Hantu Pulih

1876 Words
Dokter itu mengembuskan napas lega. Keringat mengucur di seluruh tubuhnya. Setelah berbagai usaha yang dilakukan, dimulai dari memakai tangan sebagai alat kejut alami. Sampai benda AED defibrillator ikut andil, akhirnya degup jantung Elea kembali normal. Mereka belum tahu apa penyebabnya, yang pasti mereka harus lebih intens lagi terhadap pasien yang satu ini. Karena hal itu bisa saja terjadi lagi sewaktu-waktu. “Beri kabar pada orang tua pasien Lea, putri mereka sudah menunjukkan reaksi,” perintah dokter pada si perawat yang juga tersenyum lebar karena akhirnya Elea berhasil melewati masa kritis. Segera dia menjalankan mandatnya. “Tidak bisa, Dok,” seru perawat saat berulang kali menelepon Darma dan Lusi tetapi nomornya tidak bisa dihubungi. Hanya operator saja yang berbicara sejak tadi. Dokter Rian terdiam sejenak. Matanya menatap Elea dengan iba. Sepertinya dia tahu apa yang sudah dilakukan Darma saat melihat gerak-gerik pria tadi. “Kalau begitu kirim pesan saja,” titahnya lagi. “Baik.” Perawat melakukan seperti yang diperintahkan Sang dokter muda tersebut. Setelah mengirimkan pesan pada Darma dan Lusi, perawat kembali memeriksa Elea. Dia terkejut dan memanggil dokter yang juga masih ada di ruangan tersebut. “Dok, lihat!” Dokter langsung melihat ke arah Elea. Lalu kembali melihat suster Siska yang merawat, mereka tersenyum bersama. Tangan Elea bergerak perlahan. Dokter dan perawat membiarkan hal itu. Mereka menunggu apa yang selanjutnya terjadi. Dalam hati tentu keduanya harap-harap cemas. Setelah menunggu cukup lama, perlahan kelopak mata Elea bergerak. Mereka berdua semakin memperhatikan hal tersebut. Kini perawat mulai berani memegang tangan Elea dengan lembut. Berharap itu bisa membantu pasien untuk meraih kesadarannya kembali. Benar saja, kini Elea sudah membuka mata perlahan, bagai menunggu anak itik keluar dari cangkangnya. Perasaan berdebar tentunya ada. Kini dengan sempurna meski berulang kali menyerit, mata Elea terbuka. Dia mengerjap, Mungkin silau cahaya masih membuatnya kesulitan. Apalagi waktu yang dilalui bukan sebentar, tetapi hampir tiga tahun lamanya. Perlahan mulut Elea bergerak seperti hendak mengatakan sesuatu. Dengan sigap perawat meraih botol minum yang tersedia di ruangan tersebut. Dia menyodorkan sedotan ke mulut Elea, dan pasien itu merespons dengan baik dengan mulai menyedot air meski terlihat kesulitan. Tanpa sadar suster Siska menitikkan air mata melihat perjuangan Elea. Dia begitu yakin bahwa gadis satu ini punya semangat yang begitu tinggi untuk kembali sembuh. Dokter pun tersenyum melihat interaksi keduanya yang seakan punya ikatan. Dalam hati dia juga merasa sedih melihat Elea. Apalagi kedua orang tuanya tidak berada di sini saat dia mulai sadar dari tidur panjangnya. Malah dokter Rian menangkap gelagat aneh yang membuatnya tidak tahu harus berbuat apa setelah ini. “Dok, pasien Lea benar-benar sudah sadar!” seru suster Siska seraya menyeka air mata. Dia menunjukkan botol mineral yang isinya tinggal setengah. “Terima kasih karena selama ini kamu sudah begitu sabar dalam membantu saya mengamati dan menangani pasien Lea.” ujar dokter Rian. Sontak kabar itu langsung menyebar ke seantero rumah sakit. Ini seperti mimpi. Bagai punya prestasi baru yang belum pernah dialami oleh rumah sakit mana pun. Bahkan rumah sakit yang lebih besar dan elite dari mereka. Semua orang mengucap syukur atas sadarnya Elea. Bahkan mereka ingin melihat kondisi pasien tersebut secara langsung. Mulai dari petugas keamanan dan kebersihan sampai penjual makanan di kantin rumah sakit. Sayangnya dokter tidak mengizinkan Elea untuk dijenguk banyak orang sementara waktu. Dia tidak mau ada hal buruk yang terjadi di masa pemulihan gadis itu. “Dok, kenapa orang tua pasien Lea belum datang juga, ya? Saya sudah menghubungi berulang kali. Tapi tetap saja nomor mereka tidak aktif.” Wajah perawat terlihat kebingungan. Dokter menghela napas panjang. “Mulai sekarang pasien Lea ada dalam perwalian Saya. Seluruh biaya rumah sakit akan ditangguhkan sampai kedua orang tuanya melunasi. Saya sendiri yang akan mengatakan pada direktur rumah sakit dan memberi jaminan sampai beberapa waktu," papar dokter Rian. Perawat cantik dengan mata bulat itu hanya terdiam. Dia tidak tahu kenapa dokter Rian tiba-tiba mengambil alih perwalian Elea. Tapi dia tidak mau bertanya karena itu di luar tugas sebagai pendamping dokter. Walau bagaimanapun dia tetap harus profesional dalam bekerja. Kini tugasnya memantau kesehatan Elea sampai benar-benar pulih. Entah kenapa ada rasa sayang dalam dirinya untuk Elea yang kini sudah berusia dua puluh tahun tersebut. Miris sekali rasanya, Elea kehilangan tiga tahun penting dalam hidupnya dengan terbujur tak berdaya di atas brankar rumah sakit. Selama ini pula Alika menjalani rehabilitasi di sebuah rumah singgah milik seorang psikiater ternama. Alika dinyatakan memiliki gangguan emosi yang tidak terkendali. Hal itu bisa menjurus pada psikopat jika tidak segera ditangani. Pasien yang wajahnya masih sedikit pucat tersebut terbangun setelah dua jam lamanya dia tertidur. Tadi setelah minum, Elea kembali tertidur. Jadi saat ini perawat sudah menyediakan bubur untuk diberikan pada pasien Lea. Itu juga tugas yang diberikan dokter, dia melakukannya dengan senang hati tanpa banyak bertanya tentang keberadaan orang tua di pasien. Menurutnya dokter Rian punya pemikiran sendiri tentang itu. Mungkin saja beliau tahu apa yang terjadi di keluarga Elea. “Lea, sudah bangun.” Dengan lembur perawat Siska membantu Elea agar bisa duduk. Dengan semangat, gadis itu mengikuti gerakan si perawat meski beberapa kali meringis. Tubuhnya pasti terasa linu dan pegal akibat terlalu lama tidak bergerak sama sekali. Tubuh belakangnya seakan menempel dengan tempat tidur--walau tidak sampai lecet karena Elea rutin dimandikan. Akhirnya Elea bisa duduk dengan bersandar pada bantal yang menyangga punggung agar lebih nyaman. Perlahan Elea mulai membuka mulut seperti hendak mengatakan sesuatu. “A-Alika ....” “Makan dulu, ya. Nanti baru belajar mengeluarkan suara,” ujar suster lembut, lalu menyodorkan sesendok bubur hangat ke mulut Elea. Nyatanya Elea masih mengingat nama teman lamanya itu. Sejenak Elea menatap wajah perawat cantik tersebut. Mungkin mencari ketulusan di sana. Kemudian dia mulai membuka mulut. Dia mengunyah bubur dengan sangat lambat. Sesekali meringis karena mungkin belum terbiasa. Perawat pun memaklumi kondisi tersebut dan sangat telaten mengulang sesendok demi sesendok hingga mangkuk di tangannya kosong. Selama ini Elea hanya makan lewat selang dan infus yang meresap. Jadi secara beruntun itu juga menghilangkan kemampuannya dalam mencecap benda yang masuk ke mulut. Hanya Elea tahu dia harus mulai belajar mengunyah jika ingin keluar dari sini. Tidak tahu berapa lama waktu yang dia habiskan untuk tertidur, namun melihat bentuk tubuhnya sendiri. Elea tahu dia sudah mengambil banyak waktu memperjuangkan haknya pada sikap Alika. Air di gelas bening langsung habis dalam satu kali minum. Elea merasa tenggorokannya mesti dibasahi. Kali ini tidak lagi menggunakan sedotan untuk lebih menstimulasi bagian mulut. Sejauh ini semua normal sesuai perkiraan. Bahkan Elea termasuk cepat tanggap untuk pasien koma selama tiga tahun. “Sus, pa-papa dan mama ... saya, di m-mana?” tanyanya terbata-bata. Bahkan ternyata untuk kembali berbicara normal pun butuh banyak usaha dan tenaga. “Mereka sedang bekerja,” jawab suster Siska atas inisiatifnya sendiri. Dia memang tahunya kedua orang tua Elea sedang bekerja. “A-Ali-ka ....” sepertinya Elea mengingat kejadian saat terakhir sebelum dia terjatuh dari atas gedung. Ingatan yang begitu lekat di dalam memori dan terekam sangat jelas. Sampai pertama kali bangun malah nama Alika yang dia sebut. “Sudah. Kamu jangan banyak pikiran dulu, ya? Kamu harus lekas sehat,” nasihat suster Siska. Elea meringis pelan. “Kalau begitu saya tinggal sebentar.” Elea kembali mengangguk. Dia belum bisa banyak berbicara dan bergerak. Saat perawat keluar, Elea termenung sembari mengingat semua yang bisa dia ingat sebelum berakhir di rumah sakit. “Ri-Rinaldi!” Elea masih mengingat nama kekasihnya. Tandanya dia memang tidak mengalami amnesia sama sekali. Kerja kerasnya melindungi tempurung kepala ketika itu ternyata berhasil. *** “Dok, pasien Lea menanyakan tentang kedua orang tuanya.” Perawat Siska langsung memberi tahunya ke dokter Rian. Gegas pria tinggi dengan jas putih itu berjalan menuju ruang Elea. Dia memberikan perhatian penuh pada Elea. Dokter Rian merasa hatinya terpanggil untuk membantu Elea. Mata mereka langsung berserobok saat Sang dokter membuka pintu. Elea lantas tersenyum sambil mengangguk. Dari pakaiannya tentu dia tahu bahwa pria yang kini berjalan ke arahnya adalah seorang dokter. “Elea, bagaimana kabarmu?” tanya dokter Rian dengan ramah. Dia memeriksa selang infus yang masih menancap di lengan kiri Elea. Gadis itu hanya menjawab dengan anggukan pelan. Elea sempat membaca papan nama yang bertengger di jas kiri dokter. dr. Adrian, seperti itu yang dia baca. Kini Elea tahu nama pria muda di depannya. Melihat kondisi Elea yang sangat baik, dokter Rian merasa dalam waktu tiga hari ke depan Elea sudah bisa dibawa pulang. Masalahnya dia tidak tahu ke mana Darma dan Lusi. Harus kemana Elea. Disaat Elea tertidur tadi, dia menyuruh beberapa orang untuk datang ke rumah Darma, tetapi rumah itu ternyata kosong. Para tetangga juga tidak tahu ke mana perginya mereka. Selain itu pabrik tempat Darma bekerja juga sudah didatangi. Staf rumah sakit, di sana mengatakan kalau Darma tidak datang bekerja hari ini. Juga tidak ada izin apa pun. Hal itu membuat dokter Rian semakin yakin bahwa kedua orang tua Elea pasti sudah pergi meninggalkannya sendirian. Andai mereka mau bersabar sedikit lagi, maka saat ini pasti mereka sedang berbahagia karena Elea sudah pulih dan tidak kurang suatu apa pun. Ingatannya juga sepertinya baik-baik saja. Tidak ada masalah apa pun. Hanya tinggal pemulihan saja. Tetapi seperti itulah manusia. Kadang karena ketidak sabaran mereka melewatkan peluang untuk lebih bahagia. Dokter Rian yakin meski pergi tapi mereka akan terus memikirkan keadaan Elea. “Apa yang kamu pikirkan?” pancing dokter Rian merasa iba dengan Elea. “P-Papa ... dan mama mana, Dok?" tanya Elea jujur. Elea seakan bisa menerka yang terjadi. Setelah jatuh dari gedung pasti dia dibawa ke rumah sakit ini. Dia sedih saat memikirkan kedua orang tuanya yang pasti sangat bersedih akan kondisinya. Elea tidak bisa menerka berapa lama waktu yang sudah dia lewati di rumah sakit itu. Dalam sini semua mirip dengan perandaiannya dahulu ketika membicarakan ruang ICU, seakan jam berhenti berputar. Seandainya dia tahu nanti kalau sudah tiga tahun waktu berlalu, entah bagaimana lagi kesedihan yang akan dia tanggung. “Emh ....” dokter Rian mencari cara agar bisa menyampaikan pada Elea tanpa gadis itu gagal paham. “Orang tua kamu sedang bekerja di tempat yang jauh untuk biaya rumah sakit selama kamu dirawat di sini. Jadi ... mereka menitipkan kamu pada saya.” Elea terdiam. Entah percaya atau tidak dia pada ucapan dokter di hadapan. Tapi rasa-rasanya tidak mungkin seorang dokter berbohong. “Ke-kenapa?” tanya Elea dengan mata berkaca-kaca. “Karena biaya rumah sakit cukup besar. Sudah, kamu jangan terlalu banyak berpikir dulu, ya? Semakin banyak kamu berpikir, maka akan semakin lama kamu sembuh. Hal itu bisa menambah biaya rumah sakit.” Dokter Rian berusaha berkata dengan logis. Walau bagaimanapun Elea adalah gadis yang usianya sudah dua puluh tahun—meski saat ini dia beranggapan masih tujuh belas tahun. Selain kedua orang tuanya, Elea juga sebenarnya ingin menanyakan tentang Rinaldi, kekasihnya. Pria itu hanya rajin berkunjung di dua bulan pertama saja. Setelah itu dia tidak pernah lagi menunjukkan batang hidungnya sampai sekarang. Bahkan keberadaannya pun entah di mana. Namun tidak mungkin dia bertanya pada dokter yang sudah bersedia menjadi wali dirinya selama kedua orang tuanya bekerja. Pun rasanya terlalu tabu menanyakan tentang kekasihnya pada pria lain. “Kalau kamu menurut, makan dan minum obat telat waktu, maka dalam waktu tiga hari kamu sudah boleh pulang.” Ada binar bahagia di mata Elea saat dokter menyebut kata pulang. “Kamu senang?” “Iya, Dok. Saya sangat rindu. Sepertinya saya sudah terlalu lama meninggalkan rumah,” sahut Elea.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD