2. Merkurius dan Neptunus.

1613 Words
“Kadangkala aku ragu—mengapa aku dan kamu mesti bertemu, padahal kesibukanmu tak pernah merindu.” *** "Gimana hasilnya, Na? Skripsi lo diacc kan?" tanya Lintang yang memperlihatkan kecemasannya, bagaimana tidak begitu kalau wajah Senaru saja sudah terlipat sejak keluar dari ruang sidang skripsi beberapa detik lalu, membuat Lintang nan begitu setia menunggunya mulai menerka yang tidak-tidak. "Lin." Mata Senaru tampak berkaca. "Maafin gue ya, maafin temen lo ini." "Aduh, udah enggak enak banget bahasanya nih, serius skripsi lo enggak—" "SKRIPSI GUE DIACC, LIN! BENTAR LAGI GUE BAKAL WISUDA!!!" Ekspresi Senaru seketika berubah usai mengatakannya, ia mendekap erat Lintang seraya menangis, tapi bukan untuk rasa sedih—melainkan haru menerima kenyataan kalau sebentar lagi dirinya menjadi lulusan mahasiswi strata satu jurusan seni rupa dan desain dari Universitas Trisakti yang legend itu. Senaru sampai melompat-lompat kegirangan saat mendekap Lintang, ia jadi lebih mirip katak lompat ketimbang seorang perempuan yang sudah berjuang menerima materi dan mempraktikannya selama empat tahun ini. Tak sia-sia hobinya menggambar sejak masih duduk di bangku SD bisa menghasilkan sesuatu yang kini siap Senaru banggakan tatkala orang-orang menganggapnya sebagai tukang coret-coret sampai menghabiskan banyak kertas hingga memenuhi tempat sampah di kamarnya. "Serius kan, Na? Lo nggak lagi ngerjain gue kan?" Lintang jadi skeptis. Senaru mengurai pelukannya, ia membingkai wajah Lintang, sedikit menekan kedua pipi sahabatnya. "Coba cari ada yang bohong gak di mata gue? Temen lo ini bakal diwisuda, Lin. Gue bakal diwisuda! Ah, ya ampun!" "Bangga banget gue, Na. Akhirnya lo get out juga dari kampus ini, ya ampun nggak ada yang bakal minta traktiran lagi ke gue." Jingkrak-jingkrak Senaru terhenti. "Emang lo enggak ada niat buat lulus tahun ini, Lin? Soal ganti traktiran nanti deh kalau gue udah gajian." "Ya, ada niat sih gue. Nanti deh, skripsi gue belum kelar direvisi." Ia merangkul bahu Senaru seraya mengajaknya melangkah. "Mending kita makan bakso seafood, yuk! Gue lagi ada duit lebihan nih." Senaru menghentikan langkah—membuat Lintang refleks ikut berhenti, mereka saling menatap. "Gue enggak bisa, Lin. Gue baru inget ada urusan habis ini." "Urusan apa?" tanya Lintang, ia tampak kecewa, melihat bungkamnya Senaru membuat lintang berdecak menyadari sesuatu, ini bukan lagi hal asing yang tak pernah Lintang hadapi, ia mengenal baik temannya sejak masih duduk di bangku SMA itu. "Jarrel, again, Na?" "So sorry." Senaru sampai mengatupkan telempapnya. "Mana dia, udah tahu ceweknya hari ini sidang skripsi malah nggak muncul, kasih semangat gitu minimal." Wajah Lintang masam, ia bersidekap. "Ya udah, Na. Gue pergi sendiri aja, jaga diri baik-baik ya." Setelah menepuk pundak Senaru, Lintang beringsut pergi. Gadis berkemeja biru muda itu memilih duduk pada kursi panjang yang tersedia di dekatnya, ia berdecak saat harus mengingat sesuatu tentang Jarrel, padahal belum tentu kekasihnya balik memikirkan Senaru. Ia membuka ponsel yang baru dirogohnya dari saku celana, dari banyaknya pesan chat yang masuk tak ada satu pun dari nomor Jarrel. Kebanyakan chat yang masuk menanyakan bagaimana sidang skripsi Senaru hari ini, orangtuanya yang tinggal di Palembang juga, setidaknya Senaru masih bisa menarik sudut bibirnya saat membaca chat berisi dorongan semangat dari orang-orang, meski bukan Jarrel. "Congratulations, Naru." Suara seseorang nan terdengar familier membuat Senaru menengadah menemukan Petra—dosen pembimbing Senaru—yang sudah berdiri di depannya seraya mengulurkan sebuket bunga pada gadis itu. "Eh, Pak Petra." Senaru beranjak seraya mengulas senyum, ia juga menerima buket bunga tersebut, dari sekian banyak orang mengapa harus Petra yang justru membaginya bunga. "Makasih banyak, Pak." Pria yang usianya terpaut empat tahun dari Senaru dan belum menikah itu duduk, membuat Senaru kembali duduk. "Ya, satu mahasiswi saya tahun ini lulus." "Ya mau gimana ya, Pak. Saya kan enggak mau jadi mahasiswi abadi di sini." Jika dilihat-lihat mereka lebih cocok sebagai kakak adik ketimbang dosen serta mahasiswi, terlalu sering bertemu membuat keduanya begitu akrab sampai Petra tak segan berbagi beberapa masalah hidupnya menjadi suara yang merasuk indra pendengaran Senaru, sampai gadis itu tahu alasan Petra menolak perjodohannya dengan seorang perempuan yang berstatus sebagai dokter anak di salah satu RS umum Jakarta. "Makasih ya udah bantu Naru sampai materi skripsinya diacc." "Kan emang tugas saya, Na. Lagian dari mahasiswa yang saya handel, cuma kamu yang paling semangat hubungi saya buat urus ini itu, kayaknya kamu emang ngebet banget pengin lulus ya, Na." Bagaimana tidak, pukul sepuluh malam saja Senaru pernah menghubungi Petra sekadar meminta pria itu meninjau ulang hasil revisinya, karena tak bisa bertemu Senaru mengirimkan file revisian skripsinya dari laptop seraya melakukan zoom dengan Petra malam itu juga. Biasanya, mahasiswa yang sering diteror deadline skripsi oleh dosen pembimbingnya, tapi saat Petra menghadapi Senaru, justru ia yang lebih sering diteror, seolah posisi mereka sudah terbalik. "Iya dong, Pak. Naru kan mau fokus sama kerjaan." "Iya, iya." Petra setuju. "Eh, kok pacar kamu nggak ke sini, Na?" Petra sampai menatap ke segala arah sekadar memastikan sesuatu. "Telat datang, ya?" "Mung-kin." Senaru skeptis mengatakan, sebenarnya ia sendiri tahu mengapa Jarrel sampai tidak datang untuk sekadar mengucapkan selamat padanya hari ini, mungkin juga laki-laki itu masih terlelap setelah efek mabuk semalam. "Lagian, Senaru juga bawa mobil kok, Pak. Jadi, enggak perlu jemput-jemputan, habis ini masih harus ke kantor, ada deadline ilustrasi komik bareng tim." "Oke deh, semangat ya, Na." Petra beranjak. "Saya mesti ketemu sama dekan, saya tinggal, Na." Ia melenggang pergi, dari langkahnya saja sudah menegaskan kalau Petra sangat berwibawa, kasak-kusuk yang beredar beberapa mahasiswi pernah dekat dengan Petra, entah benar atau tidak, yang jelas Senaru mengagumi integritas pria tersebut. Senaru menyempatkan waktu membuka kamera ponsel dan mengarahkannya sedikit menjauh dari wajah, gadis itu membuat pose tengah mendekap buket bunga dari Petra di tangan kiri seraya memiringkan kepala hingga menyentuh permukaan bunga, ekspresinya sebatas smile eyes yang terpejam. "Thank you bunganya bapak dospem," tutur Senaru menuliskan apa yang diucapkannya sebelum memposting selfie tersebut di **, kini ia beranjak meninggalkan kampus—menuju tempatnya bekerja yang sudah begitu baik memberikan sedikit kompensasi waktu agar boleh datang terlambat karena sidang skripsi yang tak mungkin dielaknya, hampir semua penghuni kampus pasti menginginkan momen seperti ini—saat akhirnya mereka terlepas dari rutinitas masa kuliah, tapi berganti menuju petualangan baru, termasuk Senaru yang memang sudah mengenal dunia kerja sebelum benar-benar lulus dari Universitas Trisakti. *** Sebuah mobil baru saja menepi di sisi jalan depan sebuah rumah minimalis bercat krem yang ditinggali seseorang, Bella turun dari kendaraannya dan bergegas mendorong gerbang yang tak terlalu lebar itu, asal muat saja untuk dilewati kendaraan si pemilik rumah. Bella mengetuk pintu, tirai masih menutupi seluruh jendela di tempat tersebut, membuat Bella mengerti kalau seseorang di dalam sana pasti belum terbangun. Namun, Bella tak ingin mengalah—apalagi dengan waktu yang terus mengejarnya seperti polisi mengurusi pengendara motor yang tak taat aturan. "Ja, Jarrel. Buka pintunya, Ja." Tok-tok-tok! Bella beralih mengetuk kaca yang posisinya berada persis di samping ranjang tempat terbaringnya Jarrel sekarang. "Jarrel, ini Bella, ayo keluar buka pintu rumah lo, Ja." Laki-laki itu pastinya sudah sangat terusik karena ketukan kaca serta permukaan kayu terus memenuhi indra pendengarannya, padahal yang Jarrel inginkan hanya terlelap sampai ia merasa bosan. Suara Bella yang tak bisa berhenti membuat Jarrel mengalah, ia beranjak menghampiri pintu utama seraya melangkah gontai, masih ada efek alkohol yang tersisa di tubuhnya. "Apa?" Suara serak nan berat dari Jarrel mengudara, mata sayunya yang memerah menatap sang manajer di depan pintu. "Kok apa sih? Lo nggak inget schedule lo hari ini apa? Bentar lagi jam dua, Ja." Bella memprotes, ia melenggang begitu saja melewati Jarrel yang berdecak, selain Senaru memang ada satu perempuan lain yang rajin mengatur kehidupan Jarrel, dan Bella namanya. Bella tampak berkeliling menatap isi kediaman Jarrel yang terkadang mirip kandang ayam, tapi ia bisa menebak jika kondisi rumah Jarrel tampak rapi, pasti Senaru dalang di balik semuanya. Padahal musisi papan atas di luar sana tinggal di rumah mewah mereka, tapi Jarrel Ganesha justru memilih tetap berlindung di bawah atap rumah minimalis satu lantai bergaya studio tersebut. Lebih menggelikannya posisi cluster tempat Jarrel tinggal berada paling ujung dari Komplek Perumahan Merpati tersebut, komplek perumahan orang-orang biasa. Gadis itu meraih gelas kaca dari permukaan meja rendah sisi ranjang, ada sisa s**u putih di sana, ia menyipit menatap Jarrel yang kembali merebahkan tubuh di ranjang empuknya itu. "Senaru dari sini, Ja?" "Semalem." Bella berdecak seraya menggeleng, ia membawa gelas tersebut menjumpai wastafel. "Kalau gue jadi dia, udah gue tinggalin lo dari lama." "Bagusnya dia bukan lo," sahut Jarrel yang kini beranjak duduk dan merogoh ponsel dari saku celana. Selain belasan chat dari beberapa orang, satu chat dari Senaru turut serta Jarrel buka. Hari ini aku ada sidang skripsi, Ja. Hanya sebatas dibuka tanpa berminat membalas atau menghubungi untuk sekadar menanyakan bagaimana keadaan Senaru hari ini, mimpi. Ia terlalu cuek menanggapi urusan orang lain termasuk kekasihnya sendiri, bagi Jarrel kehidupannya sudah sangat rumit, dan jika orang lain sudi mendekat ia akan mempersilakannya dengan senang hati, hanya saja bukan untuk diajak mengisi beberapa hal—termasuk ruang lingkup yang tak bisa Jarrel berikan. "Ja, lo lusa ada manggung lagi kan. Gue udah hubungi yang lain, dan mereka lagi jalan ke studio. Jadi, sekarang lo siap-siap, Ja." "Hm, iya." Jarrel meletakan ponselnya begitu saja dan beranjak memasuki kamar mandi, selama perputaran hidupnya yang mendekati 23 tahun ini, musik adalah prioritas utama, seperti udara yang membuat rongga d**a Jarrel terus bergerak. Selain itu antara hubungan romansa, keluarga atau apa pun selalu menjadi nomor sekian. Jadi, kalau ada yang mengajak Jarrel menonton konser, latihan di studio, menghadiri sebuah acara bertemakan musik, manggung dan semua yang terhubung dengan musik—pasti ia akan langsung datang sekalipun di awal begitu sibuk, meskipun sedang pergi bersama Senaru yang kadang hanya bisa menarik napas melapangkan kesabarannya. Jika diibaratkan kalau Jarrel adalah matahari, maka musik di posisi Merkurius, sedangkan Senaru ada di Neptunus. Jadi, bayangkan seberapa jauhnya mereka selama ini? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD