Sandra dan selembar foto di dompetnya

1624 Words
Ada hati teriris dibalik orang humoris. -unknown- Sandra duduk terdiam di atas closet yang tertutup. Toilet sudah sepi karena sebagian besar karyawan yang ditempatkan di lantai ini sudah pulang. Matanya menyorot kosong pada pintu toilet yang tertutup. Dan kini tangannya perlahan membuka dompetnya, seketika dia bisa melihat sebuah foto hitam putih. Di foto itu tercetak tanggal yang sama dengan tanggal dan bulan hari ini, tapi tahunnya sudah terlewat hingga membuat foto itu tampak usang. Sandra sudah berusaha menjaga foto itu dengan baik hingga menduplikasinya juga. Tapi foto asli itu tetap yang harus dia simpan di dalam dompet untuk bisa dia lihat kapan pun dia mau. Walau setiap kali matanya menyorot pada foto itu, bulir air matanya akan otomatis membasahi pipi namun tidak ada isak yang mengiringi. Setiap tahun, Sandra selalu melewati tanggal dan bulan yang sama dengan emosi yang sama pula. Kesedihan yang dicampur kemarahan. Dia masih belum merelakan apa yang harus hilang darinya, tapi dirinya tidak bisa berbuat apa-apa. Sandra keluar dari toilet dengan keadaan sudah membenahi make up dan menyamarkan fakta bahwa dia baru saja menangis. Ruangan divisinya sudah kosong, hari ini tidak ada lembur dan Abram, bosnya pun tidak ada di ruangan sejak siang karena mengikuti rapat di luar dengan petinggi hotel. Dia berniat pulang juga, tapi malah duduk kembali di kubikelnya dan terdiam dengan tatapan kosong. Pikirannya berkelana lagi tentang ingatan bertahun-tahun lalu, masih berkaitan dengan foto yang dia simpan di dompetnya. Tangannya reflek mengusap perutnya lalu berubah meremasnya kuat dengan air mata yang kembali menyeruak. Emosinya meluap tapi tidak ada makian atau pun cacian yang keluar dari bibirnya. Selalu seperti ini. CKLEK Sandra menoleh mendengar suara pintu terbuka dan itu adalah ruangan Abram, manajernya. Cepat-cepat dia menghapus air matanya dan mengkondisikan wajahnya. Memaksakan senyum yang dia yakin akan sangat aneh. Tapi dia tidak boleh menampakan gurat sedihnya pada orang lain. Dia tidak mau menjadi lemah kembali. "Sandra?" Sandra tersenyum ketika Abram menyadari keberadaannya, lalu menghampiri dirinya yang berdiri di dalam kubikelnya. "Bukannya Bapak tadi ikut rapat? Sudah selesai ya, Pak?" Sandra mencoba menambah cengiran khas dirinya, tapi dia tidak yakin itu akan terlihat alami. Abram berdiri tepat di hadapan Sandra, dia melihat Sandra dengan intens apalagi ketika melihat mata Sandra yang merah dan di ujung matanya masih tersisa bekas air mata. "Kamu.. tidak apa-apa?" tanya Abram, dia mendekat pada Sandra sambil menyodorkan sapu tangannya. Tapi reaksi Sandra yang justru memundurkan posisi berdirinya membuat Abram berhenti. "Eh.. iya, pak. Saya nggak kenapa-kenapa kok." Sandra melebarkan senyumnya, tapi dia sudah ketar-ketir kalau dugaannya benar bahwa Abram tahu dirinya baru saja menangis. Abram kembali memasukan sapu tangannya ke dalam saku jasnya. Tangannya dia simpan ke dalam saku celananya untuk menahan supaya tangannya tidak segera merengkuh Sandra yang sedang berpura-pura baik-baik saja. "Kamu yakin?" "Seribu persen yakin, pak!" kata Sandra ceria. Lalu cepat-cepat dia membereskan tasnya, "saya pamit pulang ya, pak. Selamat malam." Tanpa menghiraukan panggilan Abram, Sandra sudah ngeloyor pergi dari hadapan Abram. Dia tidak mau diinterogasi oleh manajernya itu apalagi dalam keadaan seperti ini. Sedangkan Abram hanya mengernyit tidak mengerti dengan tingkah Sandra, dia tahu Sandra baru saja menangis. Dan itu merupakan hal langka yang pernah dia lihat dari sosok Sandra selama wanita itu menjadi stafnya. Dia penasaran, apa hal yang membuat Sandra sampai meneteskan air matanya. Dan membuat kesan ceria dan ceroboh dari Sandra luntur begitu saja. /// Esoknya Abram melihat Sandra sedang mengobrol dengan seorang office boy yang umurnya sudah setengah abad. Sandra memang akrab dengan siapa pun yang mau membuka diri padanya, dia supel dan ramah tanpa pilih-pilih berdasarkan status ekonomi, ras dan lain-lain. Tapi bisa menjadi sangat garang ketika bertemu orang-orang yang dinilai sangat melanggar etika. Seperti mantan pacarnya kemarin yang diputuskan karena hampir menyinggung soal body shamming. Abram masuk ke dalam pantry untuk membuat kopi ketika melihat Sandra dengan pak Mingan, OB untuk back office dari hotel Arilton. Ketika mereka berdua menyadari keberadaannya, Sandra langsung menghentikan percakapan dan terlihat kemudian pak Mingan pamit dan menyapa Abram kemudian keluar dari pantry. "Siang, Pak," sapa Sandra, tanpa mau berbasa-basi dengan Abram, stafnya itu kemudian cepat-cepat berjalan keluar dari pantry meninggalkan Abram yang masih berspekulasi. /// Sandra duduk di kubikelnya dan menghela nafas berat. Dia membuka ponsel dengan sidik jari lalu menekan layar pada aplikasi pemesanan tiket kereta. Memilih tujuan menuju Purwokerto dan mengisi pada bagian data penumpang dengan nama pak Mingan. Setelah menyelesaikan transaksi, Sandra juga mengirimkan uang melalui M-Banking pada rekening atas nama Pak Mingan juga. "Maafin sandra yang belum bisa pulang dan jenguk, Nek...," gumamnya lirih. Teman-teman satu divisinya yang baru saja tiba setelah makan siang dibuat keki dengan keadaan Sandra yang menjadi pendiam sejak kemarin. Meski Sandra tetap ikut menyeletuk ketika mereka sednag bercanda atau ikut nimbrung ketika sedang menggosip, mereka tahu Sandra sedang tidak berada pada fokusnya. Belum ada yang berani menegur Sandra, mereka sadar Sandra memutuhkan waktu sendiri dan privasi. Oni sejak kemarin pun hanya diam walau tetap memberikan perhatian seperti membelikan cemilan atau minuman coklat dingin untuk Sandra. Dia cukup tenang ketika Sandra kemudian tersenyum padanya seolah mengatakan bahwa Sandra bisa mengatasi masalahnya sendiri, dan meminta pada Oni atau pun teman yang lain untuk tidak khawatir. "Sandra, kamu ikut saya untuk survey furnitur baru untuk kamar VVIP." Suara Abram membuat semua staf menancapkan atensinya pada pria itu tidak terkecuali Sandra yang tidak biasanya langsung setuju. Padahal semua orang tahu Sandra ogah berurusan dengan Abram, bahkan selalu mendumel ketika disuruh sesuatu oleh manajer mereka itu. Mereka menuju IKEA dengan kendaraan pribadi Abram. Sandra kira mereka akan menggunakan mobil kantor dan disopiri, jadi kan dia tidak canggung begini karena terjebak berdua lagi bersama Abram di dalam mobil. Setelah terlibat percakapan basa-basi soal beberapa pekerjaan, sisa perjalanan mereka diisi oleh hening. Abram tidak inisiatif untuk berbicara, pun Sandra yang sedang terus ingin diam. Mereka tiba di IKEA hampir jam 3 sore dan langsung menuju bagian yang mereka cari. Survey seperti ini sebenarnya menurut Sandra adalah kegiatan buang-buang waktu. Kegiatan ini bertujuan untuk melihat secara detail untuk mencocokan pengajuan permintaan barang oleh divisi perlengkapan sebelum kemudian disetujui divisi HRD, lalu diajukan ke divisi keuangan. Prosesnya memang seribet itu, Sandra heran kenapa tidak langsung saja mengajukan pada divisi keuangan, tapi survey seperti ini pun berlaku pada hal semacam memilih wine berkualitas. Keuntungannya sih kalau sedang survey untuk perlengkapan gudang makanan dia akan ikut kecipratan untuk mencicipi bahkan mendapat bingkisan khusus. Biasanya juga untuk survey Abram tidak turun tangan langsung, dia bisa saja bersama staf lain. Tapi kalau untuk urusan kamar VVIP hotel mereka memang agak ribet, manajer harus turun tangan memastikan kualitasnya langsung. Yeah.. Sandra tahu seberapa besar dan mewahnya hotel tempat dia kerja itu sehingga sangat memperhatikan hal-hal kecil seperti ini. Abram sedang berbincang dengan seorang staf perwakilan dari IKEA untuk membantu mereka melakukan survey. Perwakilan itu adalah seorang wanita yang mungkin seumuran Sandra, dengan dandanan yang hampir sama seperti Sandra juga, blus dan rok kerja pensil, tapi ini lebih ketat sampai Sandra tidak yakin apa itu nyaman untuk bergerak ke sana-ke mari. Sandra berjalan sendiri melihat-lihat perabotan yang ada disana. Pikirannya cukup teralihkan dengan kegiatan ini, diam-diam Sandra berterimakasih karena Abram sudah mengajaknya kemari. Sampai kemudian dia berhenti melangkah ketika matanya menangkap sebuah tempat tidur bayi yang unik. Tanpa sadar dia melangkah mendekat untuk menyentuh tempat tidur bayi itu dan merasakan bagaimana dia menyentuh bahan kayu yang digunakan. Tapi pikirannya sudah melayang memaksanya kembali ke masa lalu. Dirinya pikir tadi adalah pilihan tepat karena Abram mengajaknya kemari karena sekalian jalan-jalan dari pada suntuk di kantor. Tapi senua itu ditepis oleh keberadaan tempat tidur bayi yang memaksa Sandra mengenang kesedihannya lagi. Rasanya sesak memandangi tempat tidur itu. Abram menghela nafas lega ketika dia menemukan keberadaan Sandra yang tiba-tiba hilang dari pandangan matanya. Dia melangkah menghampiri tempat Sandra sedang berdiri seolah fokus melihat sesuatu, dan itu ternyata tempat tidur bayi. Semakin dekat dengan posisi Sandra, Abram menjadi tahu kalau Sandra sedang melamun. Karena sampai beberapa menit dia berdiri di belakang Sandra, wanita itu tidak kunjung menyadarinya. Abram pun menepuk pundak Sandra pelan, tapi efeknya sampai membuat Sandra terkejut dan hampir saja jatuh kalau Abram tidak memegangi lengannya. "Hati-hati." Abram melepaskan tangannya dari lengan Sandra ketika wanita itu sudah berdiri dengan tegap lagi. "Kamu mau beli tempat tidur bayi ini?" tanya Abram. Sandra menoleh bingung pada Abram. Dia seketika menjadi kalut harus menjawab apa. Dia bukan ingin membelinya, karena melihatnya saja sudah membuatnya sedih. "Engga kok, pak. saya cuma lagi liat-liat soalnya sahabat saya ada yang punya anak bayi." "Lho, bukannya pas kalo gitu, ini juga keliatannya bagus produknya." Kata Abram menunjuk tempat tidur bayi yang tadi dilihat Sandra. "Kamu beli saja." Sandra melotot, dia tadi sudah melihat berapa harga tempat tidur bayi ini, dan itu hampir setengah dari gajinya. Dia yakin Jane, sahabatnya itu pasti sudah punya hal macam ini dari suaminya yang direktur utama perusahaan besar. "Enggak, pak. Suami sahabat saya aja udah tajir melintir, saya beliin anak mereka kaos kaki aja biar tidurnya anget." Cengiran Sandra muncul lagi dan itu lebih terlihat seperti Sandra yang biasanya menurut Abram. "Bilang saja kamu pelit, San," cibir Abram. "Ih, bapak! Nggak gitu, pasti kan udah banyak yang kasi hadiah kayak gini." "Tapi lebih banyak lagi yang kasih hadiah kaos kaki kaya kamu itu." Sandra merengut, tapi benar juga kata Abram. "Ya udah, nanti saya pikirin lagi deh hadiahnya supaya unik dan nggak ada yang niru." Abram hanya menggeleng heran dengan pemikiran Sandra. Tapi kemudian dia tersenyum sebab melihat Sandra sekali lagi meninggalkannya untuk melihat-lihat barang-barang yang sedang mereka survey. Setidaknya dia bisa melihat Sandra sedikit teralihkan oleh apapun yang membuat wanita itu murung. /// Instagram : gorjesso Purwokerto, 23 Oktober 2019 Tertanda, Orang yang lagi ngunyah es batu.. panas gan~~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD