16. Menuju Pembicaraan Serius

1140 Words
Setelah mengutarakan rencana untuk hendak meminang Lashira sebagai calon istri yang sesungguhnya, Damar dan sang ibu pun berpamitan untuk mengakhiri pertemuan mendadak malam itu. Lashira masih belum kembali di kamar mandi, tetapi tampaknya Rima sudah mengajak Damar untuk cepat pulang. “Bu Rima, kok buru-buru mau pulang? Kita memang belum bisa persiapan apa-apa untuk menyambut kedatangan Ibu dan Damar yang mendadak, tapi setidaknya kita masih bisa minum teh bersama serta makan malam bersama dengan menu sederhana dari kami,” celetuk Hilda yang sebenarnya ingin mengajak Rima dan Damar makan malam sop buntut buatannya, namun ditolak oleh Rima. “Bu Hilda tak perlu repot-repot. Kedatangan kami berdua kan memang secara mendadak dan tanpa persiapan. Jadi kami tak bisa lama-lama di sini, Bu. Selain karena sudah malam, rumah kami jauh di Gresik. Masih berada di luar kota Surabaya. Yang penting sekarang kami lega karena sudah bisa melamar Lashira,” tutur wanita yang berstatus sebagai istri bupati itu. Hilda segera menanggapi ucapan sang calon besan. “Oh begitu ya, Bu. Ya sudah, tapi sebelum pulang mohon dicicipi dulu lemon tea yang sederhana dari kami. Memang hanya biasa saja, tapi bisa untuk menghangatkan tubuh di malam hari seperti ini,” pinta ibu tiri dari wanita yang tengah sesenggukan di kamar mandi tersebut. “Baiklah, Bu. Akan kami teguk dulu minumannya,” sahut Rima yang membuat Hilda mengembangkan senyum di wajahnya. Sebelum pulang, Rima dan Damar pun menyetujuinya permintaan Hilda. Namun Damar sempat menanyakan Lashira yang tak kunjung kembali dari kamar mandi. “Om, Tante, Shira kok lama sekali di kamar mandi ya? Sampai sekarang belum kembali?” tanya Damar yang jadi mulai posesif dengan calon istrinya itu. Abdullah berdeham. “Hmm ...mungkin dia sedang sakit perut,” jawab pria paruh baya itu yang langsung melirik ke arah sang anak tiri, Violetta. “Vio, kau susul Shira di kamar mandi. Bilang saja jika Damar dan Bu Rima mau pulang.” Violetta terpaksa mengangguk. “Iya, Pa. Aku susul Shira dulu.” Saudara tiri yang memiliki darah Kalimantan Selatan dan Jawa tersebut bergegas menghampiri Lashira di kamar mandi utama. Melaksanakan permintaan sang ayah itu. Violetta mengetuk pintu kamar mandi tersebut. “Shira! Shira! Kamu lama sekali di kamar mandi? Cepatlah, keluar! Jangan membuat calon suami dan mertuamu itu menunggu lama,” pinta Violetta setengah memekik. Lashira yang larut dalam kesedihan di dalam kamar mandi itu bergegas mengusap bulir-bulir air mata yang terjatuh sambil menarik napas panjang. Kemudian dihembuskan dan bangkit dari posisinya yang sempat duduk di closet kamar mandi guna menangis tersedu-sedu di sana. Lantas wanita cantik itu membukakan pintu kamar mandi dan menunjukkan dirinya yang tampak stress akibat lamaran Damar itu pada Violetta. “Wow, kau tampak ... menyedihkan, Shira. Kenapa? Tak terima dengan takdirmu untuk dilamar secara mengejutkan oleh pria asing itu? Pasti masih tak rela harus melepaskan seorang Aga Daneswara. Iya kan?” cecar Violetta. Lashira meneguk ludah lalu menjawab pertanyaan saudara tirinya itu. “Vio, kumohon jangan bahas ini dulu. Aku syok dan nggak tahu harus bagaimana lagi. Aku nggak sanggup harus menderita seperti ini. Nggak sanggup.” Violetta tersenyum mengejek. “Shira, Shira, jangan sok tersakiti kamu. Masih banyak orang lebih parah dari kamu. Kamu sih masih enak ya, habis dihamili pria lain terus dia mau tanggung jawab. Mau menikahi kamu dan menjadikanmu sebagai istri pria kaya raya. Bandingkan dengan wanita lain yang setelah dihamili terus ditinggalkan begitu saja tanpa dinikahi. Seharusnya kamu itu bersyukur. Nggak jadi dapat Aga tapi dapatnya Damar. Kau takkan jadi wanita miskin. Tenang saja!” tandas wanita yang selalu nyinyir dengan saudara tirinya tersebut. Lashira hanya bisa mendesah, lantas beranjak pergi dari sana untuk kembali ke ruang tamu. Damar yang melihat sang calon istri telah kembali itu tampak sumringah. Wajah gembira karena sudah bisa meminang wanita yang jadi obsesinya itu terukir jelas di wajahnya. “Shira, akhirnya kau kembali juga. Aku dan Mama sebelum pulang mau berpamitan denganmu, Sayang. Dengan calon istriku tercinta,” celetuk Damar yang mulai membiasakan diri memanggil Lashira dengan panggilan ‘Sayang' hingga anggota keluarga Ghassani terperanjat ketika mendengarnya karena selama ini hanya Aga yang memanggil Lashira seperti itu. Lashira hanya membisu. Tampak kerisauan terpancar dari wajahnya. Tampak gadis cantik itu tertekan dan frustasi dengan kenyataan pahit ini. Lashira yang tampak tak menggubris ucapan Damar, segera dibalas oleh Hilda. “Shira sepertinya sedang tak enak badan. Mungkin dia lelah,” balas Hilda merasa sungkan karena anak tirinya itu hanya diam saja. “Oh iya, Tante nggak apa-apa. Mungkin dia syok karena saya dan Mama datang secara mendadak begini tanpa pemberitahuan sebelumnya. Yang penting kita semua siap-siap saja untuk rencana pernikahan kami berdua yang tak lama lagi digelar. Meski resepsi pernikahan, Keluarga Ghassani tak perlu khawatir karena semuanya akan kami urus. Iya kan, Ma?” tanya Damara seraya melirik ke arah sang ibu. Rima mengangguk. “Iya, mengenai pesta pernikahan serahkan saja pada kami. Karena ini merupakan pesta pernikahan anak pertama kami, makan akan digelar mewah. Jadi tak usah khawatir tentang ini.” Damar bersuara kembali. “Ya sudah, sekarang kami pulang dulu ya. Selamat malam dan sampai jumpa lagi.” Hilda menyahuti. “Malam, Damar dan Bu Rima. Hati-hati di jalan ya,” pesan wanita paruh baya yang paling heboh dengan rencana pernikahan Lashira – Damar ini mengingat keluarga Pranata bukan keluarga sembarangan. Hilda merasa keluarganya seperti mendapat durian runtuh karena tak jadi menikahkan Lashira dengan keluarga dokter yang terpandang, tetapi digantikan dengan keluarga Bupati yang tersohor. Hal itu seolah-olah bisa mengangkat derajat keluarga Ghassani yang akan disegani oleh banyak orang karena akan menjadi besan dari Keluarga Pranata. Sepeninggal dari Damar dan Rima yang sudah tak terlihat lagi di sekitar rumah Lashira, Abdullah mengernyit dalam lalu membuka suara kembali. “Shira, setelah kita semua selesai makan malam, Papa ingin berbicara serius padamu. Kita harus berbicara serius mengenai apa yang sudah terjadi selama ini hingga kau sampai terpaksa mau menikah dengan Damar. Kita juga harus membahas tentang Aga juga. Masalah ini harus segera cepat selesai,” pinta Abdullah dengan tatapan mata tajam. Lashira mendesah pelan laku mengangguk. “Iya, Pa. Shira mau berbicara serius juga dengan Papa.” Hilda ikut bersuara. “Pa, Mama ikut bicara ya? Boleh kan?” tanya wanita itu yang selalu ingin tahu dan penasaran pada Lashira dan rencana pernikahannya yang rumit ini. Spontan Abdullah menggeleng. “Enggak. Hanya aku dan Shira saja khusus malam ini. Paham???” Hilda mendesah kecewa lalu manggut-manggut. “Iya, Pa. Paham.” “Baiklah sekarang kita nikmati makan malam dulu,” ajak Abdullah yang diangguki oleh anggota keluarga Ghassani. Mereka semua pun makan malam bersama dengan tenang. Di sela-sela menyantap makanannya, Lashira mulai gelisah. Ia menangis dalam hati. Hatinya terlalu sakit untuk menghadapi kenyataan. Sempat terlintas bayangan kebahagiaan bersama Aga sebelum bencana besar ini hadir dan takut jika kebahagian itu merupakan yang terakhir sebelum mereka berdua berpisah. Ia harus siap-siap berbicara serius dengan sang ayah. Berharap ada solusi atas segala permasalahan yang ada.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD