Prolog

644 Words
Suara gebrakan meja menggema di ruang makan sebuah rumah sederhana yang berpenghuni hanya tiga orang saja. Disusul oleh suara nyaring dari gelas-gelas yang jatuh ke lantai, juga tak hanya gelas, tapi semua alat-alat makan yang ada di atasnya berhamburan ke lantai, terpecah belah tak berbentuk lagi. Butiran-butiran nasi juga berserakan di sana, terlihat mengenaskan. Arsyila, terdiam bersama dengan denyut jantungnya yang bergemuruh hebat. Bahkan di dalam mulutnya, masih ada sisa makanan yang belum selesai dikunyah. Tak pernah Arsyila menyangka ayahnya akan sekasar ini padanya. Suasana makan malam yang awalnya terasa hangat, dan tentram, kini mendadak panas dan mencekam. “Ayah, nggak perlu sampai segitunya!” suara seorang wanita paruh baya, yang kala itu terdengar gemetaran juga sedang menahan tangis, dia memberanikan diri untuk menegur suaminya yang baru saja berbuat kasar karena emosi dengan anak bungsu mereka, Arsyila. “Anak ini udah bikin malu! bisa-bisanya dia ngomong begitu ke Bayu, dia menolak Bayu tanpa persetujuanku! anak kurang ajar, nggak tau diuntung. Udah disekolahkan tinggi-tinggi malah nggak berguna! s****n!” Tak hanya menggebrak meja dan membuat kondisi ruang makan menjadi kacau, Waluyo juga mengumpati anak gadisnya, kemudian beranjak pergi meninggalkan kekacauan yang telah diciptakannya. Sementara itu hening masih tersisa di dapur, dan beberapa detik setelahnya terdengar teriakan hebat dari seorang gadis yang sedari tadi hanya diam saja setelah dimaki habis-habisan. “Cuma aku yang berhak nentuin dengan siapa aku harus menikah! Aku nggak mau nikah sama duda itu, aku mau cari kebahagiaanku sendiri, bukan dengan cara menikahi duda kaya genit, menjijikkan dan dia bukan orang yang aku cinta!!” Arsyila tidak tahan lagi, akhirnya dia bersuara dan berani menentang ayahnya. Mereka memang sering berdebat dan bertengkar kecil, tapi seumur hidup Arsyila, belum pernah sehebat ini. Setelah puas mengeluarkan apa yang terpendam di hatinya, Arsyila menangis sejadi-jadinya. Lelaki berusia enam puluh tahunan itu, semakin mengurungkan niatnya untuk keluar dari rumah, setelah mendengar kalimat dari Arsyila yang membuat emosinya semakin tersulut. Waluyo berjalan dengan langkah yang penuh dengan amarah, menuju Arsyila, dia mengangkat tangan kanannya ke atas, lalu menghempaskan dan mendaratkan sebuah tamparan di pipi anak gadisnya yang dulu selalu dia limpahkan dengan kasih sayang. Plak Tanpa sempat menghindar, Arsyila berhasil mendapatkan rasa perih di pipinya dan meninggalkan bekas kemerahan di pipi halusnya. “Ya Allah Yah! sadar Yah, dia anak kita!” Marini berteriak dan meraung-raung, saat menyaksikan itu. Lantas dia langsung memeluk Arsyila, mendekap anaknya yang masih berusia dua puluh empat tahun itu. Arsyila tak lagi bersuara, tubuhnya lemah tak berdaya, lututnya lemas seperti tak bertenaga untuk berdiri dan dia kehilangan kesadarannya, mengakibatkan ibunya semakin berteriak histeris. Detik di mana kejadian mengerikan itu menimpanya, Arsyila berjanji, takkan kembali ke rumah ini, sebelum dia sukses dengan karirnya, juga dengan percintaannya. Arsyila ingin menunjukkan bahwa, dia mampu menemukan orang yang tepat untuk menjadi pendamping hidupnya, tanpa harus sang ayah turut campur hingga membuat keputusan sepihak yang ingin menjodohkannya dengan seorang duda kaya kenalan ayahnya. * Ayah nggak berperasaan! d**a Arsyila kembali terasa sesak, matanya juga memanas, perih saat mengingat kejadian empat tahun silam itu. Kejadian yang mengakibatkan dirinya harus merantau ke ibu kota demi sebuah pembuktian. Pembuktian bahwa Arsyila bisa sukses di karir, juga hubungan percintaannya. Arsyila ingin membuktikan bahwa dia bisa menjadi anak yang berguna, tidak seperti yang dikatakan ayahnya malam itu. “Syila kangen Ibu.” Air matanya menetes, menatap sebuah foto yang terlihat di layar ponselnya. Fotonya bersama sang ibu, yang sedang memeluknya dengan penuh rasa bangga karena Arsyila saat itu baru saja mendapatkan gelar Magister Manajemen. Tok tok tok Lamunan Arsyila tentang masa lalunya harus berhenti sampai di sini, ketika di sadar di mana dirinya sedang berada. Dia sedang duduk di kursi kebesarannya, di dalam sebuah ruangan khusua untuknya sejak dia dipromosikan menjadi Manajer Pemasaran di perusahaan itu. Cepat-cepat Arsyila menyeka air matanya dengan tisu. Memastikan penampilannya melalui cermin berukuran kecil yang ada di dalam lacinya. “Ya, silakan masuk!” titahnya dengan sopan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD