PRIA BIADAB

1118 Words
Setelah kembali dari istana kekaisaran, aku hanya duduk di balkon kamar sambil mabuk-mabukan. Entah sudah berapa banyak botol wine berserakan—yang jelas, aku mabuk, dan aku tidak peduli lagi. Bisa-bisanya Putra Mahkota sialan itu menolak tawaranku. Wahai Putra Mahkota Diones Von D’Glazia! Apa kau sedang mengibarkan bendera perang padaku? Saat hendak meneguk wine dari botol di tanganku, ternyata isinya sudah habis. Aku mendecak kesal, lalu berbaring sambil menatap langit. Sekarang, apa yang harus kulakukan? Pria sialan itu menolak membatalkan pernikahan. Dengan segala macam penjelasan tidak masuk akal—dan semuanya, sungguh menjengkelkan. Katanya aku memenuhi semua syarat sebagai seorang Permaisuri. Oke... aku memang menggambarkan Luisa sebagai Putri dari Duke. Jelas saja ia mendapatkan pendidikan bangsawan kelas atas, serta segala bentuk pelatihan tanpa pandang bulu. Selain itu, aku juga menulis bahwa Luisa adalah wanita yang sangat menawan. Aura Luisa kubuat begitu sempurna, sebagai penyeimbang dari sikapnya yang kejam dalam bertutur kata dan menindas karakter utama. “Luisa, ada apa denganmu?” Mendengar suara itu, aku mengalihkan pandang. Apa sekarang waktunya menggangguku? Sungguh... menghadapi satu orang Putra Mahkota saja sudah menguras tenaga hari ini. “Kakak, seorang bangsawan terpelajar tidak akan masuk ke dalam kamar tanpa mengetuk pintu.” Yah, yang datang adalah kakak kedua Luisa. Wajahnya tampan, rambutnya serupa milikku, hanya saja warna iris matanya violet terang. “Lalu, apa seorang Lady pantas menggelar pesta alkohol seperti ini? Sebentar lagi kau akan menjadi Putri Mahkota, tapi kau malah seperti ini. Apa ada masalah?” Aku menghela napas. “Aku ingin membatalkan pernikahan, tapi Putra Mahkota sama sekali tidak mau mengabulkan permintaanku.” “Apa katamu? Membatalkan pernikahan? Bukankah kau sendiri yang mengusulkan pernikahan itu?” Wajah kaget orang ini rasanya ingin kutinju. Bisakah dia tidak bersikap seperti wartawan? Aku baru saja menyatakan keinginanku, seharusnya dia mendukung, bukan malah menanyai seperti penyidik. Menjengkelkan! “Jawab aku, Luisa. Bagaimana bisa kau tiba-tiba ingin membatalkan semuanya? Ayah sudah bertindak memihak Putra Mahkota. Keluarga kita sudah turun ke ranah politik demi menguatkan posisi di takhta.” Sungguh... aku tidak pernah menulis bahwa manusia menyebalkan ini akan muncul seintens ini. Kenapa semua tulisan yang kubuat menjadi kacau? Di naskah asliku, dia adalah kakak yang tenang, penuh pengertian, dan jarang bicara. Demi Neptunus. Lebih baik aku dikirim ke neraka daripada harus terjebak di sini. Sejenak aku menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Aku tak ingin membahas pernikahan itu lagi, tapi aku juga tak bisa terus berharap bisa hidup damai setelah menjabat sebagai Permaisuri. “Dia tidak mencintaiku. Jadi, untuk apa menikahinya? Pria di dunia ini bukan cuma dia. Masih ada Kakak Pertama, Kakak Kedua... dan Ayah.” Jawaban itu mungkin terdengar asal, tapi aku bicara sekenanya saja. Luisa yang egois ini tiba-tiba saja memikirkan perasaan sendiri? Sungguh di luar nalar galaksi Bima Sakti dari duniaku. “Kau mencintainya. Itu saja sudah cukup.” “Apa semua laki-laki berpikir begitu? Jika hanya wanita yang mencintai, maka wanita itu bodoh.” “Itu kau sendiri yang bilang.” “Aku tak mau menikah dengan Putra Mahkota biadab itu.” “Ke mana perginya bangsawan sempurna yang selama ini kau banggakan, Luisa?” “Mungkin sudah mati, Kak.” Astaga... bisakah kau tidak terus bertanya padaku? Mengganggu sekali. “Baiklah. Tunggu Ayah dan Kakak Pertama kembali. Kau bisa menyampaikan semua keinginanmu nanti.” “Kapan mereka kembali?” “Sehari sebelum pernikahanmu.” Langit rasanya runtuh. “Bagaimana bisa seperti itu? Kakak bercanda, ya?” “Mereka sedang menjalankan tugas di wilayah Linion. Itu kewajiban sebagai Tuan Tanah.” Hah... aku tidak pernah menulis adegan seperti ini di novelnya. Tapi kenapa justru terjadi di sini? Ini dunia yang kubuat sendiri, tapi rasanya seperti mimpi buruk yang tak bisa kuhentikan. Saat hendak bicara, tiba-tiba tubuhku diangkat begitu saja. Aku terkejut dan langsung menatap pria yang melakukannya. “Kakak! Turunkan aku!” “Kau mabuk, Luisa. Lebih baik kau tidur. Kakak paham kau gugup menjelang hari pernikahan. Tenanglah sampai Ayah dan Kakak Pertama kembali.” “Aku tidak mabuk! Turunkan aku! Cepat!” “Kalau kau terus ribut dan membangkang, Kakak akan memanggil Putra Mahkota. Biar pernikahan kalian benar-benar dibatalkan.” “Turunkan! Panggil saja Putra Mahkota menyebalkan itu kalau Kakak berani!” “Kau menantangku?” “Tidak!” “Kalau begitu menurutlah. Kakak tahu, kau bersikap seperti ini karena perasaanmu pada Putra Mahkota semakin dalam.” “Tidak! Aku tidak mau menikah dengannya!” “Oh, Luisa... Kakak akan segera memanggil tunanganmu. Dia harus tahu calon istrinya sedang mabuk berat.” “KAKAK!” Suara tawanya pecah. Pria ini benar-benar mengira aku sedang bimbang. Arrrgghhh... Luisa yang malang. Berapa kali kau sudah bilang kalau kau sangat mencintai Putra Mahkota b******n itu? Maafkan aku, Luisa. Bisakah kau kembali ke tubuhmu dan aku keluar dari sini? Penderitaan ini terlalu berat. Aku menyesal telah menyiksamu. Tapi sebanyak apa pun aku memohon, tak akan ada yang mengabulkan. “Tidurlah, Luisa. Kau sangat mabuk. Itu buruk untuk kesehatan. Meskipun kau merasa depresi menjelang pernikahan, jangan lakukan hal bodoh seperti mabuk-mabukan.” Dia meletakkan tubuhku di kasur, menarik selimut, dan menyelimutiku dengan rapi. “Kakak menyayangimu. Tidur yang nyenyak. Jangan berpikiran negatif. Walau Putra Mahkota belum mencintaimu, kau harus tetap berjuang meraih hatinya. Banyak pasangan pernikahan politik yang akhirnya jatuh cinta setelah menikah. Kau pasti bisa.” “Baca novel romansa di mana? Tidak ada jaminan seperti itu di dunia nyata, Kak.” “Bukannya kau yang mengoleksi buku-buku seperti itu? Kakak hanya membaca beberapa dari koleksimu.” Apa? Luisa membaca buku-buku ajaib seperti itu? Sungguh di luar dugaanku. Aku tidak pernah menulis hal semacam itu dalam novelku. “Selamat tidur.” Kakak Kedua Luisa mengecup keningku. Sentuhannya terasa begitu hangat. Betapa beruntungnya Luisa memiliki keluarga seperti ini, tapi bodohnya dia justru melangkah ke pintu neraka. Setelah mengecup keningku, lampu kamar dimatikan. Hanya lampu tidur yang menyala temaram, dan pria itu meninggalkan kamar dengan tenang. Benar. Kepalaku jauh lebih baik di tempat tidur. Suasana yang tenang dan cahaya lembut membuat tubuhku terasa ringan. Apa mungkin kalau aku tidur, aku akan kembali ke duniaku? Ukh... Bodoh! Aku sudah mati di sana. Dan kalau aku keluar dari tubuh Luisa, aku pasti akan langsung berhadapan dengan malaikat maut. Dosa-dosaku akan dihitung satu per satu. Termasuk dosa karena menyiksa banyak karakter dalam novelnya. Sudahlah. Sepertinya aku memang butuh tidur. Semoga saja saat bangun nanti, aku mendapatkan ide cemerlang untuk melarikan diri dari pernikahan politik ini. Semoga... Tapi kenapa aku malah tidak bisa tidur? Saat menutup mata, bayangan Putra Mahkota yang mencium bibirku justru muncul begitu saja. “Diones Von D’Glazia! Aku akan membunuhmu!” Aku menarik napas dalam-dalam. “DASAR PUTRA MAHKOTA SIALAN, BIADAB, AKU BENAR-BENAR MEMBENCIMU!” Hah... akhirnya aku berteriak. Rasanya begitu lega. Meski napasku terengah, ada kepuasan luar biasa setelah memaki pria biadab itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD