PART 13 - ISTRI?

2356 Words
Karyawan di perusahaan yang Ivan miliki bisa dibilang sangat banyak. Apalagi ketika waktu makan siang. Mereka semua bersamaan keluar dari ruangan, karena jam makan siang hanya satu jam. Dari jam dua belas sampai jam satu. Jam satu, mereka sudah kembali sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Ada yang makan di kantin, tak jarang mereka makan di luar gedung. Biasanya untuk kalangan menajer ke atas, mereka tak akan mau makan di kantin gedung. Karena di sekitar gedung banyak restoran elit dan elegan, yang sesuai dengan kocek mereka. Tapi untuk kalangan Jihan dan teman sejawatnya, menu di kantin sudah cocok dengan kantong mereka. Lain halnya jika mereka gajian. Jihan, Lani dan Diah tak hanya belanja bulanan, mereka pun sesekali makan di restoran. "Sekali-sekali kita kaya pak manajer di kantor, cicip menu ala restoran high class." Begitu saran Lani. Ya memang, mereka makan di restoran, tapi hanya sebulan sekali. Hari ini tidak sedikit yang melihat Jihan duduk bersama atasan mereka di kantin. Mata mereka pun tak lepas ketika melihat Jihan dekat dengan keponakan sang atasan. Mungkin banyak pertanyaan yang ada di hati mereka yang melihat interaksi Ivan dan Jihan. Jika Ivan tampak tak perduli, begitupun dengan Jihan. Ia juga tak memperdulikan bagaimana suasana lobby yang ramai siang ini. Jihan melangkahkan kakinya ke arah pintu lobby, sambil menggendong David dengan Mauren yang mengekori. Diah yang duduk di meja nya pun heran ketika Jihan dengan santai melintas begitu saja di depannya. "Lho Han, kamu kemana?" Diah sampai berseru karena Jihan berjalan tanpa menoleh ke arahnya. Jihan hanya melambaikan tangan pada temannya yang menatapnya dengan mulut terbuka. Bahkan mulut Diah terbuka bertambah lebar ketika melihat atasannya keluar dari mobil dan selanjutnya membuka pintu mobil untuk Jihan, yang langsung masuk ke dalam mobil milik Ivan. "Demi apa, itu Pak Ivan sampai segitunya?" Diah sampai mengucek matanya, ngeri salah lihat. Bukannya Jihan sedang makan siang bareng Lani? Lah Laninya mana? Kok dia bisa pergi sama Pak Ivan sih? "Astaga Jihan! Diam-diam menghanyutkan!" "Terus si Arga gimana ceritanya sih?" Ya, bukan hanya Diah saja yang berdecak kagum. Semua yang baru dan akan keluar dari lobby melihat, bagaimana atasan mereka bak lelaki sejati perlakuannya terhadap Jihan. Bagaimana dengan gagahnya Ivan yang saat itu mengenakan kaca mata hitam membuka pintu mobilnya untuk Jihan yang hanya seorang karyawan biasa! Sungguh pemandangan yang bisa membuat siapapun menduga yang tidak-tidak. Sepertinya Ivan melupakan jika perlakuannya terhadap Jihan akan membuat masalah ke depannya. Dan Jihan yang teramat polos sama sekali tidak sadar jika sudah masuk ke dalam lingkaran yang harusnya ia jauhi. Bagi mereka semua yang terjadi hari ini demi dua bocah yang tampak riang di dalam mobil. "Mauren mau beli s**u, Uncle. Stok di kulkas Uncle habis." "Boleh." Ivan menjawab sambil menyetir. "Cu!" David ikut teriak. "Iya David juga mau ya?" Pertanyaan dari Jihan membuat David mengangguk gemas. Tak sadar, baik Ivan dan Jihan sama tersenyum melihat raut wajah David yang tampak ceria. Sebenarnya jarak supermarket itu tidak jauh, hanya menyebrang dari kantornya sebentar. Tapi Ivan tak mungkin membiarkan kedua keponakannya panas-panasan di cuaca terik seperti ini. Baru saja mereka sampai di parkiran supermarket, ponsel Ivan berbunyi. "Suci?" Ivan berdecak. "Mauren, Mommy kamu ngebel ini." Lelaki itu bergegas mengangkatnya. "Hallo Ci." "Van, anak-anak aman kan?" Ivan memutar bola matanya. Seakan Suci tidak percaya padanya. Kalau gak percaya kenapa tadi dititip sih? "Aman, ini mau ke supermarket isi stok kulkas di kantor. Sama beli es krim." "Sudah makan siang semua kan?" "Oh sudah dong." Jawaban Ivan tampak penuh percaya diri. Membuat Jihan mendadak mengulum senyum. "Bisa kamu tangani David?" Pertanyaan Suci seolah meragukan Ivan sekali. Ivan berdehem. "Ya bisa dong. Aku kan Uncle nya. Sudah ya, aku mau masuk supermarket nih, repot." "Oke." Sambungan ponsel terputus. Suci gak perlu tahu jika ia bersama Jihan. Repot kalau tahu, pasti menyangka yang tidak-tidak. Mereka keluar bersamaan. Supermarket yang mereka masuki, siang itu lumayan ramai. Hanya tempat ini yang ada di pikiran Ivan, ketika keponakannya itu meminta es krim. Dan beruntung ia bisa menggunakan gadis ini untuk membantunya. Ivan meraih keranjang dorong yang biasa disediakan pihak supermarket. Melihat itu, David merentangkan tangan ingin masuk ke dalam kereta belanjaan itu. "Pak, ini boleh David masuk sana?" tanya Jihan lagi. "Boleh, masukin aja." Ivan langsung melepas pegangan pada kereta dorong dan bergerak memilih makanan ringan. Jihan bergegas meletakkan David di dalam keranjang belanjaan. Bocah itu tampak senang sekali. Jihan mendorong dari belakang. Sementara Ivan dan Mauren berjalan di depan. Beneran ya, aku mirip suster anak-anak, alih-alih karyawan receptionist di kantornya Pak Ivan. Hingga mereka tiba di depan counter es krim. "Kamu mau yang mana Mauren?" tanya Ivan. Otomatis Jihan ikut berhenti juga. "Aku suka yang coklat, Uncle." "At!" David ikutan menjulurkan tangannya. "Jihan, ada yang mau saya beli ke lorong sebelah sana. Saya titip mereka sebentar." "Baik Pa." Jihan kembali fokus pada Mauren dan David. "Ayo, kalian mau yang mana?" Mauren dengan senang hati mengambil beberapa es krim, begitu juga David. Anak itu terlihat kegirangan. Bibir Jihan tertarik ke samping menatap bergantian pada Mauren dan David. Jihan memang tak memiliki adik, dan ia menyukai sekali anak-anak seperti ini. Hidupnya selama ini monoton, hanya bekerja dan pulang ke rumah. Sudah, tidak ada warna. Jadi, jika saat ini diberi tugas menjaga dua anak yang sangat menggemaskan ini, Jihan tentu tak keberatan. Hah! Andai Unclenya gak nyebelin mau deh aku ajak main mereka terus. Sedang asyik memperhatikan tingkah polah dua anak Suci, Jihan tidak memperhatikan ketika ada yang melihat sosoknya di tempat ini. Sepasang mata itu awalnya menatap Jihan dari kejauhan, setelah ia tak salah lihat, maka ia bawa langkahnya mendekat. "Jihan?" Merasa namanya dipanggil, Jihan menoleh. Ia menatap tak percaya pada sosok di depannya. "Mas Arga?" Kebetulan sekali ia bisa bertemu kekasihnya di tempat ini. "Kamu sedang belanja?" Arga lebih memperhatikan kedua bocah yang kini menatapnya daripada memperhatikan belanjaan Jihan. Lagipula keranjang Jihan hanya berisi es krim dan snack milik Ivan. "Ini anak siapa?" Kening Arga melipat. Di matanya Jihan sudah tampak seperti ibu dengan dua anak, dan keduanya tampak menggemaskan sekali. "Oh ini, mereka keponakan bos aku. Aku temani bosku karena-" Ponsel Arga berbunyi, memutus ucapan Jihan yang belum keluar semuanya. "Sebentar ya Han, aku angkat telepon dulu." Merasa ini penting, Arga mengangkat teleponnya. "Ya hallo." Jihan masih berusaha menahan David yang mau merebut es krim dari tangannya. "Makannya nanti ya sayang, kita bayar dulu." "Mauuuu." David tampak tak sabaran. "Iya sebentar ya." Jihan berusaha merayu. "Nanti makannya di luar. Gak boleh makan di sini, ada pak satpam yang lihatin. Nanti kena marah." David mengangguk. Ia pun menjadi tenang kembali. Jihan yang senang melihat perubahan David, mengusap puncak kepala bocah itu. Ternyata seperti ini menenangkan David. Tak lama Arga menyelesaikan sambungan teleponnya. "Han, sorry aku harus cepat ke kantor. Ada meeting dadakan." Tampak wajah Arga penuh penyesalan. Padahal ia masih ingin menyapa kekasihnya. "Oh ya udah Mas gak apa-apa kok, hati-hati ya." "Sampai nanti Han." Sebelum melangkah Arga menyempatkan diri mengusap puncak kepala David. "Anak kita nanti mirip mereka gak ya?" Jihan hanya memutar bola matanya dengan malas. "Memang Mas gak akan curiga sama aku kalau anak kita mirip dia?" Mendengar itu Arga terkekeh geli. Raut wajah Arga tampak bahagia, begitu juga Jihan. Tapi semua sirna ketika lelaki itu sudah menjauh pergi. Jihan menunduk meremas pegangan keranjang belanjaan. Sudut hatinya meringis saat menyadari jika hubungan mereka tak akan seperti yang Arga inginkan. "Pacar kamu?" Jihan terjengkit. Ternyata Ivan sudah berdiri di belakang tubuhnya. "Pak, bisa gak sih gak usah kagetin saya?" Jihan mengelus dadanya. Ia sungguh terkejut dan ia tidak suka. Repot kan kalau kena serangan jantung dadakan karena kelakuan atasannya ini. "Jangan harap saya kasih kamu kelonggaran ketemu kekasih kamu itu. Ini masih jam kerja." Ivan meletakkan beberapa bungkus snack lagi ke dalam trolly. Sejak tadi ia melihat interaksi Jihan dan lelaki itu dari kejauhan. Ivan baru ingat wajah kekasih Jihan, tadi ia menatapnya dengan seksama. Tentu tanpa sepengetahuan Arga dan Jihan. Kalau dibandingkan dengannya, jelas lebih tampan dirinya. Astaga! Kenapa aku membandingkan diriku dengan orang itu! Mungkin karena ia melihat Jihan begitu setia pada kekasihnya sedang dia diselingkuhi. Mata Jihan melirik ke tangan Ivan yang penuh dengan barang pilihan. Jadi dia beneran borong makanan? "Siapa yang mau ketemu? Saya juga tahu kok saya masih jam kerja." Mulut Jihan mencebik kesal. Kenapa sih ini orang pikirannya negatif thinking terus? "Lagian bapak yang seharusnya tahu, kalau jam segini itu, saya biasa duduk manis dibalik meja saya, bukan keliaran di supermarket begini." "Anggap kamu juga sedang bekerja." Seperti biasa, Ivan bisa menjawab protesan Jihan. "Nanti karyawan yang lain iri lho pak. Dikira mereka, saya dikasih kursi VVIP di perusahaan bapak. Diajak ke supermarket buat belanja begini. Padahal belum tentu saya dijajanin." Ivan menipiskan bibirnya. "Mata kamu itu terlihat berharap sekali bertemu kekasih kamu itu. Memang kemarin di restoran, perjumpaan kalian gak lama?" Mengerjap demi memikirkan ucapan yang langsung Jihan pahami. Kenapa bahas Mas Arga lagi sih? Lalu dengan tersenyum masam, Jihan menatap Ivan. "Sayangnya acara makan malam saya dengan kekasih saya harus rusak, karena ada drama perkelahian gara-gara seorang wanita." Telak sekali ucapan Jihan buat Ivan. "Lagian ya Pak, kok bisa-bisanya sih ribut karena wanita. Memang gak ada wanita lain apa di luar sana?" "Saya ribut bukan karena takut ditinggalkan, tapi saya merasa terhina. Dia selingkuh dari saya." Siapa sangka Jihan terkekeh. Lucu juga ternyata atasannya ini. "Pak-pak, seorang wanita gak akan selingkuh kalau pasangannya itu memberikan perhatian yang baik dan benar." Mendesis tak suka, ketika apa yang Jihan katakan nyatanya adalah sesuatu yang sering Gladys tuntut. "Menurut kamu saya gak baik sama pasangan saya?" Ivan tak terima. Jihan yang mendengar nada sedikit emosi dari lawan bicaranya hanya angkat bahu. "Lah mana saya tahu, kan yang jadi pasangan bapak bukan saya." Mata Jihan melemparkan pandangan ke arah lain dengan mulutnya yang mati-matian menahan senyum. Benar juga! Ngapain aku tanya dia segala! Seolah tidak peduli sama ucapan atasannya, Jihan kembali meraih es krim yang David gigiti dari bungkus luarnya. "Sayang, jangan digigiti, kupas dulu ya nanti." Kembali menatap pada Ivan, Jihan mulai mengeluh. "Ini mau belanja apa lagi? Saya sudah lama meninggalkan meja saya lho Pak." Dengan sekali gerakan, Jihan membetulkan posisi David di keranjang belanja. Tapi David justru minta digendong. Mau gak mau Jihan menuruti, walau jujur anak ini berat sekali. "Bapak gak bawa gendongan?" Ivan menoleh. Serius dia tanya gitu? "Lain kali kalau bawa anak kecil itu jangan lupa bawa gendongan Pak." "Lain kali saya ajak kamu lagi." Ivan bergerak ke lorong sebelah dengan mendorong troly. Lain kali? Sejak kapan jabatan receptionist nyambi jadi baby sitter? "Uncle Ivan, aku ambil s**u yang ini ya?" Mauren menunjuk pada rak yang menampilkan s**u kotak. "Boleh." Ivan pun mengambil beberapa aneka kopi. "Jihan kamu mau s**u rasa apa?" tanya Ivan. Hah! "Maksudnya pak? Bapak mau beliin saya?" Serius? "Saya gak mau karyawan saya kurang gizi." Ivan begitu saja meletakkan sekotak s**u cair full cream berisi satu liter. Dia bahkan mengambil lima buah. "Itu buat kamu, supaya tumbuh kembang kamu seimbang dengan usia kamu." Jihan menggeleng. Ia baru tahu dibalik sikap berwibawa seorang Juan Ivander Collins, ternyata mulutnya pedas. "Bukannya tadi kamu minta jajan?" Bibir Jihan mendesis. "Memang saya anak kecil, Pak?" "Lagian ya, saya bukan kurang gizi bapak Ivan yang terhormat, tapi perawakan saya memang begini." Ivan menoleh. Menatap lekat pada tubuh Jihan. Melihat itu Jihan segera mendekap erat David. Apa sih yang dia lihat? "Gak perlu ditutupi, badan kamu kayak triplek gitu, gak akan bikin saya ngiler. Aneh, apa yang dilihat pacar kamu dari kamu ya. Kamu lebih mirip anak SMA dari pada gadis yang sudah dewasa." Andai tak ingat ini adalah atasannya, ingin rasanya Jihan melemparkan s**u kotak yang di tangannya ke kepala Ivan. Seenaknya mengatakan hal yang begitu pribadi. "Paling gak, saya setia sama kekasih saya pak. Karena percuma punya body kayak peragawati yang bisa bolak-balik peragakan baju, kalau ujung-ujungnya tukang selingkuh." Ivan tahu Jihan kesal, dan dia membiarkan saja. Meladeni wanita marah-marah sama saja kurang kerjaan. Dan seharusnya Ivan sadar, pekerjaan dia banyak di kantor, dan kenapa pula ia berlama-lama di supermarket bersama Jihan! Jihan lebih memilih berjalan terlebih dahulu ke arah kasir. Sebaiknya dia menunggu di sana, dari pada mengikuti kemanapun atasannya ini pergi. Yang ada dia bisa berasap. "Terima kasih." Ivan tersenyum manis dan bisa ditebak! Kasir wanita yang menerima ucapannya itu merona. Hah! Jihan berdecak dalam hati. Merona? Gak tahu aja dia, sifat asli Pak Ivan. Jihan menggendong David, sementara Ivan membawa dua bungkusan plastik sambil menuntun Mauren menuju mobilnya. "Pak maaf sebentar." Seorang lelaki menghampiri Ivan. "Ini milik istri anda terjatuh." Lelaki itu mengulurkan dompet yang membuat Jihan tersentak. Dompetku? Astaga ternyata jatuh. "Terima kasih Pak." Ivan tersenyum dan menerima dompet berwarna pink yang pasti tak sadar Jihan jatuhkan. Mungkin karena repot menggendong David. "Beritahu istrinya pak, supaya lebih hati-hati. Masih untung jatuhnya di area supermarket ini." "Iya pak. Sekali lagi terima kasih ya." Ivan menghela napas dan menatap tajam pada Jihan. Istri? Astaga masa aku yang tinggi gini punya istri kecil dan kurang gizi begini sih! Ngiler aja kaga! "Kamu teledor sekali ya. Heran." Dia menyerahkan dompet itu ke tangan Jihan. "Pasti jatuh waktu David gak bisa diam." Jihan mengapit erat dompetnya agar tidak jatuh lagi. Ivan memasukkan barang belanjaan ke mobil sambil terus menggerutu. "Saya heran gadis seteledor kamu bisa masuk ke perusahaan saya. Mungkin saya akan tegur pihak HRD, agar lain kali berhati-hati menerima karyawan." "Ini baru dompet, bagaimana kalau kamu ceroboh membocorkan rahasia perusahaan, memberikan data-data penting pada saingan kita. Bisa bangkrut perusahaan saya." Astaga! Perihal dompet jatuh aja kemana-mana! Bawa-bawa rahasia perusahaan! "Dan satu lagi!" Mata mereka bersitatap. "Jangan pernah kamu membocorkan tentang malam saya berkelahi di rumah makan, apalagi sampai membocorkan jika tunangan saya selingkuh." "Pak, please deh! Gak usah ungkit itu terus." Jihan menatap jengah pada Ivan. "Saya gak main-main Jihan! Karena kalau itu terjadi, saya benar-benar akan memecat kamu, Jihan Mentari. Saya gak akan mempertaruhkan wibawa saya dengan kabar yang bisa merusak reputasi saya sebagai seorang pemimpin." Terus kalau nanti-nanti semua tahu dia putus sama pacarnya, aku juga yang salah gitu? Ya ampun kenapa sih aku harus berurusan sama orang kayak gini? Jadilah karena kesal Jihan pun membalas. "Pak, kalau bapak merasa terhina karena mantan tunangan bapak selingkuh? Gampang sih, bapak tinggal cari gantinya. Bereskan?" "Kecuali ... bapak tipikal cowok yang susah dapat pasangan."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD