Bab 7

1289 Words
PoV. Kania Sentuhan lembut tangan mama, membangunkanku, perlahan aku membuka mata, tampak jelas wajah mama yang kini tersenyum menatapku. "Kau sudah bangun, sayang?" Terdengar mama bertanya. Aku hanya mengangguk lemah, perlahan mencoba bangkit dari tidurku. Kupijat pelan pelipisku, entah mengapa kepalaku masih terasa pusing, kulihat mama menuangkan segelas air, lalu duduk ditepian ranjang ini. "Ini minumlah dulu." Mama menyodorkan gelas berisi air itu padaku. Aku mengambil gelas itu dari dalam genggaman tangan mama, lalu segera menghabiskannya. "Apa yang terjadi padamu, Kania?" Aku mendengar pertanyaan mama, hanya saja kepalaku masih terasa pusing, aku mengerjap mata beberapa kali, lalu kembali memijat pelipisku. "Entahlah ma, kepalaku tiba tiba pusing," jawabku asal. Mama tampak menggelengkan kepala, lalu membantu menaruh bantal dipunggungku, membuatku sedikit nyaman duduk bersandar di kepala ranjang ini. "Begitu pulang, kau langsung masuk kekamar, lalu berteriak teriak, karena mencemaskanmu, mama dan Bi Asih, akhirnya pergi kekamarmu, saat pintu kamarmu terbuka, mama lihat kau sudah tergeletak pingsan, sayang." Mendengar penjelasan mama, aku mencoba kembali mengingat semuanya. Ah, iya. Alina, wanita itu yang membuatku seperti ini. "Maaf ma, tapi bisakah sekarang mama tinggalkan aku sendiri?" Pintaku. Untuk beberapa saat, mama menatapku dalam diam. Tapi, sorot mata itu menusuk, seolah-olah ingin meminta penjelasan dari ku. "Baiklah, mama akan tinggalkan kau sendiri, tapi jangan mengunci kamarmu," cicitnya. "Iya, tak akan ku kunci. Aku hanya ingin sendiri saja saat ini." Mama meninggalkanku sendiri, tak lupa menutup pintunya, aku menghela napas panjang, mencoba mengingat kembali apa yang terjadi padaku. Tamparan Alina, Aku tak mengerti, entah mengapa hal itu menjadi hal pertama yang kuingat. Ia menampar wajahku, hanya karena aku menyarankannya untuk meminta cerai dari Mas Bayu. Keterlaluan wanita itu. Aku mengerucutkan bibir, memakinya didalam hati, tanganku mengepal kuat. Seiring emosiku yang kembali hadir. Aku takkan kalah, Alina. Kau akan melihat bagaimana aku akan menikahi suamimu, lalu setelah itu akan kudepak dirimu sejauh mungkin dari Mas Bayu. Aku menyunggingkan senyum menyeringai. Rasanya sudah tak sabar melihat wajah Alina yang frustasi saat ia menatap raut wajah bahagia suaminya ketika melamarku nanti. Namaku Kania, dan aku tak suka di remehkan. **** [Semua karena dirimu, Kania. Kau membuat hidup Jeni hancur] [Kau wanita mengerikan, Kania. Semoga Tuhan bisa memberi hukuman padamu] [Ingat Kania, karma itu ada dan nyata, suatu saat nanti kau akan menuai apa yang sudah kau tanam, tuhan tidak pernah tidur.] [Bayu, tidak akan pernah menikah denganmu, aku akan menikahkannya dengan seorang gadis yang baik, akan kulepaskan pengaruhmu dari hidup anakku.] [Tidak!] [Tidak!] [Kalian semua, berhentilah mengganggu hidupku. Apa salah jika aku menginginkan sesuatu?] [Tolong, seseorang tolong hentikan suara suara itu!] "Kania ...!" "Kania ...! Seseorang mengguncang tubuhku cukup keras, sontak membuat mataku langsung terbuka karena terkejut. Entah sejak kapan tiba tiba wajahku dipenuhi keringat. Kulihat wajah cemas mama kini menatap ku, dibelakangnya, ada Keysa, adik perempuanku. "Kau tak apa apa, sayang?" Tanya mama padaku. Aku menggeleng pelan. "Apa yang terjadi, ma? Mama terlihat cemas," aku balik bertanya. "Kau mengigau keras, mbak. Aku saja sampai terbangun," keluh Keysa. "Oh ya? Maaf, aku tak tahu," "Ya jelaslah, wong yang teriak teriak dirimu," balas Keysa ketus. "Sudah, tak usah bertengkar. Keysa, balik ke kamarmu sana, mama mau bicara sebentar dengan mbakmu," sahut mama menengahi. Keysa mengerucutkan bibirnya, gadis yang masih duduk di semester akhir itu masih bergumam kesal padaku. "Dasar Mak lampir!" "Kau ..." "Keysa, sudah sana pergi!" mama mengulang perintahnya. Sepeninggal Keysa, hanya tinggal mama. Berdua dengan mama seperti ini, rasanya seperti menjadi seorang pesakitan di meja hijau. Papa meninggal tiga tahun setelah Keysa lahir, sejak kematian papa, mama memutuskan untuk tidak menikah lagi, baginya, mengurus dan membesarkan kami adalah prioritas utama. Papa meninggalkan warisan cukup besar pada mama, selain uang asuransi dengan jumlah yang besar. Papa juga meninggalkan bisnisnya yang saat itu sedang berkembang. Ditangan mama, bisnis yang dirintis papa akhirnya sukses. Yah, mama menjelma menjadi seorang janda kaya. Namun, kekayaan tak serta merta membuatnya tertarik mencari sosok pengganti papa. Bagi Mama, cintanya hanya untuk papa. Mama masih menatapku dalam, ia lalu meraih tanganku, lalu mengelusnya lembut. "Apa kali ini ada yang kau sembunyikan dari Mama, Kania?" Aku menggeleng pelan. Diusiaku yang hampir menginjak dua puluh delapan tahun, mama masih memperlakukanku seperti anak kecil. "Tidak ada ma, tadi aku hanya mimpi buruk saja." Mama menghela nafas, matanya masih menatapku dalam. "Makanya jangan lupa berdoa sebelum tidur, lagipula mama perhatikan kau selalu terlihat cemas dan gelisah akhir akhir ini, Kania. Apakah ada ...." "Mungkin karena aku terlalu lelah mengurus acara lamaran minggu depan, ma," aku langsung menyela. Kembali, mama menghela napas. Tanganku kini digenggam erat. "Kania, kau sudah dewasa dan bisa mempertimbangkan baik buruk dalam memutuskan suatu hal. Mama hanya bisa menyarankan, jangan sampai melakukan sesuatu hal yang bisa merugikan dirimu lagi, mama tak ingin melihatmu dihina dan dimaki maki seperti dulu. Mama cuma meminta satu hal saja darimu, tolong pikirkan baik baik semua keputusan yang kau ambil." "Termasuk keputusanmu menikahi Bayu, sayang," Lanjut mama. "Aku tahu apa yang kulakukan. Mama tidak usah khawatir. Lebih baik mama kembali tidur. Maaf sudah membuat mama cemas," Sahutku cepat. "Baiklah," Ucap mama menyerah. Mama beranjak dan berlalu dari kamarku, aku menatapnya tanpa berkedip. Ucapan mama seolah mental ditelingaku. Aku mengerti mama mencemaskanku. Tapi maaf ma, aku hanya berusaha mencari kebahagiaanku sendiri. Bukankah meraih kebahagiaan adalah hak setiap orang? "Setelah Mas Bayu menikahiku, aku yakin semua mimpi buruk ini akan berakhir," gumamku dalam hati Aku mengepalkan tanganku, tak lama air mata ini tiba tiba jatuh dengan sendirinya. Entah mengapa tiba tiba terbayang wajah Jeni dipelupuk mata. **** Tepat pukul lima sore, terdengar pintu rumahku diketuk seseorang dari luar. Kehamilan ini membuatku malas bergerak, dengan malas aku menyeret kaki, berjalan menuju pintu lalu membukanya. Wajah Nisa yang tersenyum, langsung menyembul dari balik pintu, sebuah kantong plastik bertuliskan, Zenith Bakery ia sodorkan padaku. "Nih, buah tangan spesial buat ibu hamil," Ucapnya. "Terima kasih." "Ada angin apa kau tiba-tiba datang kerumahku, Nisa?" "Tak ada, hanya pengin mampir saja," kilahnya. Aku membuka bungkusan cake yang di bawanya tadi sambil berjalan menuju ke dapur, lalu memindahkan cake itu sebuah piring lebar. Sungguh, tampilan cake ini terlihat sangat menggoda. Aku berbalik badan, tak kusangka jika Nisa menyusulku kedapur, kuminta ia membawa piring yang berisi cake tadi, sementara aku akan menyusulnya nanti setelah membuat segelas jus dingin untuknya. "Ini diminum, jus apel kesukaanmu," ucapku sambil menyodorkan gelas berisi jus ini ke hadapannya. "Wah ... Kau memang mengerti jika aku tengah haus, Alina," candanya. "Bagaimana kabar keluargamu?" Aku mengerutkan kening, tak lama seringai tipis terlukis di wajahku. "Apa yang ingin kau bicarakan denganku, Nisa?" Ia terkekeh begitu mendengar pertanyaanku. Tak lama wajah itu kini balik memandangku. "Kau memang pintar, Alina. Aku memang tak pandai berbohong dihadapanmu?" Ujar Nisa. "Katakan!" Aku memancingnya bicara. "Aku mendengar kabar jika suamimu akan melamar wanita lain, apakah kabar itu benar?" "Darimana kau dengar kabar itu, dan juga untuk apa mendengar kabar buruk tentang suamiku?" Aku menggeleng. "Jadi kabar itu benar?" Tanya Nisa masih tak percaya. "Iya, kabar itu benar," balasku. Nisa terlihat menggelengkan kepalanya, mungkin tak menyangka. "Aku tak habis pikir dengan suamimu itu, Alina, sudah dapat wanita sebaik dirimu, tapi masih ..." "Kalau begitu jangan dipikirkan," potongku cepat. "Lalu apa rencanamu selanjutnya?" "Tak ada ...!" Balasku dengan seringai tipis. "Kau bukan wanita bodoh, Alina. Aku mengenalmu berbilang tahun. Aku yakin ada hal yang sedang rencanakan saat ini. Katakan apa ada yang bisa kubantu?" Tanya Nisa. "Bantu saja aku dengan doa," jawabku sambil mengulas sebuah senyuman padanya. Ia kembali menggelengkan kepalanya. "Terkadang kau terlihat mengerikan, Alina," Ujarnya. Aku menyunggingkan senyum saat mendengarnya. "Untuk bisa menghabisi lawanmu, kau harus terlihat mengerikan, Nisa." "Hmm ... Mendengar pernyataanmu, aku yakin ada yang kau rencanakan, Alina," cicit Nisa. Aku menggeleng pelan, seulas senyum manis kuberikan padanya. Keputusanku sudah bulat. Dihari Mas Bayu melamar Kania, akan menjadi hari yang kelam untukku, saat itu akan kutagih janjinya agar mengabulkan satu permintaan terakhirku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD