2

2682 Words
    Agam terang-terangan menampilkan ekspresi tak senang saat dirinya bertabrakan dengan seorang mahasiswi di tengah lorong menuju ruangannya. Harinya sudah cukup buruk dengan setumpuk dokumen serta masalah yang ditinggalkan rektor terdahulu, kini semakin memburuk karena kejadian buruk yang mengakhiri harinya di kampus. Tidak perlu kembali ditanyakan bagaimana Susana hati Agam saat ini. Jelas saja suasana hatinya telah jatuh dan mencapai titik terendah pada bulan ini.     “Gunakan matamu saat berjalan!” ucap Agam sinis pada gadis yang baru saja menabraknya. Nada bicara Agam sudah lebih dari cukup membuat siapa pun yang ia berikan ucapan tersebut merasa sakit hatinya. Tapi bagi gadis yang menabrak Agam, hal itu sudah wajar. Tentu saja karena ia merasa bersalah karena sudah tidak berhati-hati dalam berjalan hingga menabrak seseorang sepenting Agam.     Gadis tersebut mengangkat wajahnya dan membuat Agam semakin marah, karena tahu siapa gerangan penabraknya. “Aku telah bermurah hati membiarkanmu tetap berada di kampus ini, tapi jangan mengartikan kemurah hatianku ini dengan hal yang lain. Jangan berpikir jika aku adalah orang baik yang akan memperlakukanmu yang lainnya! Hei, jangan berpikir jika aku ini sama seperti orang lain yang bisa tertipo dengan wajah polos yang kau miliki itu.” Agam sama sekali tidak menyembunyikan rasa bencinya pada Yasmin.     Gadis yang tak lain adalah Yasmin tersebut segera menulis sesuatu pada notes yang tergantung pada tangan kirinya. “Maafkan saya, Pak. Saya memang kurang hati-hati. Dan maafkan saya jika selama ini mungkin melakukan sesuatu yang tidak berkenan atau bahkan menyinggung perasaan Bapak. Tapi jujur, saya sama sekali tidak berniat menyinggung Bapak.”     “Ya memang, ini adalah kesalahanmu. Kau hanya bisu, bukan buta. Jadi, setidaknya gunakan mata dengan benar. Selain itu, aku tidak menyebut jika kau melakukan kesalahan yang membuatku kesal. Lebih tepatnya, kehadiranmu sendiri adalah sebuah kesalahan yang lebih dari cukup untuk membuatku merasa kesal padamu. Apa kau mengerti?”     Yasmin meringis saat mendengar ucapan kasar Agam. Untungnya, saat itu lorong cukup sepi dan Agam berbicara dengan suara yang cukup rendah. Yasmin sendiri tidak mengambil hati ucapan rektornya itu, Yasmin sudah sering mendengar ucapan semacam ini. Bahkan Yasmin pernah mendapatkan yang lebih parah daripada ini. Hanya saja Yasmin takut image Agam memburuk di mata publik karena kejadian ini. Tentu saja, bagi almamater seorang rektor adalah salah satu wajah dari almamater sendiri.     “Sekali lagi saya minta maaf. Saya akan lebih berhati-hati lagi.” Yasmin kembali menuliskan perminta maafannya. Sesungguhnya semua yang ia tuliskan sudah lebih dari cukup untuk meminta maaf atas kesalahannya yang tidak hati-hati dalam berjalan. Tapi entah kenapa Yasmin tetapa merasa harus meminta maaf pada Agam. lebih tepatnya, Yasmin sudah terbiasa melakukan hal ini. Ya, Yasmin sudah terbiasa untuk meminta maaf atas kesalahan yang tidak pernah ia lakukan.     Berulang kali Yasmin meminta maaf, tapi Agam tetap tidak menggubris dan memilih untuk melangkah pergi begitu saja. Tentu saja, Agam tidak merasa perlu menjawab permintaan maaf dari Yasmin. Lagipula, Agam tidak sudi untuk menjawab dan bertukar kata lebih banyak dengan gadis bisu itu. Bertahan lebih lama di sana tentunya akan membuat suasana hatinya semakin memburuk dari waktu ke waktu. Begitu Agam berbalik pergi, saat itulah Bina dan Vero muncul. Vero melihat tulisan tangan Yasmin pada notes. “Apa yang terjadi?” tanya Vero pada Yasmin.     Yasmin menggeleng, tapi Vero tahu jika itu adalah kebohongan. Jelas jika dirinya melihat bahwa notes milik Yasmn dipenuhi oleh kata-kata permohonan maaf yang berulang. Pasti ada masalah yang tengah terjadi, dan Yasmin tidak mau mengatakan hal tersebut padanya. Jika sudah seperti ini, Vero tidak punya pilihan lain untuk bertanya pada sumber yang lain. Maka Vero segera menoleh pada Bina, karena ia tahu Bina lebih dulu ke luar dari kelas dan tiba di ujung lorong. Pasti Bina tahu apa yang terjadi sebelum Vero tiba. Sayangnya, Bina yang melihat pandangan penuh tanya Vero hanya menggeleng. Mengisyaratkan, jika dirinya juga tidak tahu apa-apa.     “Ya sudah, kalau begitu ayo pulang. Biar aku antar,” ucap Vero pada Yasmin. Vero memang sudah terbiasa mengantar Yasmin pulang.     Yasmin menulis, “Lalu Bina bagaimana? Bukankah tadi pagi Bina berangkat denganmu? Jika kamu pulang denganku, lalu Bina pulang dengan siapa?”     Vero melirik Bina. “Sepertinya Bina ingin pulang sendiri. Iya ‘kan, Bin?” Vero memberikan isyarat agar Bina mengiyakan pertanyaannya.     Bina mendengkus dan mengangguk. “Iya, aku ingin pulang sendiri. Jadi, kalian pulang bersama saja. Lagipula ada urusan yang harus kuselesaikan lebih dulu sebelum pulang.”     Yasmin mengangguk setelah mendengar ucapan Bina tersebut. itu artinya, Vero memang bisa mengantarkan dirinya pulang. “Kalau begitu, kami pulang duluan. Dah, Bina!”     Bina melambaikan tangannya mengantar kepergian Yasmin dan Vero. Setelah yakin jika Yasmin dan Vero sudah tidak lagi terlihat, Bina segera melangkah pergi dengan kedua tangan terkepal erat. Ada kemarahan yang berkobar pada netranya yang gelap. Seakan-akan sebuah dendam besar tengah menunggu untuk terselesaikan.       ***         “Terima kasih.” Yasmin mengucapkan terima kasih setelah turun dari motor milik Vero. Kini keduanya memang tengah berada di tepi jalan di depan rumah Yasmin. Rumah Yasmin memang berada tepat di samping jalan raya. Jalanan dan rumah hanya dipisahkan oleh halaman yang tidak seberapa luasnya.     Vero mengangguk. “Sama-sama. Istirahat yang cukup, ya.”     Yasmin tersenyum. “Kamu mau mampir dulu?”     “Sepertinya tidak, sebentar lagi malam. Aku harus segera pulang. Rasanya tidak sopan bertamu saat waktu seperti ini. Aku titip salam saja untuk Ibu dan Bapak,” ucap Vero bijak. Vero tentu tahu bagaimana ketatnya keluarga Yasmin. Tentu saja jika Vero memaksakan diri untuk bertamu saat ini juga, itu artinya Vero tengah mencari mati.     “Nanti aku sampaikan,” ucap Yasmin menggunakan bahasa isyaratnya.     Vero mengangguk dan tersenyum. “Baiklah, kalau begitu aku pulang dulu ya.”     Vero kembali mengendarai motornya meninggalkan rumah Yasmin yang berada di salah satu perumahan dekat jalan raya. Yasmin masuk ke dalam rumah setelah mengucapkan salam. Ternyata kedua orang tuanya sudah berada di rumah. Yasmin segera mencium tangan keduanya dengan hormat.     “Pulang dengan siapa?” tanya Tini—ibu Yasmin.     “Itu Vero, Bu,” jawab Yasmin dengan isyarat tangannya.     “Duduklah!” perintah ayahnya, Heru. Dengan takut-takut, Yasmin segera duduk di hadapan kedua orang tuanya.     “Vero? Teman sejak masuk kuliah itu?” Kini Heru yang bertanya. Yasmin mengangguk.     “Apa yang Bapak katakan dulu?” tanya Heru lagi.     Yasmin tidak menjawab dan memilih untuk menunuduk dalam. Ia sadar pasti sebentar lagi akan mendapatkan ceramah panjang dari kedua orang tuanya ini. “Kamu ini anak gadis, jangan bertindak gegabah. Sedekat apa pun kalian sebagai seorang teman, kalian tetap harus ingat dengan norma-norma yang ada. Ingat, jaga kehormatan keluarga, Yasmin!”     Apa yang Yasmin bilang, ia pasti akan mendapatkan ceramah panjang seperti ini. Jika sudah seperti ini, Yasmin tidak boleh menjawab sedikit pun sebelum kedua orang tuanya selesai berbicara.     “Ingat juga, Bapak dan Ibu sama sekali tidak mengizinkan kamu berpacaran. Kami hanya ingin mencegah hal-hal buruk yang mungkin akan terjadi karena berpacaran.”     Satu hal lagi yang perlu diketahui. Keluarga Yasmin, terutama orang tuanya sangat memegang ajaran zaman dulu, alias sangat kolot. “Ibu dan Bapak berharak baik kamu dan adikmu sama-sama mengingat untuk bersikap bijaksana, dan hati-hati.”     Tepat setelah Tini menyelesaikan ucapannya, putri bungsunya tiba di rumah. Ratna, itulah nama adik dari Yasmin tersebut. Ratna masih duduk di kelas tiga SMA, dan kini sudah bersiap-siap untuk masuk universitas karena ujian negara akan segera dilangsungkan. Mengerti dengan situasi, setelah mencium tangan kedua orang tua dan kakaknya, Ratna segera duduk di samping Yasmin.     “Kamu juga Ratna, ingat jangan pernah melupakan untuk menjaga sikap. Ibu tidak mau jika kamu masuk ke dalam pergaulan buruk yang berakhir membuat nama keluarga tercoreng.”     Ratna mengangguk. “Iya, Bu. Ratna akan mengingatnya.” Berbeda dengan Yasmin, Ratna memang terlahir sempurna tanpa kurang apa pun.     “Sekarang kalian bersihkan badan lalu bantu Ibu masak untuk makan malam.” Ratna dan Yasmin mengangguk lalu beranjak untuk membersihkan diri.       ***           Agam menikmati waktunya di lantai dua sebuah club malam yang secara khusus diperuntukkan untuk para tamu VIP. Sebuah gelas kristal berisi cairan yang membuat kecanduan dan dimabuk oleh kesenangan semu, berada di salah satu tangannya. Agam mengamati orang-orang yang tengah menggila di lantai dansa di lantai satu. Meskipun berada di club malam seperti ini, Agam sama sekali tidak tertarik ikut untuk menggila seperti itu. Ia hanya ingin sedikit melepas penat dengan sedikit minum.     “Hai tampan, mau aku temani?”     Agam menggeram dan melirik tajam pada seorang pria yang barusan pura-pura menirukan suara wanita penghibur yang sejak tadi menggoda dirinya. “Tutup mulutmu, Joe!”     “Kenapa terlihat marah seperti itu, Tampan?” Pria bernama Joe itu sama sekali tidak takut dengan ancaman Agam dan terus melanjutkan tingkah jailnya. Ia bahkan menirukan gesture seorang wanita hingga membuat Agam semakin jijik dibuatnya.     “Joe, aku sama sekali tidak main-main. Hentikan tingkah menjijikanmu, atau aku akan membuatmu tidak bisa melihat matahari esok hari.” Agam kembali memperingatkan Joe. Dan kali ini, Agam benar-benar tidak akan memberikan maaf jika Joe kembali mengulang kesalahannya yang terasa sangat menjengkelkan bagi Agam.     Mendengar nada penuh peringatan dari Agam, Joe tentu merasa jika dirinya tak lagi bisa melanjutkan tingkah jailnya. Joe mendengkus lalu melambaikan tangannya mengusir para perempuan yang sejak tadi menempel padanya dan menatap penuh goda pada Agam. “Ck. Kau tidak seru. Lebih baik kita masuk ke ruang VIP, aku yakin kau pasti tidak nyaman berada di sini karena menjadi pusat perhatian,” ucap Joe.     “Salah. Aku suka menjadi pusat perhatian.” Agam menyesap minumannya dengan santai, membuat Joe kembali mencibir.     Beberapa saat kemudian Agam berkata, “Aku memiliki beberapa hal yang ingin aku diskusikan denganmu.”     “Kalau begitu, kita memang benar-benar membutuhkan ruangan khusus. Ayo masuk ke ruangan milikku,” ucap Joe sembari bangkit dari duduknya dan melangkah menuju tempat yang ia tuju.     Joe memang berjalan lebih dulu sebagai penunjuk jalan, lalu diikuti oleh Agam. Agam dan Joe memang memiliki jadwal untuk menghabiskan waktu di club malam. Tapi tempatnya bukanlah di sini. Club yang sering Agam kunjungi adalah club yang lebih privat dan biasanya diadakan di penthouse atau roftoop hotel bintang lima. Kembali pada saat ini, baik Agam maupun Jem masuk ke dalam ruangan di ujung lorong yang ternyata sangat luas. Agam mendengkus saat dirinya sudah nyaman duduk di sofa kulit yang menempel pada sisi dinding, beberapa wanita berpakaian seksi masuk ke dalam ruangan tersebut. Agam melirik Joe yang kini tersenyum m***m saat dua orang wanita duduk masing-masing di salah satu pahanya.     “Aku ingin berbicara serius denganmu,” ucap Agam dan menepis tangan seorang wanita yang sebelumnya meraba dadanya.     “Hei, pembicaraan serius itu harus ditemani gadis-gadis cantik seperti mereka.” Joe mengerling jail pada Agam. Tentu saja, Joe tahu betapa Agam tidak senang bersentuhan dengan seorang wanita. Apalagi jika bukan Agam yang berinisiatif yang lebih dulu.     Agam meletakkan gelas minumannya di atas meja kaca dengan keras dan membuat Joe serta para wanita malam tersentak. “Aku serius, Joe. Aku tidak mau ada orang lain yang mendengar pembicaraan ini.” Agam kembali memberikan peringatan dengan suara rendahnya. Tapi lebih dari itu, Joe mengerutkan keningnya saat sadar jika ada sesuatu yang aneh dengan sahabatnya ini.     Karena itulah, Joe memutuskan untuk menghentikan kejailannya dan mengusir para gadis. Setelah mereka ditinggal berdua, barulah Joe bertanya, “Ada hal serius apa yang ingin kau bicarakan sampai seperti ini?”     “Ada seorang gadis yang ingin kusingkirkan, aku ingin kau mengurusnya,” ucap Agam sembari menutup matanya. Tapi begitu matanya terpejam, bayangan wajah Yasmin yang manis memenuhi benaknya. Tentu saja hal itu membuat Yasmin semakin kesal saja dibuatnya.     “Gadis?” beo Joe bingung. Jelas karena ia tak pernah melihat Agam sampai mau repot-repot mengurus seorang gadis.     Agam mengangguk dan melepas jas serta dasi yang masih terlilit pada lehernya. Ia lalu menyandarkan punggungnya dengan nyaman pada sandaran sofa. “Ya, gadis yang sangat mengganggu.”     “Kau ingin aku melakukan apa pada gadis itu, ah tunggu. Sebelum itu, siapa gadis yang kau maksud ini?”     “Dia mahasiswi bisu di kampus yang kupimpin saat ini,” jawab Agam sembari mengetatkan rahangnya yang tegas.     Joe mengerutkan keningnya untuk kesekian kalinya. “Gadis bisu?”     “Ya. Aku benar-benar tidak menyukai gadis itu. Ia sungguh mengganggu.” Agam sama sekali tidak mau repot-repot untuk menyembunyikan rasa tidak sukanya pada gadis bisu yang tak lain adalah mahasiswi di kampusnya sendiri.     “Dia yang mengganggu, atau kau hanya dibutakan oleh masa lalu?” tanya Joe dengan tidak sadar mengusik masa lalu yang dibenci oleh Agam.     Agam menatap tajam pada Joe. “Aku hanya memintamu untuk mengurus gadis itu, bukannya memintamu untuk mengungkit masa laluku.”     Joe mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Ia memang salah karena telah mengungkit hal tabu di hadapan sahabatnya itu. “Membereskan yang kau maksud ini apa? Apa aku harus membuatnya mati, atau membuatnya menghilang dari lingkunganmu?”     Agam tidak menjawab dengan cepat. Ia terdiam dan terlihat berpikir dengan serius. Agam baru sadar, jika dirinya belum memikirkan sampai ketahap itu. Hal yang Agam pikirkan selama ini hanya satu, ia membenci Yasmin hingga ke tulang-tulang. Agam kembali mendengkus sebelum berkata, “Aku belum memikirkannya.”     “Lalu apa kau sudah memikirkan cara untuk menyingkirkannya?”     “Tidak. Karena itulah aku membicarakannya padamu. Kau yang harus memikirkan caranya, dan kau pula yang harus melaksanakan rencana itu,” ucap Agam datar. Matanya masih tertuju menyorot wajah sahabatnya itu.     Joe mencibir. “Hei, memangnya aku pengangguran yang hanya bermain dengan para wanita seksi? Aku ini adalah orang yang sangat sibuk. Aku memiliki perusahaan yang harus aku urus. Tentu saja, aku juga disibukkan dengan para wanitaku yang harus kumanjakan dengan baik. Tapi tetap saja, aku ini orang yang sangat sibuk.”     “Jangan membual. Semua pekerjaan yang kau sebut itu selalu kau limpahkan pada sekertarismu, sedangkan kau malah selalu sibuk dengan para kekasihmu itu. Pekerjaanmu memang hanya bermain wanita, bukan?”     “Hei!” pekik Joe kesal setengah main. Tapi apa yang dikatakan oleh Agam memang hampir semuanya benar. Jadi, Joe tidak mengomentarinya lebih lanjut dan memilih diam serta mengerucutkan bibirnya.     Baru saja Agam akan kembali mendebat Joe, ia mendapat pesan dari nomor asing. Awalnya Agam tidak akan menggubris dan akan membllokir nomor tersebut. Tapi pesan baru dari nomor yang sama membuat Agam mengerutkan keningnya tertarik. Ia berpikir untuk beberapa detik sebelum melemparkan ponselnya pada Joe.     Untungnya, Joe dengan sigap menangkap ponsel Agam tersebut. “Kau gila! Jika aku tidak sigap menangkapnya, bisa-bisa hidung mancungku patah karena ponselmu!”     “Cari pemilik nomor itu. Cek apa benar dia berada satu lingkungan atau pernah bersinggungan denganku. Aku memberimu waktu sampai tengah malam.”     Joe melongo. “Kau memerintah diriku?”     “Tentu saja,” jawab Agam singkat lalu menyesap minumannya dengan santai.     “Kau memiliki banyak bawahan. Kau bahkan memiliki Tio si mantan agen rahasia, lalu kenapa kau malah memerintahkan aku mencari hal yang semacam ini?”     Agam mengangkat bahunya tak acuh. “Hanya ingin membuatmu sibuk karena beberapa tugas penting.”     “Bukankah aku sudah bilang, aku memiliki banyak pekerjaan,” ucap Joe mencoba kembali meyakinkan Agam. bukan apa-apa, Joe sedang tidak ingin direpotkan dengan rencana gila Agam. Ia hanya tengah ingin menikmati waktunya dengan bermain-main dengan para kekasih cantiknya. Ya, para kekasih cantiknya, karena jelas Joe tidak hanya memiliki seseorang kekasih saja. Bisa dibilang, Joe memiliki hobi untuk mengoleksi kekasih.     Agam menyunggingkan sebuat seringai yang sangat menyeramkan tapi menawan. “Lebih baik kau lakukan saja, karena aku yakin kau akan tertarik dengan permainan yang akan aku buat.”     Netra Joe berbinar. Tentu saja apa yang dikatakan oleh Agam berhasil membuatnya tertarik. Ya, Joe senang memainkan sebuah permainan. Apalagi permainan yang dibuat oleh Agam. Karena bisa dipastikan jika permainan tersebut akan terasa lebih menyenangkan daripada permainan-permainan yang lainnya. “Permainan? Apa permainan yang kau maksud sama dengan permainan yang tengah kupikirkan?” tanyanya penuh antusias.     “Mungkin saja,” jawab Agam santai. Seakan-akan yang tengah ia rencanakan adalah hal yang remeh temeh.     “Wah kalau begitu aku sungguh tidak sabar untuk melakukan permainan ini,” ucap Joe dengan penuh semangat. Ah Joe sudah tak sabar untuk memainkan permainan yang Agam bicarakan. Kini Joe bahkan menebak-nebak, apa permainan yang tengah Agam bicarakan dan pikirkan ini?     Agam menatap gelas kristal yang terisi minuman vodkanya dengan datar. Ia mengamati cairan keemasan dalam gelas kristal tersebut lalu berkata, “Aku juga. Aku juga tidak sabar melihat akhir dari permainan ini.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD