Malam ini ....
Arinee duduk diam di sofa ruang tamu yang di sediakan Mami Aster. Dia dan beberapa rekan sejawatnya menunggu tamu yang datang untuk membawa mereka malam ini. Sudah beberapa hari ini Arinee tidak mendapatkan pelanggan, selain dari sistem lockdown yang berlaku di kotanya sehingga jumlah tamu yang datang semakin sedikit, ia juga kalah saing dengan rekan sejawatnya yang masih muda.
Mami Aster malah sudah menurunkan tarif untuk Arinee, alhasil ... tamu yang membawanya juga memiliki isi kantong yang pas-pas an. Tidak seperti dulu lagi, Arinee sekarang tidak pernah mendapatkan bonus dari pelayanannya. Tarif booking yang Arinee dapatkan untuk ia bawa pulang menjadi setengah karena setengahnya sebagai komisi Mami Aster.
“Lu kenapa Ly?” Alamanda rekan sejawat Arinee bertanya.
Ya, di rumah Mami Aster mereka semua di panggil dengan sebutan nama bunga. Arinee di sana di panggil Lily, Mami Aster yang memberikan nama pada setiap anak asuhnya.
“Sepi ya, Nda,” ujar Arinee dengan wajah yang memelas.
Arinee dan Alamanda masuk ke rumah Mami Arinee hampir bersamaan. Yang membedakan kedatangan mereka hanya satu, Arinee datang dengan sukarela menawarkan diri untuk menjadi anak asuh Mami Arinee dan Alamanda masuk ke sana karena menjadi korban Trafficking, tapi setelah itu karena himpitan ekonomi dan juga sudah terikat dengan Mami Aster, Alamanda memutuskan untuk bertahan hingga sekarang.
“Iya, mau gimana lagi. Gak hanya kita yang jadi korban, ‘kan?” ujarnya tertawa kecil.
Begitulah Alamanda, mau seperti apapun situasinya, Alamanda selalu bersikap santai. Baginya hidup hari ini, untuk hari ini. Bagaimana esok hari, akan ia pikirkan esok juga, karena Alamanda hidup seorang diri di kota ini. Berbeda dengan Arinee yang harus memikirkan hari esok dan masa depan puterinya.
Beberapa menit kemudian, asisten Mami Aster yang bernama Stella, yang biasa menjadi perantara mereka dengan tamu yang akan menyewa datang menghampiri. Beberapa orang yang ada di dalam ruang tersebut menanti-nanti dengan penuh harap, siapa yang akan di panggil Stella.
Arinee pun begitu, malam ini ia sangat berharap akan ada tamu yang membutuhkan pelayanannya karena ia sudah berjanji pada Farfalla akan membawakan uang SPP untuk di bawa Farfalla esok hari ke sekolah.
“Lily,” panggil Stella.
Reflek Arinee membuang nafas lega, dengan senyum yang terkembang ia melirik pada Alamanda. Alamanda menyambut senyum Arinee dengan anggukan kepala. Ia tahu persis sahabatnya itu sedang membutuhkan uang dan ia senang jika malam ini dewi fortuna lebih berpihak pada Arinee.
Arinee berjalan mengikuti Stella, Ia berjanji akan memberika service yang memuaskan pada tamunya malam ini supaya ia bisa mendapatkan bonus sekedar untuk menambah penghasilan.
Stella menunjuk seorang pria yang berdiri dekat pintu masuk dengan dagunya. Pria itu berdiri dengan gelisah, ia berkali-kali memperbaiki jaket yang ia pakai untuk menghilangkan rasa gugup. Dari gestur tubuhnya, Arinee bisa menilai jika pria itu baru pertama kali mengunjungi tempat ini.
“Hallo,” sapa Arinee ramah, kedua sudut bibirnya terangkat naik menampilkan senyum yang terkembang.
Pria itu membalik, ia membalas senyum Arinee. Arinee yang tadi menunjukkan bersikap ramah dan sedikit menggoda berubah menjadi pucat. Ia mematung di tempatnya dan tidak berani lagi untuk melangkah mendekat.
“Ma-maaf, aku datang kesini,” ujar pria itu gugup.
Ia kemudian mengeluarkan sebuah amplop coklat dari dalam saku jaketnya, kemudian ia maju satu langkah supaya posisinya dan Arinee menjadi lebih dekat.
Arinee menatap lekat pria yang ada di depannya, jantungnya berdetak tiga kali lebih cepat. Masih saja seperti dulu, saat ia belum berada di dunianya yang sekarang.
“Ini.” Tangan pria itu terulur, menyerahkan amplop coklat yang Arinee tidak tahu apa isinya.
“A-apa ini?” tanya Arinee.
“Pergunakan untuk membayar SPP Farfalla. Sebentar lagi ia ujian dan SPP itu harus lunas. Ada sisa sedikit yang bisa kau pergunakan untuk hal lain.”
Bibir Arinee bergetar, ia tidak tau harus berkata apa untuk menolak pemberian pria tersebut. Namun kepalanya bisa ia gerakkan, Arinee menggeleng seiring dengan kabut yang mulai meresapi kedua matanya.
“Aku tau kamu butuh ini, aku tidak bisa lama-lama berada di sini. Pikirkan saja Farfalla,” ucapnya kemudian. Ia lalu mengambil satu tangan Arinee dan meletakkan amplop coklat tersebut di atas telapak tangan wanita itu.
Kemudian tanpa berkata apa-apa lagi, pria itu berlari menuju mobil yang ia parkir cukup jauh dari tempat itu. Arinee hanya bisa memandangi punggung pria itu sampai bayangannya menghilang. Kakinya masih gemetar, bibirnya juga belum bisa berkata, bahkan untuk mengucapkan terima kasih saja ia tidak bisa.
Lalu kedua mata Arine menatap amplop coklat yang ia yakini isinya uang. Beberapa bulir air mata jatuh dari sudut matanya yang berkabut. Arinee kemudian mengusap wajahnya dengan punggung tangan untuk menghapus jejak air mata yang tadi jatuh di sana.
Ia mengerjap, menghilangkan sisa air mata yang menggenang. Lalu tangannya mengusap d**a yang masih berdetak kencang. Beberapa menit kemudian, ia berbalik melangkahkan kaki untuk masuk ke dalam, duduk kembali ke tempat semula menanti tamu yang sebenarnya.
“Haiii.” Suara lantang Stella menghentikan langkah Arinee.
Rupanya yang terjadi beberapa menit yang lalu tak lepas dari pengamatan Stella. Wanita itu tak ubahnya seperti CCTV yang selalu merekam setiap kejadian sampai ke sudut-sudut ruangan.
“Bawa sini!” Perintahnya.
Arinee menolak, ia menyembunyikan amplop coklat ke belakang punggungnya. Arinee mundur ke belakang ketika Stella berjalan mendekat.
“Bawa sini!” Stella merebut amplop coklat yang bersembunyi di balik punggung Arinee dengan kasar. Dalam sekejap saja, amplop itu sudah berpindah tangan.
“Itu punyaku!” cetus Arinee.
“Oh ya? Tapi ada sebagian punya Mami di sini,” ujar Stella sembari membuka penutup amplop.
“Itu bukan dari hasil perkerjaanku. Jadi Mami tidak punya bagian apa-apa di sana,” protes Arinee.
“Selagi dia menjadi tamu di sini, itu akan menjadi bagian Mami.”
Stella membagi dua lembaran uang ratusan ribu yang sudah ada di tangannya, sebagian ia masukkan saku dan sebagian lagi ia kembalikan ke dalam amplop dan melemparkannya begitu saja ke d**a Arinee.
Arinee meringis, dalam hati ia merutuki apa yang barusan Stella lakukan kepadanya. Tapi ia juga tidak bisa berbuat banyak, takdirnya lah yang mengharuskan dia membagi dua apa yang ia miliki.
Sekarang, Arinee berjalan lemah ke dalam. Ke tempat semula, dimana mereka menunggu pelanggan yang datang.
Alamanda menatap Arinee yang kembali masuk dengan langkah lunglai, wajah Arinee di tekuk yang membuat kening Alamanda berkerut, wanita itu penasaran dengan apa yang telah terjadi pada sahabatnya.
“Apa yang terjadi?” tanya Alamanda.