Di mana Dean sekarang?” Tanya Arra mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, berharap menemukan Dean.                “Dia sudah kembali ke kantor, ada rapat penting yang tidak bisa ditinggal katanya.” Setelah mendengar jawaban Mike tadi Arra hanya mengangguk, memberikan gelas air putih yang sudah tandas setengahnya pada Mike.                “Apa saja yang kau lakukan hingga membuatmu pingsan? Dokter mengatakan kau sedang banyak pikiran, tekanan yang membuatmu pingsan seperti tadi, sebenarnya ada apa Arra? Kau bisa menceritakannya padaku, aku bisa membantumu,” kini Mike duduk di pinggir ranjang, menatap Arra intens, sedang yang ditatap berusaha menghindari tatapan Mike.                “Aku baik-baik saja , ahh jam berapa sekarang?”                “Jam tiga sore, ada apa?”                “Aku harus pergi,” Arra langsung beranjak dari ranjang, mengabaikan teriakan Mike tentang kesehatannya, yang ada dipikirannya saat ini adalah operasi Daisy, ia harus segera tiba di rumah sakit secepatnya.   ~*~                “Bianca,” napas Arra masih memburu begitu tiba di depan ruang operasi, ia bisa melihat Bianca yang menunggu seorang diri di sana, dengan tatapan sedih, menanti detik demi detik yang seolah menjadi vonis kematian untuk keduanya.                “Kak,” Bianca berdiri dan langsung memeluk Arra, sejak tadi ia begitu takut, takut menghadapi semuanya sendiri, saat melihat Daisy yang dibawa ke ruang operasi, detik demi detik yang berlalu terasa mencekiknya, belum pernah Bianca merasa seperti ini, sendirian dalam ketakutan, dan saat melihat Arra tadi ia seolah menemukan cahayanya, seseorang yang akan menemaninya dalam ketakutan itu, seseorang yang selalu menjadi tumpuan untuknya.                “Sudah berapa lama operasinya berjalan?” Arra melepaskan pelukan Bianca dan membimbing gadis belia itu untuk duduk.                “Sekitar setengah jam yang lalu, aku takut, kau pergi kemana?” Bianca kembali terisak dan menyandarkan kepalanya pada bahu Arra.                “Maaf Bianca, aku memiliki beberapa urusan, sekarang tenanglah, aku di sini Bee, kita berdoa untuk kelancaran operasinya ya,” Arra mengusap lembut kepala Bianca yang masih bersandar di bahunya, matanya terpejam dan bibirnya mulai merapalkan doa keselamatan untuk Daisy .              Lima jam sudah berlalu semenjak Daisy memasuki ruang operasi itu, namun belum ada tanda-tanda operasi itu berakhir, Bianca dan Arra masih menunggu di sana dengan harap-harap cemas, hingga suara seorang wanita dengan nada angkuhnya memecah keheningan di depan ruang operasi itu.                “Kau tidak lupa kan Arrabela, untuk mulai menjalani perawatan intensif malam ini,” perkataan itu membuat Bianca mengernyit, ia yang sejak tadi bersandar pada bahu Arra seketika mendongak, dan mendapati wanita yang tadi pagi juga mengusik dirinya dan Arra berdiri dengan angkuhnya menatap keduanya.                “Tentu. Bisakah kau memberiku waktu hingga Mommy selesai operasi?” Arra berdiri, menatap jengah pada wanita itu, sedangkan Bianca bertanya-tanya dalam hati apa yang sebenarnya terjadi antara kakaknya dan wanita itu, perawatan intensif apa yang harus dijalani oleh kakaknya?                “Baiklah, jangan mencoba untuk kabur, Arrabela” setelah mengatakan itu wanita itu kembali pergi meninggalkan Arra yang masih menatapnya dengan penuh kekesalan, ia kembali menghempaskan tubuhnya di kursi rumah sakit dan memijit pelipisnya yang kembali terasa berdenyut.                “Kak, siapa wanita tadi dan apa maksudnya? Perawatan intensif apa? Apa kau sakit?” Berbagai pertanyaan yang diajukan oleh Bianca membuat pening di kepala Arra semakin bertambah, beruntung lampu operasi langsung menyala dan dokter beserta beberapa suster keluar dari ruangan itu.                “Bagaimana operasinya dokter?” Arra langsung beranjak, bertanya dengan wajah harap-harap cemas.                “Syukurlah operasinya berjalan dengan lancar, keadaan ibumu juga baik, kami akan memindahkannya ke ruang rawat dulu baru kalian bisa menjenguknya,” dokter itu menepuk bahu Arra dua kali disertai dengan senyuman saat menyampaikan kabar bahagia itu, membuat Arra dan Bianca ikut tersenyum dan seketika Bianca memeluk Arra dan sekali lagi menangis di bahu sang kakak.                Dokter yang melihat itu hanya bisa tersenyum, dan meninggalkan kedua kakak beradik yang sedang melepas bahagia.                “Bianca, bisakah aku meminta tolong padamu?” Arra melepaskan pelukannya dan menatap serius pada Bianca, “Beberapa hari ke depan aku ada urusan di luar kota, dan selama itu bisakah kau menjaga Mommy sendirian?”                “Apa maksudmu? Kenapa mendadak sekali?Kau  sedang tidak menyembunyikan sesuatu dariku kan?” Bianca menatap kakaknya sendu, ia merasa kakaknya menyembunyikan sesuatu, terutama saat melihat wanita tadi yang seolah memerintah kakaknya, Bianca yakin keduanya memiliki kesepakatan dan entah kenapa hatinya begitu gelisah saat tahu jika Arra berhubungan dengan wanita itu.                “Tidak Bianca, aku tidak berbohong, ini hal mendesak yang tidak bisa aku tinggalkan, kumohon mengertilah heum,” Arra memegang bahu adiknya itu menatapnya dengan sorot mata teduh.                “Baiklah, aku hanya takut sesuatu terjadi padamu, entah mengapa perasaanku begitu buruk jika memikirkanmu,”                “Aku akan baik-baik saja, oke? Yang harus kau pikirkan adalah kesembuhan Mommy,”                “Ya , kau juga harus sering memberiku kabar.”                “Tentu sayang, sekarang pergilah ke ruang rawat Mommy, dan katakan pada Mommy aku akan secepatnya datang saat urusanku sudah selesai,” Arra langsung menarik Bianca ke dalam pelukannya yang dibalas tak kalah erat oleh Bianca. “Ya sudah, jangan menangis, kau harus tersenyum saat Mommy sadar,” Arra berusaha menahan tangisnya, ia menghapus sisa-sisa air mata yang membasahi wajah adiknya itu. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD