Bag 3

1222 Words
>> “Kamu sudah di sekolah Vava?” “Udah. Kamu tenang aja. Aku gak pernah ingkar janji.” >> “Hehehe… emang sepupuku yang satu ini paling ganteng dan baik hati.” “Aku paling ganteng karena cuma aku sepupu laki-laki yang kamu punya ya, Elin!” Elin adalah anak dari sepupu sang papa. Terdengar tawa renyah di seberang sana. Membuat Bima memutar bola mata kesal. >> “Aku akan jemput Vava setelah selesaikan urusanku.” “Hm. Tenang aja. Vava biasanya selalu betah kalau sama aku.” Setelah mengucapkan salam perpisahan pada sang sepupu, sambungan telepon Bima dan sepupunya itu terputus. Bima menghela napas panjang sambil memasukkan ponsel ke dalam saku jas. Ia mengedarkan pandangan ke penjuru sekolah. Baru kali ini ia datang ke sekolah anak dari sepupunya. Biasanya Vava dititipkan saat sudah pulang sekolah atau hari libur. Namun karena Elin yang berprofesi sebagai pengacara harus menemui client siang ini, dan sang suami sedang dinas ke luar kota, Bima bertugas menjemput keponakannya itu. Elin itu tipe ibu-ibu yang punya rasa waswas tingkat alam semesta, yang lebih suka menjemput anaknya seorang diri atau orang-orang yang ia percaya daripada pekerjanya. Seandainya jiwa kemanusiaannya tidak besar, mungkin Elin lebih suka jadi ibu rumah tangga yang bisa mengawasi anak satu-satunya yang ia miliki itu seorang diri. Namun sejak belum berkeluarga, Elin menjadi pengacara publik yang suka membela orang-orang kecil. Sampai ia menikah dan memiliki anak, jiwa kemanusiaannya semakin tinggi. Bima sangat bangga memiliki sepupu seperti wanita itu. Vava dan anak-anak dari sepupunya yang lain sangat menyukai Bima. Mereka menganggap omnya itu adalah om yang seru, tidak pelit dan baik hati. Setiap kali bersama Bima, mereka pasti pulang membawa mainan baru. Bima tersenyum sopan setiap kali tak sengaja bertemu pandang dengan ibu-ibu yang juga sudah menanti anak-anak mereka untuk pulang. Beberapa dari mereka sepertinya masih berusia muda, dan menatapnya penuh minat. Bima bukannya tidak menyadari pesonanya. Walaupun ia suka memikat wanita, bukan berarti ia akan bermain api dengan wanita bersuami. Bagi Bima, haram hukumnya melakukan hal itu. Ia teringat dengan kisah hidup papa dan mamanya, yang berpisah karena orang ke-tiga. Siapa lagi kalau bukan pria yang menjadi kekasih mamanya sampai saat ini, yang tak pernah menikahi mamanya itu. Bima tersenyum miris. Apa yang dilihat sang mama dari pria seperti itu? Kaya juga tidak, tampang biasa saja, tukang porot pula. Memang cinta itu membutakan. Bahkan ia pernah terjebak satu kali. Bima menggeleng untuk menghilangkan bayangan mama dan mantan kekasihnya dulu. “Shita, baru dateng?” “Eh, Mbak Kasih. Iya, Mbak. Tadi ngantar satu pesanan dulu, baru ke sini. Belum keluar ya?” “Sebentar lagi kayaknya.” Pandangan Bima beralih ke arah seorang wanita yang baru datang dan langsung mengobrol dengan salah satu ibu-ibu yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri. Suara wanita itu terdengar tak asing dan menarik perhatiannya. Mata Bima membulat saat melihat wajah wanita itu. Bukankah dia— Deg! Pandangan mereka bertemu. Sepertinya sang wanita juga terkejut melihat keberadaannya. Untuk sepersekian detik, udara di sekitar Bima terasa menyempit. Jantungnya berdetak tidak karuan. Sial… kenapa dia jadi seperti orang yang sedang jatuh cinta?? Tidak! Ini bukan jatuh cinta. Bima yakin jantungnya berdetak karena efek rasa bersalah yang bersarang di hatinya pada wanita itu. Wanita delivery drivers yang cukup manis jika dilihat-lihat lagi seperti saat ini. Wanita yang menolak uangnya. Mengapa mereka bisa bertemu di sini??? Apakah ini takdir? Bima menelan saliva susah payah. Ia berusaha menyunggingkan senyum, tapi wanita itu sudah lebih dulu membuang muka dengan wajah kesal. Bima menyugar rambut gugup. Tentu saja wanita itu berhak kesal. Ia dengan tidak berperasaannya menuduh wanita itu sembarangan satu minggu yang lalu. Setelah curhat pada sang papa, pikiran Bima jadi terbuka. Ya… yang salah adalah dia di sini, yang dengan mudah menilai wanita itu sembarangan. “Papa Embim?? Papa Embim yang jemput?” Lamunan Bima terhenti saat mendengar suara cempreng sang keponakan. Bima segera tersenyum lebar sambil menyambut sang keponakan ke dalam pelukannya. Ia mengusap sayang rambut Vava setelah gadis cilik itu memeluk kaki panjangnya. “Mami lagi ada urusan. Nanti Vava tunggu di kantor papa ya. Kata Mami kamu, nanti Vava dijemput di sana.” Keponakannya itu mengangguk senang sambil tersenyum riang. Pandangan Bima beralih ke arah wanita tadi, dan mendapati sang wanita sedang mengambil tas dari bahu seorang bocah laki-laki tampan. “Ada PR?” “Enggak ada, Bunda.” “Ya udah pulang yuk. Nenek udah bikinin El nasi goreng.” “Asyiiikk!!” Bima yang mencuri dengar percakapan wanita itu dan sang bocah laki-laki, memperhatikan wanita itu yang perlahan berjalan menjauh. Bunda??? Wanita itu sudah menikah? Bima menghela napas kecewa. T-tunggu… kecewa??? Kenapa ia bisa kecewa??? Si4lan! Apakah dia tertarik dengan wanita itu??? Yang benar saja! Tidak mungkin ia tertarik secepat ini! ‘Bima, otak lo di mana??? Itu cewek istrinya orang! IS-TRI O-RANG! Lagian, tu cewek enggak cantik-cantik amat, enggak seksi kayak Gina, Alya, Bella dan cewek-cewek yang pernah lo kenal. Ngapain juga lo harus tertarik?! Kayaknya elo udah mulai gila gara-gara udah lama enggak ‘ngamar’!’ Pikiran Bima harus segera disadarkan. Mungkin malam ini, lebih baik ia pergi ke kelab malam untuk menjernihkan pikiran. Atau… lebih baik menghubungi salah satu wanita kenalannya untuk berbagi kenikmatan? Hm… sepertinya ide yang terakhir lebih menggoda. Bima kembali menatap punggung wanita itu untuk terakhir kalinya. Cara wanita itu berjalan terlihat aneh. Apakah karena kecelakaan waktu itu— “Kaki Bunda masih sakit?” Deg! Sepertinya perkiraan Bima benar. Kaki wanita itu pasti terluka akibat insiden tiga hari yang lalu. Rasa bersalah semakin menyusup di hati Bima. “Enggak kok. Udah mendingan.” Indera pendengaran Bima kembali menangkap suara wanita itu yang masih belum jauh jaraknya dari tempat ia berdiri. “Kan udah diobatin sama El tadi pagi. Makasih ya, Sayang…” “Sama-sama, Bunda.” Hati Bima menghangat tanpa sebab saat mendengar bagaimana wanita itu berinteraksi dengan anaknya. Sepertinya wanita itu adalah sosok wanita yang lembut. “Papa! Papa Embiiiim~!” “Y-ya, Va?” “Papa kenapa sih? Kok bengong?” Bima mengerjap bingung. Seolah baru sadar dari pingsan. Tak lama, ia kembali tersenyum ke arah Vava, dan menggandeng bocah perempuan cantik ini agar mereka segera pergi dari tempat itu. “Papa enggak bengong. Papa lagi mikirin makan siang yang enak buat kamu apa,” ucap Bima sambil menuntun sang keponakan menuju parkiran mobil di sekolah dasar ini. “Apa ya? Hmm… pizza gimana, Pa?” “P-PIZZA??” Tanpa sadar Bima menghentikan langkah sambil memekik. Pizza? Makanan itu mengingatkannya pada kurir pizza manis yang sayangnya adalah istri orang. Sial! Kenapa pikirannya ke sana lagi?! Hen-ti-kan! “Kenapa, Pa? Enggak boleh ya?” Pancaran mata Vava yang tadinya ceria jadi meredup saat menyangka Bima tak setuju dengan menu yang ia sebutkan. “E-e… i-itu… b-boleh… Nanti sebelum k-ke kantor papa, kita mampir ke restoran pizza ya,” gugup Bima tanpa sadar. “Yey!!! PAPA EMBIM TERBAIK!!” Bima hanya dapat membalas dengan senyuman. Senyum yang dipaksakan. Hatinya… bergetar hanya karena mendengar kata pizza? Berengsek! Pizza sialan! Wanita itu juga sialan! Seandainya saja wanita itu mau menerima uangnya, perasaan bersalah ini tidak akan menghantuinya. Apa perlu Bima mengejar wanita itu sekarang? “Papa~ Nanti bacain Vava cerita ya~” Lamunan Bima kembali terhenti saat suara Vava kembali mendominasi telinganya. Bima menjawab dengan senyuman, lalu menggangguk sambil mengusap sayang rambut Vava. Sudahlah. Nanti saja Bima pikirkan lagi bagaimana caranya menghilangkan rasa bersalah ini. ***

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD